Esok harinya, begitu membuka mata, Jinhee melihat sepasang mata penasaran milik Jungshin, yang sudah lebih dari 30 menit berjongkok tepat di dekat Jinhee yang sedang tidur, menunggunya bangun. Jinhee langsung terperanjat duduk dan itu membuat bangku panjang yang dia tiduri semalam berjungkit dan hampir terbalik. Jinhee mengendalikan dirinya dan bangku dengan baik.
Joon ada di tepi pintu, bersedekap dan menonton seberapa primitif tingkah teman sekamarnya itu. Jinhee menoleh padanya, bertanya tentang Jungshin. Anggukan kepala Joon yang tenang memberi tahu bahwa Jungshin bukan orang yang perlu diwaspadai. Keduanya, Joon dan Jinhee, membiarkan Jungshin mengamati Jinhee.
Jungshin berjongkok. Kedua tangannya mengepal serius di samping tubuh di antara pinggang dan paha. Matanya hampir tak berkedip, alisnya mengernyit, hidung dan bibirnya menciut, dan kepalanya bolak-balik antara kiri dan kanan untuk mengamati Jinhee. Dia bergerak lebih dekat dan semakin dekat ke muka Jinhee.
Jinhee mundur, mundur, dan tersudut ke lemari barang. "Hentikan," ucap Jinhee, sambil memalingkan muka dari Jungshin.
"Wah, bicara!" Jungshin melotot heboh.
PLAK, kepala Jungshin dikeplak buku oleh Joon. "Kau itu seperti melihat anjing yang bisa bicara saja. Sudah lihat, kan? Pulang sana. Jinhee-ya, ayo kita pulang juga." Joon mencari tangan Jinhee untuk diseret pulang.
Jungshin menyela. "Tunggu dulu," katanya, "Aku belum kenalan dengannya."
Joon mendesah malas.
Lalu Jungshin merapikan rambut dan meluruskan punggungnya. Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan melambai sambil berkata, "Hai, aku Lee Jungshin. Jungshin. Temannya orang plin-plan ini. Coba sebut, siapa namaku tadi?"
"Lee Jungshin," ucap Jinhee, enggan.
"UWAH!" Jungshin heboh bukan main. Dia meremas pipi Jinhee dengan semua jari kurusnya dan mengguncang kepala Jinhee kiri-kanan berulang-ulang sambil berseru, "Kau pintar! Kau pintar! Pintar sekali!"
Dengan buku yang tadi, Joon memukul satu per satu lengan Jungshin lalu dahi sempitnya dan menendangnya, dengan santai, hingga terduduk di lantai. "Kau itu yang bodoh," katanya, lalu mendapatkan tangan Jinhee, "Ayo, Jinhee-ya!"
Kepala Jungshin bergerak mengikuti bangkitnya Jinhee dari bangku, dan tubuhnya otomatis bergerak mengikuti Jinhee keluar dari gudang yang sempit ini. Dia tak berhenti memandangi Jinhee dengan berbinar-binar.
Sebelum meninggalkan minimarket, Joon mampir dulu ke kursi makan pembeli. Di sana ada Seungmin, berseragam sekolah, sedang meniupi ramen instannya. Joon menyodorkan buku tadi pada Seungmin dan melapor, "Aku sudah menghitung pendapatan semalam, mencatat barang kadaluarsa, dan membuat daftar barang yang kurang. Berikan itu pada ibumu ya?"
Seungmin memberi hormat sambil menyeruput ramennya. Dia akan menyampaikan laporan Joon tadi pada ibunya yang adalah pemilik minimarket ini.
Melihat kelakuannya itu, Joon berdecak dan berkomentar, "Kau ini, malah lebih memilih membuat ramen instan sendiri di sini daripada masakan ibumu di rumah. Ckckckck."
"Aku lebih suka ini daripada wortel dan kacang," kata Seungmin, dengan mulut penuh.
"Cepat habiskan makananmu itu. Kau tidak pergi sekolah, hah?" Joon mengingatkan.
"Hyung bawel ah." Lalu Seungmin meneguk kuah ramen dan lanjut menyeruput lembar-lembar ramen berikutnya.
Joon tidak akan berkata apa pun lagi kalau begitu. "Ya sudah, aku pulang ya?" katanya.
"Yah, sampai jumpa nanti malam. Noona juga ya?" kata Seungmin, pada Jinhee, dengan diakhiri kedipan mata kiri yang genit.
"Auh, anak ini," desah Joon, gemas. Rasanya dia ingin meremas-remas anak kelas satu SMA ini, tapi dia lebih memilih ketenangan dan pulang. Dia menyeret Jinhee keluar dari minimarket, dan Jungshin otomatis mengikuti—seolah Jinhee adalah kutub magnetnya.