Di dunia ini hanya ada dua orang yang bisa aku percaya. Yang pertama tentu saja Dewa, pria yang kucintai. Dan satu lagi Anja, seorang teman yang memanggilku dengan sebutan ibu.
Anja selalu ada di saat aku membutuhkan seorang teman, saat ingin didengar, dan saat ingin berbicara dengan seseorang. Dia pandai menghibur dan seolah mengerti hal-hal yang tidak sanggup kukatakan. Dia benar-benar mengerti segala keresahan dan rasa takutku. Dia mengerti terlalu banyak, memberi perhatian terlalu sering.
Bagi Anja aku seorang ibu, bahkan di saat aku tidak mampu lagi mengandung dan melahirkan anakku sendiri. Di matanya aku tetap seorang ibu. Meski hanya sebatas panggilan. Meski saat itu kami melakukannya hanya untuk menghibur anak-anak yang tidak diadopsi.
Anja sering datang berkunjung sehingga rasa bosan dan kesepianku saat Dewa tidak ada, bisa terobati. Beberapa kali aku juga mengunjungi tempat Anja tinggal. Kami -Anja, aku, dan Dewa bahkan memiliki kunci duplikat tempat tinggal masing-masing. Aku sering mengunjunginya entah untuk membawakannya makanan atau mencari teman bicara. Anja tidak memiliki ponsel jadi sangat susah untuk menghubunginya. Sangat tidak mungkin memberinya kabar lebih dulu jika ingin berkunjung.
Tidak memiliki ponsel di zaman ini memang terdengar aneh, tapi anak itu benar-benar tidak memiliki ponsel. Selain ponsel, Anja juga tidak memiliki kendaraan pribadi. Kuakui dia manusia yang aneh, langka. Tidak memiliki ponsel dan kendaraan pribadi jelas sangat merepotkan. Tapi baginya, sama sekali tidak masalah.
Aku dan Dewa sering mengomelinya tapi Anja sama sekali tidak menurut. Entahlah, padahal untuk hal-hal lain Anja tidak pernah tidak mendengarkan kami. Aku pernah bertanya dan jawaban yang anak itu utarakan, hanya tidak ingin.
Pada titik itu Anja benar-benar keras kepala dan bersikeras tidak akan mengubah kebiasannya. Pada titik itu juga, aku tahu ada hal yang tidak pernah dia ceritakan pada siapa pun. Alasannya keras kepala, alasannya tidak ingin mengubah kebiasaannya untuk tidak menggunakan ponsel dan kendaraan pribadi.
Aku pernah berpikir jangan-jangan anak itu terlibat dalam sebuah ajaran sesat, atau penganut sebuah paham yang melarangnya memiliki dua hal itu. Tapi aku benar-benar tidak pernah tahu alasan pastinya.
Sekarang, dua orang yang paling kupercaya melebihi diriku sendiri ternyata berkhianat.
Dewa, dia berpikir orang yang menjebaknya, yang meletakkan alat penyadap di mobilnya, orang yang membunuh wanita-wanita itu adalah aku. Baginya aku adalah wanita yang akan membunuh hanya karena cemburu. Baginya aku adalah wanita licik, gila. Baginya aku bukan hanya seorang wanita cacat yang pesakitan tapi juga seorang pembunuh.
Aku istrinya, wanita yang bersumpah akan dia jaga sampai maut memisahkan, tapi kenapa Dewa bisa berpikir seperti itu tentangku. Tidakkah dia mengenalku, tidakkah dia mengerti bagaimana aku, tapi kenapa tiba-tiba sosokku menjadi begitu mengerikan dalam pikirannya.
Untukku, berpikir bahwa Dewa adalah orang yang bisa melakukan kejahatan seperti membunuh, sama sekali tidak pernah terbesit. Walaupun para polisi itu mencurigainya. Walaupun Alexi mengatakan banyak hal. Walaupun seluruh dunia meragukannya, aku tidak. Tidak akan pernah.
Tentangku, Dewa benar-benar berpikir semengerikan itu.
Apa yang membuatnya ragu, apa yang memengaruhi pikirannya, aku sama sekali tidak habis pikir.
Ke mana perginya tahun-tahun yang kami bangun penuh kepercayaan. Ke mana semua cinta kasih yang kami rajut selama bertahun-tahun. Di mana hari demi hari yang kami lalui untuk saling mengenal, untuk saling percaya.
Di mana mereka? Ke mana perginya?
