"Anda sudah bisa pergi," kata Harun setelah ia duduk di depan Dewa.
Dewa hendak beranjak, tapi kemudian ia kembali duduk di tempatnya. Dewa menatap Harun. Jika hanya untuk memberitahukan ia sudah boleh pergi, harusnya Harun hanya perlu mengatakannya dengan cepat. Pria itu tidak perlu ikut duduk.
Dewa menyipitkan matanya, ada yang belum selesai Harun ucapkan.
Harun mengangguk. Ia menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
"Anda tahu apa motif pelaku melakukan kejahatannya?" Harun bertanya, Dewa menggeleng. Dewa tahu ia hanya perlu mendengarkan. "Dia bilang ingin melindungi kalian. Dia bilang menganggap kalian sebagai orang tuanya jadi tidak ingin kalian saling menyakiti satu sama lain. Tidak ingin kalian berpisah."
Dewa tahu. Ia telah cukup berpikir dan bisa merasakannya.
"Lucu!" Harun tersenyum sinis. "Saya tahu itu tidak benar." Harun membantah dengan keras, membuat Dewa terkesiap. "Pelaku memang sudah memiliki kecenderungan yang menyimpang cukup lama. Alasan utama yang menyebabkannya dia dikeluarkan dari universitas kedokteran tempat sebelumnya melanjutkan pendidikan. Saya tidak tahu kalian bertiga terlibat dalam hubungan seperti apa, tapi yang jelas, baginya yang utama bukan melindungi, tapi mendapatkan korban!" tegasnya.
Kening Dewa berkerut, tapi tetap tidak mengatakan apa pun.
"Kamilia Ulfa bukan korban pertama." Harun bercerita. "Seorang rekan kerja pelaku dinyatakan hilang satu setengah tahun lalu. Pelaku mengakui perbuatannya. Pelaku membunuh korban karena korban mengatakan hal-hal sensual seolah menggoda Anda. Kalimat yang hanya dianggap candaan oleh rekan-rekan yang lain."
Dewa masih tidak menanggapi.
"Korban pertama memiliki 9 luka sayatan terbuka, sementara korban kedua 8 luka. Korban pertama memiliki luka terbuka pada lehernya, tapi korban kedua tidak. Korban kedua terdapat luka terbuka pada tendon kakinya tapi korban ketiga tidak. Korban ketiga hanya memiliki empat luka, masing-masing di pergelangan tangan kanan dan kiri, dan lipatan siku kanan dan kiri. Menurut Anda apa alasan pelaku mengurangi sayatan terbuka pada masing-masing korbannya?"
Dewa menggeleng. Sama sekali tidak mampu mengerti cara Anja berpikir.
"Untuk bersenang-senang," jawab Harun sembari menatap lekat-lekat mata Dewa. "Korban pertama berusaha berteriak, korban kedua berusaha melarikan diri. Korban terakhir dilumpuhkan dengan menggunakan Propofol sehingga tidak perlu ada banyak luka sayatan."
Dewa membayangkan dan tiba-tiba merasa kengerian yang sangat ketika memahami cara Anja berpikir. Anak itu benar-benar di luar dugaan. Bertindak di luar akal sehat.
"Kami menduga pelaku mengalami semacam delusi. Kami akan melakukan beberapa tes untuk memastikan kondisi kejiwaannya."
Dewa mengangguk mengerti. Ia menggosok bagian belakang lehernya.
"Anda ingin melihatnya?"
Alis mata Dewa terangkat. Ia mengambil jeda sesaat untuk berpikir.
Sebelumnya Dewa merasa sangat kecewa dan terkhianati ketika mengetahui ada yang memasang alat penyadap di mobilnya. Ia merasa sangat marah. Ia bersumpah tidak akan memaafkan siapa pun pelakunya. Tapi sekarang, mengetahui orang itu adalah Arganta Pranaja ...
"Anda ingin melihatnya?" Harun mengulang pertanyaannya.
Dewa menggeleng. "Tidak akan ada yang berubah meski saya menemuinya." Benar. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat bertemu dengan anak itu jadi tidak perlu bertemu. Jika dipikir-pikir lagi, Dewa merasa ada yang salah dengan dirinya. "Bagaimana dengan Alexi?" Dewa juga ingin tahu bagaimana anak itu akan berakhir.
"Dia akan dikurung untuk malam ini," jawab Harun sembari mengangguk. "Jika Anda atau Istri Anda ingin melakukan penuntutan, silakan datang lagi besok."
"Akan saya bicarakan dengan Kasturi apa yang pantas untuk anak itu," tutur Dewa. Harun mengangguk lagi.
