"Hey, kau bayi, hah? Bersihkan itu!" Seola bersedekap jutek setelah mencentang ujung bungkus biskuit Manho yang berantakan di meja.
"Maaf, aku memang begini kalau makan biskuit," kata Manho, sambil menyeret remah biskuit dengan kedua telapak tangannya hingga ke luar meja.
Meski sadar Manho itu gemuk, rakus, dan tidak keren, Seola tetap memilih duduk di dekatnya karena berharap bisa duduk berdekatan dengan Joon yang entah sengaja atau kebetulan selalu duduk di dekat Manho. Sebagai mahasiswi yang sering dipuji manis dan cantik, sudah seharusnya Seola berpasangan dengan mahasiswa yang keren dan berkarisma, Joon. Seola bisa menahan perasaan risihnya, karena Manho, demi hal itu.
Kemudian Joon datang.
"Pagi," sapa Joon.
"Pagi." Manho menyilakan Joon untuk duduk di samping kanannya.
Seola terpesona.
Joon menyisir rambutnya dengan jari. Dia melirik bungkus biskuit Manho dan langsung bertanya, "Masih ada, tidak?"
"Sudah habis," kata Manho, menyadari arah lirikan Joon.
"Ah, aku belum sarapan nih." Tanpa sungkan, Joon menyobek ritsleting tas punggung Manho untuk mengintip ada-tidaknya makanan. Joon tahu, Manho selalu punya cadangan makanan di dalam tas.
"Maaf, Sunbae, hari ini aku belum sempat beli camilan," kata Manho, lalu menjauhkan tasnya dari intipan Joon. Dia tidak mau cumi kering kesayangannya, yang disembunyikan di saku bagian dalam tas, diambil oleh Joon.
Sementara itu, Seola ribut merogoh tas mungilnya. "Sunbae, sandwich!" dia menyodorkan kotak makan pada Joon, menyilang Manho yang berada di antara mereka.
Joon mendehem. "Aku memang belum sarapan, tapi aku tidak lapar. Kau simpan saja ya?" Joon mendorong kotak makan itu ke arah pemiliknya.
"Untukku saja!" Manho akan mendapatkan kotak makan itu seandainya Seola tidak cepat-cepat memasukannya ke dalam tas.
Seola manyun-manyun.
Lalu kedatangan dosen membuat fokus semua mahasiswa berpindah pada buku dan alat tulis. Joon pun kali ini tidak ketiduran. Dia membuka matanya lebar-lebar, tapi ....
Identitas L2 terus terpikirkan olehnya. Sebenarnya dia itu apa? Untuk ukuran seorang perempuan, dia tinggi dan cantik. Dia berambut pirang dan bermata biru seperti orang Eropa. Kelihatannya dia manusia, tapi entah kenapa Joon terus menyangkal hal itu dalam benaknya.
Joon berbisik pada Manho, "Hey, menurutmu apa yang bisa bicara tapi tak menggerakan mulutnya?"
Manho berpikir sejenak, lalu bertanya, "Tapi dia punya mulut?"
"Punya," jawab Joon, langsung.
"Boneka? Sekarang kan banyak boneka yang bisa bicara. Dadanya ditekan, suara direkam, lalu jadilah seolah boneka itu berbicara." Manho sangat berpengalaman dengan boneka semacam itu karena adik perempuannya yang masih berusia empat tahun.
Itu masuk akal sih, pikir Joon. "Tapi bicaranya itu tidak seperti rekaman," sangkal Joon, "Dia berkomunikasi. Dia bisa berinteraksi dengan baik meski ucapannya itu kadang tidak masuk akal."
"Hm ..." Manho menggendong dagunya.
"Selain itu dia bisa berpindah tempat dalam sekejap dan—dan—dan membuat benda-benda melayang!" Joon bicara dengan nada yang mendesir penuh angin, seram dan misterius.
Gerakan kepala Manho, yang pelan tak bersuara, seolah menjawab kemisteriusan ucapan Joon tadi. Manho menyimpulkan, "Sunbae, hantu ..."
"BUKAN. BUKAN HANTU!"
