Begitu sampai di kantor polisi, Dewa diminta menunggu di dalam sebuah ruangan.
Sebelum menjemput Dewa, Harun telah mengirim video yang diterimanya ke lab. forensik untuk diteliti oleh pakar. Ia juga mengirim tim lain untuk datang ke TKP dan menyelidiki rekaman video yang mereka terima. Harun adalah tipe yang sangat berhati-hati. Ia tidak ingin terjebak oleh petunjuk palsu.
Setiawan yang diberi tugas untuk mengambil hasil pemeriksaan video sedang dalam perjalanan.
"Maaf menunggu."
Harun masuk ke ruangan tempat Dewa menunggu seorang diri dan menutup pintu dengan menggunakan kakinya. Kedua tangan Harun sibuk. Yang kanan membawa laptop, sementara kirinya membawa beberapa laporan.
"Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?" Dewa mulai merasa tidak sabaran.
"Oke." Harun mulai menyalakan laptopnya. "Kita mulai dari ..." Harun menggosok-gosokkan kedua tangannya sembari melihat apa-apa yang telah dibawanya, "Menonton video."
Setelah menggerakkan kursor dan mengeklik beberapa kali, laptop diputar menghadap Dewa.
Layar menunjukkan gambar trotoar, motor yang terparkir, dan rumah yang tertangkap sebagian. Satu menit setelah waktu bergerak, seseorang terlihat sedang berjalan. Langkahnya tidak mantap meski setiap pijakannya tepat. Seseorang itu adalah Dewa. Ia terus berjalan sampai tak lagi terlihat.
"Dari sudut video diambil, kamera berasal dari Blackbox kendaraan roda empat," Harun menerangkan. "Anda tertangkap kamera pada pukul 19.56. Dan menurut laporan tim kami di lapangan, mobil baru pergi pukul 20.10 dan sampai waktu itu, wajah Anda tidak lagi terekam."
Dewa masih mendengarkan. Menyimak dengan baik. Bahkan memperhatikan kata per kata yang Harun ucapkan.
"Anda adalah pria yang cerdas. Saya yakin Anda sudah bisa menangkap maksud pembicaraan saya." Harun menyingkirkan laptopnya. "Arah yang Anda tuju adalah TKP dan Anda tidak kembali sampai 14 menit kemudian."
"Itu bagian dari ingatanku yang terputus." Dewa membatin.
"Anda tidak kunjung kembali sampai 14 menit atau mungkin lebih artinya, bisa jadi Anda telah mencapai TKP. Jika Anda mau bilang Anda berbelok di tengah jalan, Anda harus memiliki saksi. Tapi jika Anda benar sampai di TKP, bagian ini menjadi penting karena kemungkinan pelakunya adalah Anda menjadi sangat besar."
Dewa mengerutkan Keningnya.
"Atau kemungkinan lain ..." Harun sengaja menahan kalimatnya, "Anda bertemu dengan pelakunya."
Kening Dewa berkerut semakin dalam. Ia mencoba mengingat. Melakukan reka ulang dalam benaknya. Jika apa yang terjadi dalam video itu benar, jika dugaan-dugaan Harun benar, seharusnya bagian dari ingatan itu tersembunyi jauh di bawah alam sadarnya.
Obat. Ini gara-gara obat sialan itu!
Harun membuka sebuah laporan dari lima yang ia bawa.
"Kami mencurigai Anda karena sejak awal Anda menyembunyikan fakta bahwa alasan Anda menurunkan Rindang saat itu adalah karena kalian bertengkar." Harun membuka lembar selanjutnya dari laporan yang ia pegang. "Seseorang mendengar Korban berteriak dan meminta maaf dari luar mobil."
Jika Alexi saja bisa menemukan fakta bahwa Dewa dan Rindang bertengkar, tidak mungkin polisi melewatkannya.
Meski Dewa telah memikirkan semuanya dengan matang, ternyata ia sudah melakukan kesalahan fatal sejak awal. Menyembunyikan pertengkarannya dengan Rindang. Fakta yang seharusnya ia ungkap, karena Kasturi toh pada akhirnya tahu juga. Tidak ada satu hal pun yang bisa disembunyikan dari wanitanya.
"Kami menyembunyikan satu fakta lagi dari Anda," Harun menarik laporan yang lain. "Kami menemukan botol yang berisi kandungan Propofol dalam tas korban. Kandungan yang sama ditemukan dalam darah korban dan kalau saya tidak salah ... juga ada dalam darah Anda."
Kulit di bawah alis mata Dewa tertarik.
"Korban membawa Propofol terlihat seperti dialah yang memiliki niat jahat. Tapi alur cerita akan berubah seandainya pelaku yang menyusupkannya ke dalam tas korban untuk mengacaukan penyelidikan. Tapi kami menemukan kandungan yang sama dalam saku celana korban. Artinya, memang benar Propofol yang ada di dalam tas korban adalah milik yang bersangkutan."
Dewa tidak menyangka Harun bisa melihat banyak kemungkinan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukannya. Sejak awal Dewa telah kalah langkah dengan pemikiran Harun yang kritis.
Hebat! Dalam hati Dewa merasa kagum dengan cara berpikir Harun.
"Hal yang paling membingungkan adalah alasan Anda memilih pulang dengan berjalan kaki. Berapa kali pun saya memikirkannya dengan menggunakan alasan dompet yang tertinggal, atau apa pun, sehingga Anda akhirnya memutuskan pulang dengan berjalan kaki, sama sekali tidak ada alasan yang logis untuk itu. Apalagi setelah saya mendengar Anda sering memesankan ojek online untuk 'anak' Anda." Harun merujuk pada Anja.