Sebelum mengakhiri hari ini dengan melepas Dewa, Harun berkata sekali lagi. Menyampaikan hal yang ingin ia sampaikan pada Dewa.
"Alexi, sama sekali tidak percaya Anda tidak bersalah. Kecurigaannya tidak berubah, dendamnya juga tidak."
"Saya tidak peduli apa yang anak itu pikirkan. Dia hanya perlu membayar apa yang sudah dilakukannya."
Harun berdiri dari duduknya dan menyalami Dewa, "Terima kasih atas kerja samanya." Dewa membalas jabatan tangan Harun. "Anda sudah boleh pergi," tambahnya.
Harusnya Dewa merasa lega karena semua telah terpecahkan. Karena ia bukan seorang tersangka. Kehidupannya yang tenang akan kembali lagi. Kehidupannya bersama dengan istri tercinta.
Sekarang, pertanyaannya yang membebani hatinya apakah ia marah dan membenci Anja atas segala kekacauan ini?
Tidak, Dewa tidak tahu.
Dewa tahu alasan Anja melakukan kejahatan. Ia merasakan kepedulian Anja yang teramat. Bukan hanya sekadar membutuhkan korban seperti kata Harun. Harun tidak akan pernah mengerti. Tidak akan bisa.
Jika Rindang tidak dibunuh mungkin pertahanan diri Dewa akan runtuh jika lain kali ia digoda lagi. Ia akan kehilangan cinta yang diagung-agungkannya. Kehilangan dirinya. Akan menyakiti perasaan Kasturi-nya. Segala hal yang sudah ia bangun sejak bertahun-tahun lamanya akan musnah.
Dewa akan kehilangan dirinya.
Anja hadir melindungi semua itu. Melindungi perasannya. Melindungi hubungannya dan Kasturi. Melindungi kehidupannya, ikrarnya, Kasturinya.
Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mengerti betapa penting perasaan Dewa untuk Kasturi, selain Anja. Bukan hanya tentang janji suci sehidup-semati, suka dan duka. Tidak sebatas itu. Ini tentang jiwa dan raga Dewa. Segala hal tentang Dewa. Seluruh hidupnya.
Di dunia ini, mereka hanya memiliki satu sama lain.
Hari mulai gelap ketika Dewa keluar dari kantor polisi. Sama seperti hari itu. Hari ketika Rindang dibunuh.
Dewa hendak melakukan panggilan ke nomor telepon perawat yang saat ini menemani istrinya. Ketika lampu mobil yang baru lewat menyinari wajahnya dan membuat silau, tangan Dewa berhenti sibuk di atas layar ponselnya.
Lampu mobil yang menyilaukan.
Seperti distorsi yang terjadi pada elektronik, Dewa merasa menghilang dari dirinya untuk beberapa saat. Sesuatu yang terputus dari ingatannya, bagian yang bersembunyi itu, lambat-laun terlihat jelas.
Waktunya persis sama. Dewa sedang berdiri di balik alang-alang liar yang menjulang. Sebuah mobil berputar melewati kapsulan jalan. Sinarnya menyapu wajahnya ketika berbalik.
Dewa melihatnya, seorang wanita terlihat kesakitan. Ia berbaring tak berdaya di bawah pengaruh obat. Sebuah sayatan mengiris persendiannya. Wanita itu berusaha berteriak tapi suaranya tak kunjung keluar. Ia ingin mengutuk keras-keras, tapi kemarahan saja tidak cukup.
Sebelum kesadaran diambil alih dari dirinya. Ia menangkap sosok yang berdiri menatapnya. Tatapan mereka bertemu. Ia memohon dalam keputusasaan. Ia menunggu dalam rasa sakit yang teramat. Dalam ketakutan yang menyelimuti kehidupannya yang tinggal sepertiga.
Tidak ada yang terjadi. Tidak ada keajaiban. Orang yang bersembunyi itu hanya bersembunyi. Kemudian berlalu.
"Dengan begini satu penganggu telah hilang." Sebuah suara yang akrab, terdengar samar sebelum akhirnya semua kembali ke tempatnya saat ini berpijak. Suaranya sendiri.
Tiba-tiba kepala Dewa terasa sakit dan telinganya mendenging. Ponsel yang ada di tangannya merosot dan jatuh. Gambaran di kepalanya datang dan kembali. Kali ini lebih utuh.
Perasaan Dewa menderu, berdentum-dentum. Pikirannya kacau seperti baru saja diobok tangan-tangan kasatmata. Dadanya sesak meski hanya sesaat. Adrenalinnya berpacu seolah ada antusiasme di sana. Dirasakan atau tidak, bagian lain dalam diri Dewa merangkak keluar.
_Selesai_ (Bontang, 23 Maret 2019. 00:04)