Semua orang, termasuk dosen yang berwajah amat serius—Profesor Gong, menoleh pada Joon dan Manho. Profesor Gong berseru, "KONSENTRASI. Kau ingin jadi hantu?"
Joon hanya nyengir pada Profesor Gong.
Setelah Profesor Gong kembali pada materi belajar, Joon kembali berbisik-bisik dengan Manho. Katanya, "Dia tidak tembus. Bisa disentuh."
"Benarkah?" Manho tak yakin akan itu.
"Dan wajahnya itu ... wajahnya itu aneh. Seperti ... diatur? Entahlah. Pokoknya rasanya kaku sekali. Kedipan matanya juga terlihat aneh!"
"Mungkin kau kekurangan magnesium. KIM JOON!" Profesor Gong memergoki Joon lagi, sekaligus mendengar kilasan ucapannya tentang kedipan mata.
Kali ini Joon dan Manho benar-benar mengakhiri obrolan. Mereka saling menjauh beberapa senti dari posisi awal, membuat Seola—yang jadi lebih berdekatan dengan Manho—semakin merasa risih.
Sampai kelas berakhir, tidak ada lagi obrolan. Profesor Gong meninggalkan ruangan dan para mahasiswa mengemas buku-bukunya untuk berpindah ke kelas lain atau ke tempat tujuan lainnya masing-masing.
Jiwon, yang duduk satu baris di depan Joon, Manho dan Seola, berdiri menghadap mereka lalu melemparkan kantong kertas yang lepek ke depan mereka. Katanya, "Sepertinya itu burger yang kubeli kemarin. Terlupakan, dan sekarang aku tidak mau memakannya. Untukmu saja."
Seola ogah menyentuhnya, jijik.
Joon acuh.
Manho tak menolak. Saat tangannya hampir menyentuh kantong kertas itu, Jiwon bicara lagi, "Kalau aku tidak salah ingat, di dalam situ juga ada pisang. Kau butuh magnesium, kan? Makanlah," katanya, pada Joon. Lalu Jiwon pergi begitu saja bersama tas punggung lepeknya.
Manho jadi ragu untuk mengambilnya.
"Burger dan pisang dalam kantong lepek itu? Ewh, Sunbae itu jorok sekali," komentar Seola sambil geleng-geleng kepala.
"Sunbae, ini untuk Sunbae, kan?" Manho bertanya pada Joon, memastikan bahwa makanan lepek itu ada pemiliknya.
"Untukmu saja," kata Joon, lalu beranjak keluar ruangan.
"Sunbae, bareng!" Seola berjingkrak lari dan berhasil berjalan berdampingan dengan Joon sebelum mencapai pintu.
"Aku ada kelas lagi," kata Joon, malas.
"Aku juga. Profesor Jung, kan?"
Joon hanya geleng-geleng kepala.
Seola menggeliat genit, memasukan lengannya ke sela lengan dan saku Joon. Lalu dia bicara dengan centilnya, "Sunbae, setelah ini kita makan siang bareng, yuk?"
"Tidak ah." Joon menyingkirkan tangan Seola. Dia merasa risih.
"Aku yang traktir," tambah Seola.
"Tidak, terima kasih. Aku tidak lapar." Joon melebarkan langkah kakinya supaya tidak berjalan berdampingan lagi dengan Seola yang selalu saja menempelinya itu.
Seola menggerutu, "Padahal belum sarapan. Bilang saja tidak mau makan denganku."
Beberapa meter di depan Seola, Joon bertanya-tanya, "Aneh. Kenapa aku tidak lapar ya? Dan rasanya aku bersemangat sekali. Karena obat abu-abu itukah? Hah? Jangan-jangan ..." Joon langsung menghilangkan segala pikiran buruknya tentang obat abu-abu itu. Dia memantrai dirinya agar tenang dan yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja. Joon terus melaju menuju kelas berikutnya.
*********
L2 masih berdiri di tempat terakhir kali Joon melihatnya. Dia benar-benar hanya berdiri. Sesekali dia berkedip, melirik, dan menoleh ke setiap sudut kamar ini.
