Sebuah pesan yang terlihat seperti spam, masuk ke ponselku. Pesan berisi kode tempat yang harus kudatangi. Beserta waktunya. Karena hanya disebutkan kode tempat dan tidak secara spesifik dijelaskan letaknya, aku harus berusaha mencarinya sendiri.
Cara kerja More benar-benar unik dan merepotkan.
Unik karena sebisa mungkin More tidak meninggalkan jejak apa pun. Tugas yang diberikan kepadanya hanya diinstruksikan sekali melalui email. Ketika aku mencoba menghubunginya melalui email yang sama untuk kedua kalinya, email yang pernah More gunakan untuk membalas pesanku ternyata sudah tidak terpakai.
More hanya akan menghubungi untuk memberi tahu lokasi dan waktu pertemuan. Dan setiap kali mengirim pesan, selalu menggunakan nomor yang berbeda.
Merepotkan karena aku tidak tahu cara menghubunginya. Aku pernah mencoba membalas pesan yang dikirimnya. Tapi pesanku justru diterima oleh orang yang berbeda. Ketika itu aku sadar bahwa More meretas dan menggunakan nomor orang lain secara acak untuk mengirimiku pesan.
Juga merepotkan karena hanya dia yang bisa menghubungi, itu artinya, tempat dan waktu, mutlak merupakan keputusannya.
Aku masih memiliki waktu 15 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Artinya aku masih bisa mencari tahu di mana tepatnya letak tempat pertemuan kami.
Begitu keluar dari warnet tempat Alexi bersembunyi, aku masuk ke dalam mobil. Aku mulai mencari menggunakan kata kunci 'kebun anggrek' di internet. Aku bukan orang yang suka kuliner ke sana-kemari, juga bukan tipe orang yang suka mendatangi tempat-tempat yang baru dibuka. Jadi, aku tidak selalu tahu di mana letak kafe atau tempat-tempat yang sedang populer.
'Sudah kubilang Kakakku menyukai si Brengsek itu. Enggak ada sama sekali tempat untukmu di hatinya. Jadi, hentikan hubungan penuh tanggung jawab palsu ini! Benar-benar menyebalkan!'
Kalimat Alexi kembali mengiang di telingaku.
Sebenarnya aku telah menyiapkan diri untuk tidak merasa marah ataupun sakit hati. Aku tahu bagaimana kondisi mental Alexi saat ini. Meski tidak ingin sakit hati, ternyata tetap saja kalimat itu melukaiku.
"Aneh, padahal aku tahu itu benar."
Meski sakit hati, aku sama sekali tidak berencana untuk menyerah pada Alexi. Aku tidak ingin menyesal untuk yang kedua kalinya. Aku tidak bisa melindungi Rindang, jadi tidak akan kubiarkan Alexi tersesat.
Alexi yang sekarang tidak akan mendengarkan bagaimanapun aku mencoba berbicara padanya. Jadi, yang bisa kulakukan saat ini hanya mengawasi.
"Ketemu!"
*****
Seperti biasa, meskipun waktu dan tempat pertemuan digagas oleh More, ia selalu menjadi orang yang terakhir sampai di tempat.
Ah, mungkin dia sudah berada di suatu tempat di sekitar sini bahkan sebelum aku datang. More sedang memantau. Melihat-lihat keadaan.
Tanpa sadar aku celingukan ke sana-kemari mencari sosoknya yang khas dengan hoodie kebesaran.
Mungkin juga bagian ini merupakan salah satu cara kerja More. Dia yang menentukan tempat dan waktu pertemuan, otomatis dia yang paling mengetahui bagaimana kualitas tempat pertemuan.
Saat ini mungkin More diam-diam sedang memantauku untuk mengetahui aku merencanakan sesuatu yang lain atau tidak. Apa aku bisa dipercaya bekerja sama dengannya atau tidak.
More datang dari arah pintu masuk. Penampilannya sama dengan yang terakhir kali kulihat. Hoodie, jins ripped hitam. Kali ini ditambah topi untuk menyembunyikan wajahnya. Ia tetap membawa-bawa koran yang dipukul-pukulkan ke kakinya.
Kami berada di sebuah kafe yang berada di dekat kebun anggrek. Jam istirahat makan siang sudah hampir selesai, karenanya pelanggan lebih banyak yang pergi dan nyaris tidak ada yang datang.
Harum bunga yang dibawa masuk oleh angin ke dalam kafe membawa aroma segar. Pemandangan keunguan yang tertangkap oleh mata dari dalam juga menyegarkan. Kafe yang ceria, khas nuansa anak muda.
More melemparkan koran yang seperti biasa berisi laporan yang kuinginkan ke atas meja. Aku menukar amplop coklat berisi informasi dengan amplop putih berisi sejumlah uang yang harus kubayar.
