Begitu melewati pintu, Joon langsung ditegur oleh remaja laki-laki yang berdiri tidak sabar di balik meja kasir—Seungmin, "Aih, Hyung, dari mana saja sih? Kupikir Hyung tidak akan datang."
"Maaf. Ada yang harus kuurus dulu sebentar." Joon langsung mengambil alih meja kasir Seungmin mengoceh tentang menata barang. Joon memotong, "Sana ambil soda." Sebagai permintaan maaf karena terlambat, Joon mentraktirnya.
"Aku mau kopi," kata Seungmin.
"Ya sudah sana," Joon membolehkan.
Seungmin melompat senang dan langsung menyeduh kopi dengan air panas. Dia menawari Joon, tapi Joon menolak. Dia pun meniupi kopinya di dekat meja kasir, seolah menggoda Joon dengan aroma kopi panas itu.
Karena Seungmin tak kunjung pergi dan malah meniupi kopi di dekatnya, Joon jadi kesal. "Sana pulang. Bukannya tadi kau marah padaku gara-gara aku terlambat?"
"Kan aku ditraktir ini." Seungmin mengacungkan gelas kertasnya. Dia akan menemani Joon sebentar, setidaknya sampai kopinya habis.
"Jangan terlalu banyak minum kopi." Joon tidak begitu senang ditemani olehnya. Dia berceramah, "Kafein bisa membuatmu tak lulus ujian."
Seungmin menyeruput kopinya. "Tenang saja. Aku tidak peduli tentang itu kok." Seungmin meremas gelas kertasnya yang telah kosong, dia menyeruput kopinya sekaligus langsung habis.
Joon geleng-geleng kepala.
"Hyung, aku pulang dulu ya? Hati-hati ada hantu ..." Seungmin menggantungkan tangannya di bawah dagu sambil berjalan mundur hingga keluar mini market. Dia pun menghilang setelah suara nyaring terdengar—suara lemparan gelas kertas ke tong sampah.
Joon tidak percaya hantu. Hantu itu tidak ada menurutnya, tapi ... 'Joon,' ada suara yang menyebut namanya. Joon terperanjat beku.
'Joon. Joon. Kim Joon.' Suara itu terus berulang.
Joon memeluk dirinya dan menoleh cepat ke sekitar, mencari asal suara. Tak ada siapa pun kecuali dirinya. Dari mana datangnya suara itu? Dari mana?! Joon amat panik.
'Kim Joon,' suara itu mengeja.
"L2?" Joon mengenal suaranya.
Ya. Sebelum pergi, Joon sempat memperkenalkan diri padanya. Dia tahu nama Joon, dan Joon tahu namanya meski Joon merasa L2 bukan sebuah nama. Rupanya anak itu sedang menyebut-nyebut namaku, pikir Joon. Joon jadi tenang karenanya.
Lalu ... 'ding-diringding-diringdingding ...' ponsel Joon berdering di saku celana. Joon terperanjat lagi. Kali ini dia terperanjat ribut hingga lututnya membentur meja kasir beberapa kali.
Joon menjawab telepon itu. "Halo?!" sapanya, kasar.
"Kau kenapa? Bukannya bilang kangen, malah marah-marah," kata suara berat di balik telepon. Itu bukan telepon dari perempuan, tapi dari teman sekamarnya, Jungshin.
"Kau mengagetiku," kata Joon. "Ada apa?" tanyanya, masih dalam mode kasar.
Jungshin memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan. "Wah, kau benar-benar jahat. Temanmu menelepon, tanggapanmu begitu? Temanmu ini mau wamil! Berjuang demi negara!"
Pupil mata Joon hampir tenggelam. "Iya. Jadi? Kau sudah di barak? Ditugaskan di wilayah mana?" Joon hanya basa-basi, mengabulkan keinginan temannya.
"Aku masih di rumah. Wamil-nya baru mulai minggu depan, dan tentang wilayahnya ..."
