Dewa masih berada di ruang interogasi ketika seorang petugas mengetuk pintu. Petugas itu hanya berdiri di antara pintu dan berbisik pada Harun. Dari celah pintu, Dewa bisa melihat dengan jelas kesibukan yang terjadi di luar ruang interogasi.
Menyadari bola mata Harun berputar ke arahnya, Dewa merasakan sebuah firasat. Firasat buruk.
"Tunggu sebentar di sini!" Setelah menegaskan kalimatnya, Harun meninggalkan ruangan.
Disuruh menunggu justru membuat Dewa tidak bisa menunggu. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Suasana hatinya mendadak buruk. Berbagai imajinasi berkembang di kepalanya. Menumpuk tanpa diminta.
Ini jelas tentangnya. Dewa yakin itu.
Apa polisi menemukan petunjuk baru? Kalau benar, petunjuk yang seperti apa? Yang memberatkankah atau meringankan pernyataannya. Jangan-jangan dugaannya tidak terbukti. Jangan-jangan pikirannya bergerak ke arah yang salah. Anja bukanlah pelakunya. Segala hipotesis yang berkembang di kepalanya hanya tebakan liar. Polisi tidak menemukan bukti yang ia minta.
Dewa memikirkan ulang semuanya.
Benar, Anja memiliki Scalpel dan Dewa pernah melihat benda itu tersimpan dalam laci kamar Anja, tapi benda itu tidak bisa membuktikan apa pun. Tidak muncul reaksi Luminol ketika disemprotkan Reagensia. Tidak ada sisa bercak dari darah korban.
Juga daftar absen dan tempat rental mobil yang Dewa minta periksa. Tidak ada transaksi sewa-menyewa mobil di hari Kamilia Ulfa terbunuh. Tidak juga absen kosong ketika kejahatan terjadi. Dirinya masih calon tunggal pelaku.
Atau, semua dugaannya terbukti tapi ketika pihak kepolisian berencana menangkap Anja, anak itu kabur.
"Tidak, tidak." Dewa menggeleng kuat-kuat.
Jika bukti telah ditemukan dan Anja memang pelakunya, seharusnya Dewa diberi kabar. Kalau pun akhirnya Anja melarikan diri di tengah proses penangkapan, Dewa seharusnya diberi tahu. Sebagai saksi ia berhak tahu.
Kalau bukan karena Anja ...
Dewa tidak ingin berpikir lagi. Tidak sanggup. Ketika hendak keluar ruangan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa yang tengah para polisi itu sibukkan, Harun kembali.
"Silakan kembali duduk," pintanya ketika melihat Dewa di depan pintu.
"Apa yang terjadi?" Dewa bertanya, bergeming dari tempatnya.
Harun menghela napas. "Kita akan bicarakan setelah Anda kembali duduk." Menggunakan isyarat, Harun kembali mempersilahkan Dewa kembali duduk.
Meski enggan, Dewa kembali ke tempatnya dan duduk. Harun pun duduk.
"Ada dua hal yang akan saya sampaikan ke pada Anda." Harun memulai. "Ada kabar baik dan ada kabar buruk. Yang mana kira-kira yang ingin Anda dengar lebih dulu."
Dewa mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Yang mana pun bisa," katanya tak sabar.
Harun menimbang-nimbang sebelum memutuskan. "Kabar baiknya, tidak ada korban ketiga. Silfi yang sebelumnya dilaporkan hilang ternyata kembali ke rumah orang tuanya di kampung. Sebelumnya Silfi dipaksa menjadi PSK untuk melunasi hutang mantan suaminya oleh karena itu dia kabur."
"Oh." Dewa tidak yakin apakah ia harus merasa lega dengan kabar yang baru saja Harun sampaikan. Yang jelas, hatinya masih diliputi banyak kegelisahan. "Berita buruknya?"
"Kabar buruknya," Harun mengulang "Alexi menyelinap ke dalam rumah Anda."
"Apa?!" Dewa menggebrak meja. "Bagaimana bisa? Bagaimana dengan istri saya? Apa dia baik-baik saja? Apa ada seseorang yang menemaninya? Apa yang dilakukan Alexi di rumah saya?!" Dewa berubah kacau. "Ah, benar. Saya harus pulang. Saya harus menyelamatkan istri saya."
"Pak Dewa, tolong tenang!"
Bukannya mendengarkan, Dewa justru memberontak. Ia menjadi kalap. Dua orang petugas masuk dan membantu Harun. Menenangkan dan menahan Dewa agar tidak meninggalkan kantor sebelum seluruh prosedur pemeriksaan diselesaikan.