"Seseorang mengikutimu ke sini, kamu tahu?" Suara More nyaris terdengar seperti berbisik ketika mengambil amplop yang berisi bayarannya.
Dugaanku benar. More sudah berada di sekitar tempat ini untuk memata-mataiku. Apakah aku layak dipercaya atau tidak ketika bekerja dengannya.
Tunggu!
Bukan itu bagian terpentingnya. Aku diikuti katanya tadi. Siapa? Apa itu Dewa? Saat di kampus, Dewa jelas menatapku dengan penuh kecurigaan. Tapi bukannya yang dicari adalah Alexi, kalau dia sampai mengikutiku ke sini itu artinya ...
"Dia datang," kata More lagi sebelum berbalik pergi.
Aku mengangkat wajahku dan wajah yang kulihat berjalan ke arahku bukanlah orang yang sedang kukhawatirkan.
"Tunggu!" katanya menghentikan More. Alexi. More menurunkan topinya lebih dalam sebelum berbalik menatap Alexi. "Jadi kamu informan Dimas? Sebaiknya mulai sekarang bagikan padaku juga informasi yang kamu punya. Atau sekalian saja bekerja denganku."
More menyunggingkan senyum merendahkan. "Jasaku sangat mahal. Kamu, yang kerjaanmu hanya bersembunyi dan malas-malasan, kamu pikir bisa membayarku?"
"Aku memang enggak punya banyak uang. Tapi kalau hanya untuk membayar informasi, aku masih bisa."
"Maaf, tapi aku nggak bekerja dengan bocah."
"Bocah?!" Alexi naik pitan. Ia memperhatikan More lekat-lekat sebelum melancarkan serangan.
Alexi tidak akan pernah memukul perempuan, aku yakin itu. Tapi aku tidak yakin apa Alexi sadar kalau yang dihadapinya adalah perempuan. Sebelum aku sempat menengahi, Alexi telah bergerak ke arah More. Alexi tidak bergerak untuk melancarkan pukulan, yang diincar Alexi adalah topi yang More kenakan. Tampaknya Alexi berencana membongkar penyamaran More.
Topi More jatuh ke lantai. Sepertinya More salah memperkirakan serangan Alexi yang dikira adalah pukulan. More mengalihkan pandangannya agar wajahnya tidak lantas terlihat.
"Setelah aku menangkap basah rupamu, apa kamu masih bisa sombong?" kata Alexi dengan penuh percaya diri.
More mengambil sesuatu dalam sakunya. Ketika ia kembali untuk menunjukkan wajahnya, sebuah topeng yang menutup sampai ke hidung ia lekatkan di sana. Wajahnya tersembunyi secara sempurna.
"Dasar bocah!" olok More sembari menjulurkan lidahnya.
Tanpa sadar aku tersenyum lega.
"Alexi berhenti!" Aku memperingatkannya sebelum Alexi melakukan hal-hal lain yang tidak diperlukan. Aku menahan lengannya.
Peringatanku sama sekali tidak berarti apa pun untuk Alexi. Semakin aku larang, justru akan semakin dia lakukan. Alexi menepis tanganku dan bergerak lagi. Kali ini ia berencana menyerang More.
Aku rasa aku tidak perlu mengkhawatirkan More, dan ternyata memang tidak perlu. More mampu menghindari serangan Alexi dengan gesit ke sisi kanan dan balik menyerang. More menyerang dengan tinjunya yang kecil telak ke arah ulu hati Alexi.
"Kamu mau balas dendam? Dengan kemampuan seperti ini?" More kembali tersenyum merendahkan. "Dasar bocah, lebih baik kamu sekolah yang benar saja sana!"
Wajah Alexi merah padam. Ia berdiri dengan kedua lututnya sembari memegangi perutnya dengan kesakitan. Saat More pergi, Alexi hanya bisa mengumpat, kemudian terbatuk-batuk.
Seolah baru menyadari keberadaanku yang masih mengawasinya, Alexi menoleh ke arahku dengan sorot mata tajam bagai elang.
"Berikan!" perintahnya.
Aku kembali ke meja untuk mengambil apa yang Alexi maksud, tapi tentu saja aku tidak berencana memberikan informasi itu padanya.
"Bocah, sekolah yang benar saja dulu sana!" kataku mengulang kalimat More meski tidak persis sama.
Aku meninggalkan kafe setelah membayar. Umpatan Alexi yang penuh kemarahan masih terdengar di telingaku ketika aku meninggalkan kafe.
Sepenuhnya aku memahami sifat keras kepala Alexi saat ini. Pun kemarahannya. Tapi melihat bagaimana More mempermainkan Alexi, jujur aku merasa terhibur. Setelah ini, kuharap Alexi bisa sedikit lebih dewasa, bukannya semakin keras kepala. Aku tidak ingin memanjakannya.
_abcde_