Joon tak mendengarkan. Perhatiannya teralihkan oleh seorang pria yang memasuki toko, memilih ramen seduh, menyeduhnya, dan duduk di sudut toko.
Sementara obrolan Jungshin sudah melambung jauh ke bahasan pasca wamil, Joon hanya iya-iya saja menanggapinya. Dia terlalu sibuk menghitung total jajanan pria tadi, menerima uang, memberikan kembalian, dan mengucapkan salam. Joon mendesah karena telinganya mulai panas.
Dan, 'Kim Joon,' suara L2 terdengar lagi.
Joon langsung tersadar akan sesuatu. Dia berucap dengan amat serius, "Jungshin-ah!"
"Apa? Sebenarnya kau tidak mendengarkanku, kan? Ah, aku tahu pasti begitu." Jungshin sudah cukup mengenal teman sekamarnya selama hampir dua tahun ini.
"Bukan itu," kata Joon.
"Lalu apa?"
Joon mengolah kata sementara Jungshin mengocehkan berbagai kemungkinan kalimat yang akan Joon katakan—ledekan, tertawaan, dan omelan, dan semua itu salah. Joon bertanya, "Kau tahu banyak tentang makhluk selain manusia, kan?"
"Eh?" Jungshin tak paham maksudnya.
"Iya, kan?" Joon memaksa.
Jungshin berpikir, "Kalau selain manusia, bukannya kau juga cukup tahu banyak? Kau kan jurusan kedokteran hewan."
"Bukan itu," Joon gemas, "maksudku yang tidak tercatat dalam pohon filogeni!"
Jungshin merasa konyol tentang itu. Dia menanggapi ucapan temannya dengan perasaan terhina, "Hantu dan kawan-kawannya, maksudmu?"
"Iya, itu! Coba kau ceritakan," pinta Joon, heboh.
"Ceritakan apa? Aku belum pernah punya pengalaman bertemu dengan hantu dan kawan-kawannya itu."
"Jenis mereka apa saja? Sebutkan!"
Jungshin sedikit memutar otaknya. Dia pun mulai menyebutkan jenis-jenis hantu, "Gumiho, dokkaebi, gagak berkaki tiga, hantu telur—"
"Bukan yang di negara kita, tapi dari Barat. Ada apa saja?" Joon semakin heboh.
Jungshin kembali berpikir, "Hm ... zombi, vampir, Frankenstein, mumi, kurasa sudah."
Joon bergumam sendiri, "Karena dia berambut pirang dan bermata biru, pastinya dia bukan dari sini atau negara Asia lainnya. Zombi dan vampir sudah terbukti bukan. Frankenstein itu laki-laki, jadi pasti bukan juga. Mumi? Hm, dia tidak memakai perban sehelai pun. Aih, apa dong?"
"Kau ini bicara apa sih?" Jungshin penasaran.
"Jungshin-ah, kau yakin sudah semuanya?" Joon bertanya lagi.
"Hanya itu yang kuingat, tapi—kau ini sebenarnya sedang apa sih? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal yang konyol begitu? Oh!" Jungshin teringat sesuatu.
"Apa? Apa? Apa?" Joon heboh luar biasa.
"Kurasa masih ada yang belum kusebutkan," kata Jungshin.
"Apa?" Joon benar-benar penasaran.
"Alien," kata Jungshin, dengan pintar.
Joon terdiam. Benarkah alien itu ada? Kalau hantu, dia masih bisa mentolerir karena obrolan dan kisah-kisahnya membumi dan dekat dengan kehidupan sehari-hari juga sejarah. Tapi kalau alien ... selain artikel yang tidak jelas, ada bukti apa lagi tentang keberadaannya?
"Oy, Kim Joon!" Jungshin berseru.