Selama mengintai Dewa beberapa hari terakhir, Harun telah melihat Anja sebanyak dua kali. Tidak ada yang menarik dari penampilan luar anak itu selain caranya memanggil Dewa dengan sebutan Ayah.
"Sekarang pertanyaannya terpentingnya." Harun mencondongkan badannya. Menatap sepasang mata Dewa dalam-dalam. Berusaha mencari kebenaran di sana. "Apakah Anda pernah mengalami disosiasi atau ingatan yang terputus di suatu waktu?"
Kulit di bawah alis Dewa kembali tertarik. Harun menatap Dewa lekat. Berusaha mencari jejak-jejak yang coba disembunyikan. Ekspresi-ekspresi yang disamarkan. Tidak ada apa pun yang boleh lepas dari penglihatannya.
"Awalnya saya ragu," Harun menarik dirinya "Kami sering menangani kasus yang terjadi karena pengaruh minuman keras. Tapi ini berbeda. Saya semakin yakin saat melihat rekaman barusan. Sleepwalking. Di Negara lain ada beberapa contoh kejahatan yang dilakukan saat tidur. Dan ketika bangun, pelakunya sama sekali tidak ingat telah melakukan kejahatan."
Dewa masih berusaha menyembunyikan kegugupannya. Sesekali ia akan tersenyum menyepelekan, sesekali ia menanggapi dengan tatapan masa bodoh. Ia masih belum membuat keputusan apa pun. Masih hanya mengamati perkembangan. Masih harus tetap hati-hati.
"Apa ... dalam waktu beberapa hari terakhir Anda pernah mengalami hal yang sama?" Pertanyaan Harun kembali membuat kening Dewa berkerut dalam. "Seharusnya Anda masih berada di dalam sebuah kafe tapi tiba-tiba saja Anda sudah berada di rumah."
Rahang Dewa mengeras, "Apa polisi boleh melakukan hal seperti itu?" tanyanya tajam.
"Tentu saja tidak boleh," jawab Harun tenang "Tapi jika tidak saya lakukan bagaimana mungkin surat penangkapanmu bisa keluar," tambahnya berbisik.
Dewa mengatupkan bibirnya rapat.
"Tidak ada gunanya Anda bersikeras menutup mulut. Bukti-bukti yang kami kumpulkan cukup untuk memberatkan posisi Anda. Karena Anda telah bersedia datang ke tempat ini, setidaknya ucapkan sepatah atau dua patah kata tanggapan." Harun bersandar di punggung kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Dewa berdehem, kemudian berkata, "Bukannya Anda sudah cukup banyak menebak."
"Polisi tidak boleh hanya menebak-nebak. Pengakuan Anda adalah yang terpenting di sini." Harun masih bersandar pada punggung kursi. "Mungkin Anda berpikir melakukan semua ini untuk melindungi perasaan istri Anda, tapi yang saya lihat tidak. Anda melakukannya untuk diri Anda sendiri."
Bibir Dewa mengatup rapat. Ia sangat tidak suka dengan kalimat terakhir yang Harun ucapkan.
"Selama ini bukannya aku tak mempercayaimu. Aku hanya takut kamu merasa lelah padaku seperti aku lelah pada diriku sendiri. Untukku, berpikir kamu adalah orang yang bisa melakukan kejahatan seperti membunuh, sama sekali enggak pernah terbesit. Walaupun para polisi itu mencurigaimu. Walaupun seluruh dunia meragukanmu. Tapi di matamu, aku bukan hanya wanita pesakitan tapi juga monster pembunuh." Kasturi berbaring membelakangi Dewa. "Ini sangat menyakitiku Dewa, lebih dari tekanan-tekanan yang memenuhi kepalaku."
Tatapan Dewa menerawang jauh. Kalimat yang Kasturi ucapkan sebelum meninggalkan rumah, membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri.
"Apa senjata yang digunakan pelaku untuk membunuh?" Dewa bertanya tentang hal yang sama sekali tidak diprediksikan oleh Harun.
"Benda yang digunakan adalah pisau kecil berukuran tipis. Panjang 26mm, dengan ketebalan 0.38mm." Harun membaca salah satu dari lima laporan yang ada di depannya.
"Apa Scalpel bisa masuk dalam kategori?" Dewa bertanya lagi.
Kini kulit bawah alis Harun yang tertarik. Ia memeriksa kembali laporan di bawah tangannya dan mencari kata 'Scalpel' di antara kata-kata lainnya.
Ketemu!
"Anda sudah menebak siapa pelakunya?" Harun menduga-duga. Garis vertikal muncul di antara alis Harun ketika ia sedang berpikir. "Obat anestesi, pisau bedah. Satu-satunya orang terdekat Anda, yang bisa menjangkau dengan mudah benda-benda itu ..."
"Saya harap bukan." Dewa memotong kalimat Harun, "Tapi setiap keraguan harus dituntaskan. Saya ingin Anda memeriksa sesuatu di hari Kamilia Ulfa dibunuh."
Harun menunggu Dewa menyelesaikan kalimatnya. Ia akan memeriksanya. Tentu saja. Ia akan memeriksanya dan mengungkapkan kebenaran dari kasus ini.
_abcde_