Selama beberapa tahun ini Dewa merawatku, mau menerima keadaanku yang menyedihkan, berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, bahkan saat sifatku begitu menyebalkan sampai aku sendiri merasa muak, Dewa tidak pernah berpikir buruk tentangku. Selalu memaklumi dan mengalah.
Sejak Rindang terbunuh, sejak kasus pembunuhan itu melibatkannya, Dewa perlahan berubah. Bagian lain dari dirinya yang tidak kukenali muncul.
Kini aku sadar. Waktu yang dihabiskan berapapun lamanya sama sekali bukan jaminan bisa mengenal watak seseorang secara utuh. Hari-hari panjang yang telah dihabiskan untuk tetap di sisinya bukan jaminan hatinya tidak akan pernah meragu.
Manusia itu makhluk lemah yang teramat rapuh. Satu luka bisa membuat seluruh hati menjadi busuk. Setitik keraguan bisa membuat satu bangunan pencakar langit yang dibangun tahun demi tahun luluh lantah.
Apalah arti cinta kami.
Dan, demi semua kesetiaan dan cintaku padanya, kini yang bisa digenggam hanyalah apa yang sudah tidak ada lagi.
Aku benar-benar terpuruk, terluka. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia. Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku. Semua akan berbeda. Tidak akan sama lagi. Karena tanpanya, hidupku hanya selembar daun kering yang tidak diinginkan.
Kenyataan bahwa Anja adalah seorang pembunuh membuat semuanya menjadi kacau. Bagaimana dia bisa melakukan itu. Bagaimana dia berpikir tentang perasaanku dan Dewa. Bagaimana bisa dia menciptakan situasi mengerikan semacam ini.
Menghabisi wanita-wanita yang menggoda suamiku apa Anja pikir akan menghilangkan masalah. Kenapa pikirannya bisa sedangkal itu.
Aku menjadi kacau, terluka. Dewa pun kacau dan dicurigai. Tidakkah Anja memikirkan akibatnya. Tidakkah dia memikirkan situasi kami. Bukankah Anja satu-satunya orang yang mengerti kami. Bukankah dia mengenal kami.
Berkat Anja aku akhirnya bisa mengukur seberapa dalam perasaan Dewa. Tapi aku tidak ingin itu, tidak mau tahu. Aku hanya butuh Dewa di sisiku. Aku hanya membutuhkannya sebagai obat penenangku. Aku membutuhkannya melebihi hidupku sendiri. Karena jika bukan Dewa, siapa lagi orang yang menginginkanku.
Setelah semua orang pergi yang tersisa hanya aku sendiri. Selalu seperti itu. Selalu aku yang ditinggalkan. Selalu aku yang tidak diinginkan.
Benarkah tidak ada keadilan di dunia ini?
Seperti orang lain aku juga ingin merasakan kebahagiaan sedikit lebih lama. Aku juga ingin selalu bisa bersama mereka. Orang lain bisa, tapi kenapa aku tidak.
Sekarang aku benci mereka. Aku benci Dewa yang meragukanku. Aku benci Anja yang membuat segalanya kacau. Aku benci semuanya. Aku benci diriku, hidupku, dan ketidakberdayaanku. Aku benci dunia yang tidak adil memperlakukanku. Benci betapa lemah dan rapuhnya aku.
Apa yang harus kulakukan? Ke mana lagi aku bisa pergi tanpa seorang pun yang menginginkan kehadiranku. Tanpa penopang hidup yang bisa kuandalkan.
Aku harus apa ...
Mataku tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang tergeletak di samping keranjang buah. Mengkilap. Tatapanku terkunci. Sebelum ini bukannya aku tidak pernah memikirkannya, aku sering memikirkannya. Sebelumnya aku memiliki alasan untuk bertahan. Sebelumnya aku masih memiliki Dewa. Sebelumnya aku tidak memiliki keberanian.
Aku masih menatap benda itu. Aku mulai berhitung, mempertimbangkan. Semakin lama aku menatap, semakin banyak bisikan-bisikan terdengar di telingaku. Semakin aku berpikir, semakin banyak hal buruk mengenai masa depan memenuhi kepalaku.
Aku meraih. "Jika seperti ini, aku tidak perlu takut ditinggalkan. Aku tidak perlu takut tidak diinginkan. Hanya aku yang perlu pergi." Aku tersenyum meski hatiku terasa kosong.
_abcde_