"Heh, Jungshin-ah, dengar ya?" Joon akan menyebutkan ciri-ciri L2. Katanya, "Dia berambut pirang dan bermata biru, tinggi, bicara tanpa menggerakan bibir, bisa menerbangkan benda-benda, bisa membawa orang lain berpindah tempat dalam sekejap, dan entah benar atau tidak, katanya dia bertahan hidup dalam dua minggu hanya dengan sebutir kapsul aneh. Menurutmu, itu apa?"
Cukup lama tak ada jawaban dari Jungshin.
"Jungshin-ah, apa?" Joon benar-benar ingin tahu pendapat Jungshin.
"Kau mabuk ya?" Jungshin menyimpulkan.
Joon sungguh frustrasi karenanya."Aku tidak minum alkohol. Kau tahu itu."
Jungshin mengangguk-angguk dalam diam.
"Aku serius. Menurutmu, itu apa?"
Terdengar suara napas Jungshin yang malas. Lalu dia bicara, "Kalau ini adalah permainan 'Tebak Siapa Aku', jawabanku alien."
Joon tersentak kaget. "Kau serius?" tanyanya.
"Ya," kata Jungshin, "Bicara tanpa menggerakan bibir, mungkin itu telepati. Berpindah tempat dalam sekejap, mungkin adalah teleportasi. Dan bertahan hidup hanya dengan sebutir kapsul ... kudengar, para ilmuwan sedang mengembangkan itu demi para astronot. Dan kalau tentang berambut pirang dan bermata biru, aku tidak yakin karena biasanya alien yang digambarkan di film-film tidak begitu. Eh? Tidak deh. Ada juga yang penampakannya seperti manusia. Misalnya ..."
Setelah itu, ucapan Jungshin tidak lebih dari sekedar angin yang lewat. Joon terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran imajinatif-nya. Bertemu dengan alien, bicara dengannya, dan membolehkannya tinggal bersama. Apakah itu tidak berbahaya bagi dirinya dan dunia? Dan itu SANGAT MENAKUTKAN. Joon sungguh resah dibuatnya.
"... Negara kita juga pernah membuat beberapa film dan drama tentang alien. Yang paling kusuka, hm, 'Man from The Star'! Jun Ji Hyun—OH .... Tapi tentu saja itu hanya karangan belaka, meski dibuat berdasar artikel-artikel yang beredar. Kalau aku sih sampai melihat LANGSUNG dengan kedua mataku ini, aku TIDAK AKAN percaya."
"Aku melihat," kata Joon, seram.
"Eh?" Jungshin heran.
"Aku melihat. Aku melihat dengan kedua mataku ini. Aku melihat!!" Joon hampir menangis, karena seram dan resah.
"Melihat apa?" tanya Jungshin, santai.
"ALIEN!!" Lalu Joon bercerita dengan terburu-buru, "Dia bertelepati, berteleportasi—seperti dalam drama yang kau sebutkan itu! MAN FROM THE STAR. Oh iya, dan—dan—dan—dan katanya dia itu berasal dari ... berasal dari Ple-Ple apalah gitu. Pokoknya aku selalu salah mengartikannya jadi Pledis Entertainment. Kalau ucapanmu dan penglihatanku ini benar, berarti dia—"
"Pleiades?" kata Jungshin, dari balik telepon. Rupanya dia memikirkan tentang 'Ple-Ple' yang diucapkan Joon dan tak mendengarkan cerocosan berikutnya.
"Maksudmu, Pleiades?" kata Jungshin, sekali lagi.
"Hooh. Itu! ITU! Kau tahu itu apa?" Joon benar-benar membelalak.
"Entahlah, tapi pokoknya itu berkaitan dengan bintang kelahiran adik perempuanku, Taurus. Aku cukup sering mendengar itu darinya karena dia tergila-gila pada astronomi dan ramalan bintang." Jungshin menjelaskan.
Rahang bawah Joon hampir jatuh.
"Joon-ah, kau serius?" tanya Jungshin, serius.
"Hoh," Joon mengiyakan.
"Yakin?"
"Yakin," Joon meringis.
