Setelah kelas terakhir Profesor Gong yang melelahkan, Joon memutuskan untuk tidur sejenak di kamar kosnya baru kemudian bersiap untuk bekerja paruh waktu di mini market. Dia melupakan Jinhee, lagi-lagi.
Sebenarnya janji Joon menjemput Jinhee adalah tadi siang setelah kelas Profesor Jung, tapi saat itu Joon diseret makan siang bersama oleh Seola. Karena Joon merasa bersalah padanya karena tadi pagi dia membentaknya, Joon pun menerima ajakan makan siang bersama itu. Dia benar-benar melupakan Jinhee hingga memasuki kelas berikutnya dan sekarang terkapar di ranjangnya di kamar kos.
Joon menatap langit-langit kamar dan mulai mengantuk. "Hoah," dia menggeliat dan berguling meringkuk, lalu terpejam sejenak dan bergumam, "Sepertinya aku melupakan sesuatu. Apa ya?" Joon berpikir.
Dalam sekejap, Joon terduduk bersila di atas ranjangnya. Dia ingat, "Jinhee? AH!" dan dengan menyabet jaketnya dari atas meja, Joon bergegas keluar indekos untuk menjemput Jinhee.
Hari sudah mulai gelap. Bagaimana dirinya bisa melupakan anak itu lagi? Ah, sungguh bodoh. Joon amat menyesali kebiasaan buruknya melupakan hal yang penting. Dia harus segera menjemput Jinhee.
Tanpa sempat memakai jaketnya, Joon berlari secepat mungkin menuju lubang kecil di dinding belakang kampus dan tanpa ragu melompati semak dan akar besar di sana. Setelah beberapa puluh detik, dia pun tiba di dekat bangunan tua. Joon meragu, apa Jinhee masih ada di sana?
Tak ingin menghabiskan waktu hanya untuk bertanya-tanya, Joon melompati semak terakhir dan menginjakan kaki di teras sempit bangunan tua ini. Dia celingukan mencari pintu, dan berjalan membelok ke arah kiri, mengikuti bentuk bangunan. Di sana dia menemukan pintu, tapi pintu itu disegel oleh kayu dan paku, begitu pula dengan semua jendela yang ada. Tak ada bekas terobosan seseorang masuk atau lainnya. Benarkah Jinhee masih ada di dalam? Joon meragu lagi.
Aih, Jinhee kan bisa teleportasi. Dia tidak perlu membongkar segel ini untuk masuk ke dalam. Joon mengangguk-angguk sendiri untuk pendapatnya itu. Dia pun mencoba untuk mencopot segel kayu-paku itu, tapi segel itu kuat sekali. Joon tidak bisa melakukan apa pun.
Joon mengintip ke balik kaca yang kotor. Matanya tidak menemukan Jinhee. Dia pun memanggil-manggil nama Jinhee sambil mengetuk-ngetuk kaca dan terus mengintip ke dalam bangunan tua, berharap Jinhee mendengarnya dan menjawab.
Dan PRANG, kaca jendela di sebelah kanan Joon pecah membuncah. Itu pasti Jinhee, pikir Joon. Joon langsung menghampiri jendela itu, berhati-hati terhadap pecahan kaca, dan melompat masuk ke dalam bangunan tua melalui jendela yang sudah tanpa kaca itu.
Joon menemukan kepengapan di dalam sini, ruang yang gelap—lebih gelap dari hari yang mulai berubah menjadi malam di luar sana, debu, sarang laba-laba, dan ... entahlah, kabut? Joon menabrak beberapa benda saat berjalan-jalan di dalamnya untuk mencari Jinhee.
'Aku di sini,' kata Jinhee.
Dan setelah melewati sebuah lubang pintu yang tanpa pintu, Joon menemukan Jinhee sedang berjongkok sedih di dekat kapsul terbangnya. Pantas saja Joon tak bisa melihat Jinhee dari luar, pikir Joon. Joon langsung menghampirinya untuk minta maaf. Katanya, "Jinhee-ya, maaf. Aku lupa menjemputmu tadi siang. Kau marah ya?"
Jinhee menelungkupkan kepalanya ke antara kedua tangan yang bersedekap di lutut.
"Jinhee-ya," Joon mengira Jinhee benar-benar marah. Dia berjongkok pula di depan Jinhee untuk membujuknya, "Jinhee-ya, maafkan aku. Hm? Tadi itu aku benar-benar lupa. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu sendirian di sini. Maafkan aku ya? Jinhee-ya?"
Jinhee diam saja, dan tak bergerak.
"Kubelikan kimbab segitiga yang banyak deh. Bagaimana? Hm? Jinhee-ya? Jangan marah." Joon terus berusaha untuk melihat wajah Jinhee.
Jinhee mengangkat kepalanya. Wajahnya basah, dan Joon tahu itu adalah tangis. Sebelum Jinhee bicara, Joon sudah berseru, "Jinhee-ya, kau kenapa? Ada apa? Kau mengira aku membuangmu di sini lalu kau menangis, begitu? Bukan begitu, aku—"
Jinhee menggeleng dengan wajah basahnya.