Mata birunya menangkap bahaya, gelas yang tadi dipakai Joon minum dengan terburu-buru ternyata disimpan terlalu menepi di meja Jungshin. Tanpa bergerak sedikit pun, L2 menggeser gelas itu lebih ke tengah.
Dia kembali hanya berdiri. Kali ini mata birunya menangkap partikel debu yang berterbangan mengikuti cahaya matahari yang masuk melalui jendela dekat pintu. L2 memandanginya selama berjam-jam dan tak berhenti takjub. Akhirnya dia bisa melihat cahaya matahari dari dekat tanpa khawatir akan terbakar.
Tiba-tiba L2 teringat sesuatu. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan semua isinya. Kapsul abu itu hanya tinggal empat. L2 bertanya-tanya, 'Sampai kapan dia bisa bertahan di Bumi hanya dengan empat kapsul?', 'Akankah dia bisa bertahan setidaknya sampai kapsul terbangnya selesai diperbaiki?', dan ...
'Apa Joon baik-baik saja setelah menelan kapsul itu?' L2 mengkhawatirkan tubuh Joon yang mungkin tidak terbiasa pada kandungan yang terdapat dalam kapsul makannnya.
*********
"Aneh nih," gumam Joon sambil memegangi perutnya. Dia sudah berada di kantin kampus untuk makan, tapi meski menu yang ditawarkan cukup menggiurkan, dia sama sekali tak tertarik untuk makan.
Joon berpikir, 'Aku ingin makan, tapi tidak lapar. Jelas-jelas belum makan apa pun, tapi rasanya aku bahkan bisa mendorong bus sekalipun. Aneh. Sangat aneh.'
Joon memutuskan untuk tidak makan. Joon melenggang menuju perpustakaan dengan penuh semangat. Padahal biasanya dia tidak pernah se-semangat ini saat melenggang menuju perpustakaan. Joon akan mengerjakan tugasnya sampai selesai hari ini juga.
Tanpa membawa roti, camilan, atau pun minuman, Joon membolak-balik berbagai buku selama berjam-jam di perpustakaan. Meski Joon tergolong mahasiswa yang menggunakan otak, tapi biasanya dia tidak pernah bertahan di perpustakaan lebih dari dua jam. Joon heran dan senang akan hal itu. Tugasnya pun benar-benar selesai hari ini.
Joon menggeliat di kursi.
Melihat perpustakaan sepi, Joon pun sadar bahwa malam telah dimulai dan ADA YANG TERKUNCI SEHARIAN DI KAMAR KOSNYA. Dia tidak punya roti, camilan, atau makanan apa pun di kamar kosnya. Di sana hanya ada galon air yang isinya sudah tidak banyak. Joon harus buru-buru pulang!
Joon bisa membayangkan betapa menderitanya orang itu. Terkunci seharian di kamar orang asing, tanpa makanan, hampir tanpa minuman, pasti rasanya sesak dan stress sekali. Joon bergerak secepat mungkin agar bisa segera sampai di indekosnya yang untungnya tidak jauh dari kampus dan tak perlu naik kendaraan.
Keluar area kampus lewat gerbang depan, mata Joon menangkap keberadaan mini market yang begitu terang bagian dalamnya. Ah, dia harus membeli makanan. Joon segera memasuki mini market itu dan mengambil sembarang makanan instan yang bisa dia masak di kamar kosnya dan camilan dan minuman dingin. Bukan untuk dirinya, tapi untuk gadis yang tak sengaja terkurung karena dirinya. Joon merasa bersalah.
Joon memijit kode pintu dengan amat terburu-buru. Dan begitu pintu itu terbuka, dia dikejutkan oleh sesuatu yang berterbangan di depan mata, sebuah benda berwarna abu berbentuk seperti tabung dan kelihatannya cukup keras. Benda itu mendarat cepat sekali di lantai, seolah terjatuh.
Sepertinya Joon pernah melihat benda itu, pikirnya. Tapi Joon segera menyingkirkan pemikiran tidak penting itu. Dia masuk ke kamarnya tanpa menutup pintu, membongkar kantong plastik belanjaannya di mejanya sambil mengoceh tentang sesak, stress, dan maaf atas semua itu pada L2. Lalu Joon menyadari sesuatu, "Kau ... jangan bilang kau tidak bergerak sedikit pun dari tempat berdirimu itu sejak kutinggalkan kau tadi pagi?"