"Kau tidak sedang bercanda untuk membuatku percaya lalu menertawakanku, kan?" Jungshin perlu memastikan segalanya.
"Tidak. Aku serius, aku yakin, aku benar, aku bertemu dengan alien." Joon memegangi dada untuk memastikan bahwa dirinya masih hidup.
Jungshin terdiam.
"Dan sekarang dia ada di kamar kos kita," Joon menambahkan.
Jungshin menganga.
*********
'Kim Joon,' L2 menyebut dan menyebut lagi nama itu. Dia akan mengingatnya, mungkin selamanya, sebagai manusia pertama yang dia kenal di Bumi ini.
L2 memandang langit di balkon sempit indekos Joon. Kali ini Joon tidak menguncinya. Dia merasa bersalah akibat perbuatan tak disengaja-nya itu. Kalau dipikir-pikir, itu lucu juga. Padahal L2 bisa saja berteleportasi kalau memang ingin keluar kamar kos. L2 tersenyum geli.
Dia kembali menoleh pada langit. Ada banyak bintang di sana, dan salah satunya adalah tempatnya berasal, Pleiades. L2 tak merindukan tempat asalnya itu. Sebaliknya, dia menyesal tak datang ke Bumi sejak lama.
Di sini dia bisa menikmati cahaya matahari, mendengar berbagai suara, menghirup udara yang ringan, dan ... kimbab segitiga rasanya enak juga, pikir L2. Dia menyukai banyak hal di Bumi yang baru dipijaknya tak lebih dari 48 jam ini, termasuk Joon dan namanya. L2 tak menyalahkan kapsul terbangnya, yang menentukan koordinat tujuan seenaknya, malah dia merasa SANGAT puas. L2 tersenyum pada bintang-bintang dan para penghuninya yang hanya mengenal Bumi lewat teori. Dia bukan merendahkan mereka, tapi hanya merasa sedikit lebih berpengalaman daripada mereka.
Lalu dia mengenali gelombang kedatangan Joon. L2 menoleh ke arah bawah, memergoki Joon yang sedang menengadah, dengan seram, ke arah dirinya.
Joon menaiki tangga.
Joon berucap, "Kau ..." tapi ucapannya terputus sampai di sana. Dia mengintip bagian belakang L2, lalu menoleh pada bulan bulat yang mulai pudar. Tidak ada satu pun ekor yang muncul, artinya dia benar-benar bukan gumiho, pikir Joon. Joon masih ingin membuktikan kemungkinan lain—tentang jati diri L2, selain alien.
'Apa?' tanya L2.
Joon tetap tak bicara.
'Semalaman ini kau mikirin aku ya?' L2 bukan sedang menggombal, tapi serius. Dia bisa merasakan segala hal yang ditujukan Joon pada dirinya, seolah Joon bertelepati padanya.
Joon bertanya, "Kau tidak tidur?"
L2 menggeleng.
"Tidak mengantuk? Tidak lelah? Kau kan juga manusia." Itulah tujuan dari pertanyaan Joon, membuat L2 mengakui jati dirinya.
L2 menjawab, 'Tidak. Bisa dibilang, ini adalah malam pertamaku di Bumi. Aku ingin melihat keadaan galaksi dari sini.'
"Kau di luar semalaman?! Di sini?!" Joon tak percaya.
L2 mengangguk dengan cerahnya. Katanya, 'Aku ingin melihat matahari terbit. Sebentar lagi, kan?'
Joon menoleh ke langit. Bulan sudah semakin pudar. Lalu dia berceramah, "Ya, tapi kau tidak perlu menunggunya semalaman di luar begini. Kau tidak kedinginan?" Joon memperhatikan pakaian L2—yang meski pada siang hari kelihatannya membuat gerah, tapi tetap saja pakaian itu tipis.
'Dingin? Tidak,' kata L2. Dia menjelaskan, 'Pakaian ini didesain untuk bertahan pada suhu ekstrem sekalipun. Jadi, aku tidak kedinginan.'