"Lalu kenapa?" tanya Joon, tenang.
'Ini,' Jinhee menepuk kapsul terbang yang tergolek di belakang tubuhnya. Joon melirik kapsul terbang itu. 'Kapsul terbangku tidak bisa selesai kuperbaiki sekarang. Kerusakannya parah sekali. Butuh banyak waktu untuk memperbaikinya.'
Mata Joon bolak-balik memandang kapsul terbang dan rengekan Jinhee. Joon menyimpulkan, "Bukankah kau memutuskan untuk tinggal di sini? Untuk apa kau memperbaiki kapsul terbangmu?"
Kali ini Jinhee menggeleng cepat. Katanya, 'Aku harus pergi dari sini. HARUS. POKOKNYA HARUS.'
"Kenapa? Ada apa?" Joon merasa harus tahu alasan dari keputusan Jinhee yang mendadak ini. Untuk itu, dia harus menenangkan Jinhee yang terus saja ribut mengatakan 'harus pergi' dan 'harus meninggalkan Bumi ini secepatnya'. Joon kewalahan, dan karena itu kali ini dia membentaknya, "JINHEE-YA!!"
Jinhee terdiam seketika. Jelas sekali, dia sedang menahan tangis, takut, dan cemas.
"Tenanglah," kata Joon, "Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba harus pergi dari sini? Apa yang terjadi? Kau dibutuhkan di bintang sana?" tanya Joon.
Jinhee menggeleng.
"Kau merindukan tempat tinggalmu di bintang sana?" tanya Joon lagi.
Jinhee menggeleng lagi.
"Lalu apa? Kenapa kau harus pergi dari sini?"
Jinhee akan menjawabnya dengan suara. Dia mulai menggerakan bibirnya, dan, "Sepertinya ... aku tidak boleh berada di sini."
"Oh? Kau bicara? Kau sudah bisa bicara sekarang?" Fokus Joon benar-benar teralihkan oleh kemajuan hebat Jinhee ini.
Jinhee berkata lagi, "Aku harus pergi dari sini, Joon-ah."
"Kenapa? Kau bahkan sudah bisa bicara sekarang. Kau bisa berbaur dengan manusia tanpa ketahuan sama sekali." Joon benar-benar menganggap itu adalah pemikiran dan jalan keluar yang luar biasa dari segala pertanyaan Jinhee tentang cara berbaur dengan manusia tanpa ketahuan yang Jinhee cemaskan selama ini.
"Tidak. Justru sekarang aku berada dalam bahaya," kata Jinhee, miris.
Joon menyipitkan matanya. "Bahaya? Bahaya apa?" Joon tak melihat ada bahaya apa pun di sekitar Jinhee sekarang ini.
Jinhee akan bercerita, singkat, "Tadi ... ternyata ... aku pernah hidup di sini seratus tahun yang lalu."
Joon terdiam untuk beberapa detik, lalu, "Apa itu maksudnya?" tanyanya. Dia sungguh tidak mengerti maksud ucapan Jinhee.
"Aku pernah hidup di sini seratus tahun yang lalu, dan ada yang mengenaliku. Dia tahu aku ini apa, dia tahu aku adalah L2, dan dia—dia—"
"Sebentar," Joon perlu mencerna ucapan Jinhee kata demi kata. Dia akan mengulang semuanya di kepala, dan, "Seratus? Seratus tahun? Kau—" Joon tak percaya Jinhee sudah setua itu, dan dia sungguh dibingungkan oleh semua ini. Joon benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang ini.
"Joon-ah," Jinhee menyadarkan Joon. Dia mengulang kalimatnya lagi, "Aku harus pergi dari sini."
Baiklah, Joon akan melupakan sejenak tentang usia Jinhee yang ternyata sudah lebih dari seratus tahun. Dia akan membahas itu nanti. Sekarang yang terpenting adalah, "Kenapa? Apa hubungannya kau pernah hidup di sini seratus tahun yang lalu dengan kau harus pergi dari sini sekarang?"
"Aku bertemu dengannya, dia benar-benar mengenalku," Jinhee ngotot.
"Siapa? Kau bertemu dengan siapa? Siapa yang mengenalimu itu?" Joon benar-benar gemas dibuatnya.
Jinhee terlalu cemas untuk berpikir jernih. "Entahlah," ucapnya, "dia memperkenalkan dirinya sebagai Leon. Namaqus Leon. Dia ingin aku mengingatnya, katanya aku bukan lawan yang pantas untuknya, dia—dia—dia tahu aku adalah L2, dia mengenalku."
"Jinhee-ya," Joon meremas kedua bahu Jinhee dan berkata, "Sekarang kau adalah Jinhee, bukan L2 lagi. Untuk apa kau mengingatnya? Apa pentingnya kalau kau bukan lawan yang pantas untuknya? Hm?"
"Tapi dia—"
"Kau sama sekali tidak ingat tentang dia, kan?" tanya Joon, serius.
Jinhee mengangguk.
"Kalau begitu, ya sudah, untuk apa kau pikirkan?"
Untuk beberapa detik, Jinhee terdiam. Lalu kedua tangannya saling bertemu dan berpegangan dengan kaku. Jinhee ketakutan.