L2 hanya berkedip, polos.
"Apa saja yang kau lakukan seharian ini?" tanya Joon, sungguh ingin tahu.
'Berdiri di sini,' kata L2.
"EH?" Joon benar-benar kaget. Dia mendekat untuk melihat keadaan L2, tapi tak menyentuhnya sama sekali. "Kau tidak apa-apa? Kakimu tidak sakit?" tanyanya, heran.
L2 tak menjawab. Lalu DUK, kaki Joon tak sengaja menendang benda yang melayang-layang tadi. Joon tak begitu kesakitan karenanya, sedangkan benda itu jadi terguling di lantai. L2 menarik benda itu ke telapak tangannya.
"Itu apa?" tanya Joon, ingin tahu. Seingatnya, dia tidak pernah memiliki benda semacam itu juga tidak pernah tahu Jungshin memilikinya.
'Ini partikel debu, kapsul debu,' jawab L2, sambil memandangi benda abu itu.
Dahi Joon mengernyit.
L2 menjelaskan, 'Karena kau bilang aku tidak boleh ke mana-mana dan aku melihat banyak sekali partikel debu yang berterbangan, aku mengumpulkannya dan membentuknya jadi seperti ini. Aku juga menghitungnya. Kau tahu berapa jumlahnya ini? Ini—'
Kedua tangan Joon mendarat di lengan atas L2, mencengkeramnya dan menggiringnya duduk di—tadinya di ranjang Jungshin, tapi Joon mengubah posisi dan akhirnya L2 duduk di tepi ranjangnya dan dia duduk di ranjang Jungshin. Mereka duduk berhadapan.
Joon ceramah, "Kau bodoh ya? Mengartikan ucapanku seperti itu? Maksudku kau harus tetap berada di kamar ini, bukan berada di tempatmu berdiri itu. DAN, kau ini gila ya? Mengumpulkan dan membentuk partikel debu, katamu? Dan menghitungnya? Apa itu mungkin? Hanya dalam satu hari? Jangan bercanda. DAN berhenti memakai suara perut. Aneh sekali rasanya, tau?"
L2 tak membela diri atau pun berkomentar.
Joon lelah sendiri jadinya. "Kau lapar, kan? Aku belikan makanan untukmu. GRATIS. Bersyukurlah," kata Joon, seram, sambil berjalan menuju meja belajarnya yang telah berantakan lagi oleh belanjaan.
L2 duduk diam.
Tiba-tiba Joon mendesah, "Ah, kenapa aku hanya beli satu? Barusan itu benar-benar membuatku ingin minum. Ah, aku harus keluar lagi nih."
'Kau ingin benda itu satu lagi?' L2 mengarahkan telunjuknya pada botol jus jeruk dingin berbulir yang berdiri di atas meja.
Joon tak mengerti maksudnya. Lalu CRING, tiba-tiba jus itu menjadi dua. Joon tak percaya pada penglihatannya. Dia mengucek-ngucek mata. "Apa ini? Barusan—jus ini membelah diri atau apa?" gumamnya, heboh.
'Membelah diri hanya dilakukan oleh makhluk ber-sel satu, sedangkan di dalam benda itu ada banyak sekali selnya.' L2 menjelaskan.
"Jadi ... jadi apa yang kau lakukan pada jus itu?" Joon menunjuk seram ke arah dua botol jus di mejanya.
'Aku tidak melakukan apa-apa.'
"Itu kalau diminum tidak apa-apa?"
'Itu minuman?' tanya L2, sungguh tidak tahu.
Joon membeku sejenak karena pertanyaan konyol itu. Tanpa bertanya lagi, Joon akan minum saja. Dia agak bingung memilih botol jus. Dia akan meminum jus yang dia beli, bukan jus yang muncul begitu saja di mejanya. Joon pun menemukan jus itu, membuka tutup botolnya, dan meminumnya dengan bergeleguk-geleguk.
"Kau juga minumlah." Joon melempar botol jus satunya ke tangan L2.