"Jangan bercanda. Mana ada pakaian seperti itu?" kata Joon.
L2 memperhatikan pakaian Joon, celana jeans, kaus, dan jaket tipis. L2 menyimpulkan, 'Kau kedinginan?'
"Yah, tidak juga sih, tapi—"
BUK. Tiba-tiba L2 memeluk Joon erat-erat. Dagunya bertengger—pas sekali—di pundak Joon, dan kedua tangannya menyekap semua anggota gerak tubuh Joon. Joon tak bisa bergerak sedikit pun dan pipinya memerah panas.
"He-he-heh, kau ini apa-apaan? Lepaskan," kata Joon, gugup.
'Bagaimana? Hangat, kan? Sekarang kau percaya, kan?' L2 terus memeluk Joon.
"Ho-ho-hooh, hangat. Sudah ah." Joon melepaskan pelukan itu dengan mudah, tak ada perlawanan atau pun pertahanan dari L2.
L2 bicara, 'Tapi ... jantungmu berdetak cepat sekali. Dan pipimu kenapa? Kau ...'
"Ja-jangan diteruskan! Aku baik-baik saja." Joon langsung membungkam L2 dengan bentakan dan mata melototnya.
'Baiklah,' lalu L2 melangkahkan kaki hingga pahanya menempel di pagar balkon dan matanya kembali mengarah pada langit. Dia akan menyambut kedatangan cahaya matahari.
Joon bicara, dengan gugup, "Kau ... rumahmu—maksudku, tempat tinggalmu, asalmu, benar-benar dari bintang?" tanyanya.
L2 langsung mengiyakan.
Joon berdiri persis di samping kanan L2, mendongak ke langit—mencari tempat L2 berasal. "Mana? Bintang yang mana? Apa dari sini kelihatan?" tanyanya, bertubi-tubi.
'Tidak. Matahari jauh lebih dekat dengan Bumi daripada bintang tempatku berasal. Tak akan kelihatan. Dan tadi malam pun sebenarnya tidak kelihatan. Mungkin belum saatnya.' L2 agak kecewa tentang itu, dia tak bisa menunjukan tempat asalnya pada Joon.
"Oh begitu?" Joon menganggap L2 gila. Lalu tiba-tiba dia menodongkan jari di ujung lengannya yang cukup panjang dan berkata, "Apa tujuanmu datang ke Bumi? Kau mau apa?"
L2 tersipu lucu. Dia tahu kebanyakan manusia menganggap alien adalah musuh yang ingin menguasai Bumi. Itu tidak sepenuhnya salah, tapi kali ini Joon salah.
Telunjuk dan jempol Joon yang menghunus digenggam oleh L2. Dia akan menjawab pertanyaan Joon, 'Aku ... ingin tinggal di sini, menetap di sini, selamanya. Itu tujuanku. Boleh, kan, Manusia?'
Sontak, Joon terduduk dan menyeret dirinya mundur dengan kedua tangan dan kakinya sementara pandangan matanya tertuju pada mata biru L2. Berarti benar, dia adalah ... dia adalah ... adalah ...
'Kim Joon,' panggil L2, 'aku boleh tinggal di sini, kan?' tanyanya, manis, dengan senyum dan punggung melengkung ke arah Joon.
Mata birunya, percikan-percikan lebih biru dalam mata biru itu ... bagai galaksi yang bersinar, semesta yang amat sangat cantik, dan, "Hoh, kau boleh tinggal di sini," ucap Joon.
BRURUK. L2 mendarat memeluk Joon. Kali ini pipinya menempel di dada Joon yang dilapisi kaus tipis dan kedua tangannya melingkari pinggang keras Joon. Dia amat berterima kasih pada Joon. Dia mengatakan itu berkali-kali, 'Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.'
Sedangkan Joon? Dia benar-benar tidak bisa bergerak. Rasanya dia akan mati kaget. Betapa gila dan bodohnya dirinya, gumam Joon dalam benak.