Salah satu tangan Joon turun untuk menggenggam tangan itu. Dia bertanya, "Orang itu sangat menakutkan?"
"Dia bukan manusia," kata Jinhee, kosong.
"Ya, baiklah," Joon mengalah. "Jadi, dia sangat menakutkan?" tanya Joon, sekali lagi.
Alih-alih menjawab, Jinhee malah bicara melantur, "Chameleon. Dia chameleon yang telah berevolusi," katanya, "bukan hologram, tapi—dia tentara bayaran. Dia itu chameleon!"
"Iya, chameleon itu apa?" Kalau ada yang harus Joon tahu, beri tahu saja. Joon benar-benar siap untuk mendengarkan.
"Reptilian." Jinhee melantur lagi.
Auh, ini sungguh mengesalkan. Joon tidak bisa membiarkan Jinhee terus begini. Untuk itu, Jinhee harus keluar dulu dari sini. Joon merentangkan jaketnya ke pundak Jinhee, menggenggam erat tangan Jinhee, lalu menyeretnya keluar dari bangunan tua ini, dan tiba-tiba mereka sudah berada di dalam kamar kos yang terkunci rapat. Joon sungguh kaget mengetahui keberadaan dirinya.
"Jinhee-ya, kau ini sedang apa?" Joon tak merasa meminta Jinhee untuk berteleportasi, dan dia tahu, berteleportasi sambil membawa makhluk hidup adalah hal yang melelahkan bagi Jinhee—Jinhee menceritakan itu tadi pagi.
Pandangan Jinhee masing kosong. Dia berkata, "Kalau aku tidak bisa pergi dari sini, tolong aku, bantulah aku, hm? Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Dia—BENAR-BENAR membuatku takut. Ya? Sembunyikan aku darinya. Aku tak akan membuat batas untuk permohonanmu, akan kukabulkan semuanya, tapi kau harus menyembunyikan aku darinya. Ya? Kumohon."
"Siapa? Dia ada di mana?" Joon perlu tahu itu untuk mengabulkan permohonan Jinhee yang amat membuat hati cemas ini.
"Dia di sini, di kampus ini. Leon. Namaqus Leon. Aku sudah mengatakannya padamu, kan?" Jinhee sungguh terburu dalam berkata-kata, dia panik dan takut sekali.
Joon berpikir. Setahu dan seingat dirinya, tidak ada siapa pun yang bernama Leon atau Namaqus Leon di kampusnya ini. Mahasiswa asing—yang pastinya dikenal oleh semua mahasiswa karena keasingannya itu pun, tak ada yang bernama Leon. Sebenarnya siapa dia?
Jinhee bergegas mengambil kertas dan bolpoin. Tangannya bergerak cepat sekali di atas kertas itu, sambil memegang bolpoin. Saking cepatnya, Joon hampir tidak bisa melihat gerakan tangan Jinhee dan dia melihat sebuah sketsa sebagai hasilnya. "Leon," kata Jinhee, memberi tahu.
Joon memegangi sketsa itu. Rambut lurus-tak tebal, wajah tirus, hidung tajam, bibir mungil, dan mata—apa ini? Kenapa pupilnya oval-vertikal begini? Joon mengamatinya lekat-lekat. Jinhee menjelaskan, bahwa memang begitulah rupanya, pupil mata oval-vertikal, karena itulah Jinhee tahu dia chameleon.
Joon berpikir keras, dan bertanya "Kau yakin dia orang—eh, alien yang menakutkan itu? Kau tidak salah menggambar, kan?"
"Ya, dialah Leon. Kenapa? Kau pernah bertemu dengannya?" Jinhee sangat ingin tahu.
"Hoh," Joon mengiyakan dengan datar. ��Mungkin," lanjutnya, dan dia memberi tahukan pendapatnya tentang gambar itu, "Kecuali matanya yang oval-vertikal ..." Joon mengambil bolpoin dan membulatkan pupil mata yang oval-vertikal itu, lalu menyimpulkan dengan yakin bahwa, "... ini SANGAT mirip dengan Profesor Jung."
Jinhee menoleh pada Joon. "Siapa itu?" tanyanya.
"Salah satu dosenku, dan oh! Seola bilang, dia bersepupu dengan orang ini—maksudku, ya, orang ini, Profesor Jung." Joon yakin sekali dengan pendapatnya ini.
Dilihat berapa kali pun, meski bentuk pupil matanya diubah, menurut Jinhee makhluk itu tetaplah menakutkan. Jinhee meremas dan melempar gambar itu ke tong sampah. "Joon-ah, sembunyikan aku darinya ya? Kumohon. Setidaknya sampai kapsul terbangku selesai kuperbaiki. Ya?" Jinhee benar-benar TIDAK INGIN bertemu atau pun berpapasan dengan makhluk menakutkan itu.
Joon mengangguk mantap. Dia berjanji TIDAK AKAN membiarkan siapa pun itu yang bernama Leon menyentuh atau mendekati Jinhee. "Kau tenang saja,��� ucapnya, tenang.
Jinhee akan percaya pada Joon.