"Lepaskan!"
Karena kewalahan, seorang petugas terpaksa memelintir tangan Dewa dan merapatkan tubuhnya di dinding. Tidak bisa bergerak karena rasa sakit, Dewa akhirnya hanya berteriak-teriak memohon belas kasih.
"Alexi gila, dia akan melakukan apa saja untuk membalaskan dendamnya. Dia akan melukai Kasturi-ku. Kumohon lepaskan aku, aku harus menyelamatkannya." Dewa terisak dalam keputusasaannya.
"Istri Anda akan baik-baik saja!" Harun mencengkeram bahu Dewa. "Seseorang yang mengaku tetangga melaporkan keributan yang terjadi di rumah Anda. Setiawan dan beberapa petugas lain sudah berada di TKP. Jika Anda mau bersabar, beberapa menit lagi Setiawan pasti akan melaporkan perkembangannya."
Harun memberi instruksi agar tangan Dewa dilepaskan. Begitu dilepas, tubuh Dewa merosot ke lantai. Ia duduk membelakangi dinding sembari meremas rambutnya. Kakinya dientak-entakkan ke lantai berulang kali.
Dewa tidak seperti ini sebelumnya. Pertama kali Harun bertemu dan menginterogasi Dewa, ia adalah pria yang tangguh, yang penuh percaya diri. Dewa sangat berhati-hati dengan kata-katanya. Ia memikirkan segalanya agar kebohongannya tidak terendus polisi. Dewa menyamarkan segalanya dengan baik. Ekspresinya, ketenangannya.
Pria yang kini terlihat menyedihkan di depan Harun seharusnya bukan Dewa.
Ponsel Harun berdering dan nama yang tertera di layarnya adalah nama Setiawan. Dewa berdiri dengan antusias, namun Harun memberi isyarat dengan tangannya agar Dewa tetap tenang.
Dewa berdiri dalam jarak yang cukup dekat dengan Harun. Meski begitu tidak ada pembicaraan yang bisa ditangkapnya. Harun hanya mengatakan 'iya, bagus, lanjutkan.' Setiawan menjadi orang yang lebih dominan berbicara karena ia yang memberi laporan.
"Bagaimana keadaan Kasturi?" Dewa bertanya memburu begitu Harun menyelesaikan percakapannya dengan Setiawan.
"Ibu Kasturi baik-baik saja. Seorang petugas kami sedang menemaninya. Selain Alexi, petugas kami juga menangkap Anja. Dimas yang berada di tempat yang sama akan kami mintai keterangannya sebagai saksi. Ketiganya dalam perjalanan ke sini," jelas Harun.
"Kalau begitu saya sudah boleh pergi? Bukannya pelakunya sudah tertangkap."
Dengan menyesal Harun menggeleng. "Kalau untuk itu Anda harus menyelesaikan pernyataan Anda lebih dulu. Kami akan mengusahakan semuanya selesai secepat mungkin."
"Tapi Kasturi ..." Dewa menahan kalimatnya ia tahu tidak ada gunanya berdebat. Sama seperti sebelumnya, ia tidak akan berhasil entah itu dengan cara membujuk ataupun memaksa. Aturan tetaplah aturan. "Kalau begitu izinkan saya menelepon sebentar," tawar Dewa.
Kali ini Harun mengangguk setuju.
Dewa menelepon Tika, perawat Istrinya. Dewa meminta si perawat memeriksa keadaan Kasturi dan menemaninya sampai ia pulang. Dewa juga berkata agar segera menghubunginya jika sesuatu terjadi.
Selanjutnya Dewa melanjutkan menyelesaikan pernyataannya. Petugas yang menanganinya bukan lagi Harun. Harun dialihkan untuk menangani pelaku yang sebenarnya.
Tidak ingin membuang-buang waktu, Dewa menceritakan semuanya. Juga tentang penyadap yang dipasang di dalam mobilnya. Yang dengan itu pelaku menentukan korbannya. Dewa juga menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan. Ia melalui semua proses dengan kooperatif. Semakin ia terbuka, semakin ia bisa segera pulang ke rumah.
Waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan semuanya pernyataannya jauh lebih lama dari yang Dewa bayangkan.
Dewa hanya perlu bertemu sekali lagi dengan Harun sebagai penanggung jawab kasus sebelum akhirnya bisa meninggalkan kantor polisi.
"Anda sudah bisa pergi," kata Harun setelah duduk di depan Dewa.
_abcde_