Saat Joon hendak meraih camilan, telunjuknya tergores oleh ujung kertas dan rasa perih terasa olehnya meski hanya sekilas. Tiba-tiba dia terpikir sesuatu.
Dengan sengaja, dia menusuk ujung telunjuk kirinya dengan paku kertas. Sambil menyembunyikan telunjuknya yang sedikit berdarah itu di belakang badan, Joon mendekati L2 pelan-pelan ... pelan-pelan ... dan menunjukan telunjuk berdarah itu secara tiba-tiba tepat di depan hidung L2 sambil berbisik, "Darah ... darah manusia. Tidakkah kau tergoda?" Rupanya Joon ingin membuktikan L2 itu vampir atau bukan.
L2 tak bergeming, hanya berkedip satu kali.
"Bukan ya?" Joon pun kembali ke dekat mejanya.
L2 mengamati Joon. Meski menelan kapsul makanan yang tidak biasa bagi tubuhnya, sepertinya Joon baik-baik saja. Selama dia tidak menambah asupan energi dan terus bergerak, tidak akan terjadi apa pun padanya. L2 bisa sedikit lega.
Lalu tiba-tiba L2 bangkit, menghapiri Joon, dan menangkap jari yang berdarah tadi. Entah apa yang dia lakukan, tapi Joon merasa ada sesuatu yang berbeda dengan jarinya. Joon memeriksanya, dan ... "Ini kau yang lakukan?"
L2 mengangguk.
"Kau bisa—menyembuhkan luka?" Joon terus memencet jarinya itu dan tak ada setetes pun darah yang keluar darinya.
L2 hanya angkat bahu.
Lagi-lagi Joon merasa kagum. Dia melongo dalam beberapa detik, lalu mengingatkan dirinya untuk tidak lengah di hadapan makhluk yang belum jelas identitasnya ini.
Joon melempar kimbab segitiga ke pangkuan L2. "Makanlah. Kau pasti lapar, kan? Kau kan belum makan," kata Joon, yakin.
'Sudah.' L2 bicara.
"Kapan?" Joon tak percaya.
L2 menghitung dalam benaknya, 'Kalau menurut perhitungan waktu di Bumi, terakhir kali aku menelan kapsul makanku adalah sekitar ... dua minggu yang lalu?'
"EH?!!" Joon benar-benar kaget. Dia segera membukakan kimbab segitiga itu dan menjejalkannya ke mulut L2, "Hey, cepat makan. Makan. Kau bisa mati. Cepat makan!"
L2 malah hanya memegangi kimbab segitiga itu dengan kedua tangannya, membiarkan sekitar bibirnya kotor. Dia sama sekali tak bergerak, tak mengerti perintah Joon.
"Makan!" kata Joon, sekali lagi.
L2 memandangi kimbab segitiga itu dengan heran. Makan adalah memasukan makanan ke dalam mulut untuk dicerna, dia tahu. Tapi ... bagaimana cara menelan makanan sebesar ini? L2 sungguh bingung.
"Hey!" Joon sungguh gemas dibuatnya. Entah dapat pencerahan dari mana, Joon merampas kimbab segitiga L2 dan mengunyahnya untuk menunjukan pada L2 cara makan.
L2 tercerahkan.
Joon mengembalikan kimbab segitiga yang telah digigitnya itu pada L2, lalu beranjak menuju mejanya untuk mengambil kimbab segitiga yang lain. Dia akan memberikan itu pada L2 juga, dan saat dia kembali ke hadapan gadis bermata biru ini, dia dikejutkan oleh wajah L2 yang amat terlihat cerah meski sedang mengunyah dengan bibir dan pipi belepotan. L2 menikmati makanan pertamanya di Bumi.
"Enak?" tanya Joon, seolah bertanya pada anak-anak.
L2 mengangguk ceria.
"Aigoo!" Joon membersihkan pipi L2 dari butiran nasi yang menempel. "Nah, makan satu lagi," katanya, sambil menyodorkan kimbab segitiga lain yang sudah dibuka bungkusnya.
L2 langsung menyambarnya.
Baru kali ini Joon merasa puas melihat orang lain makan.