Di salah satu Universitas bergengsi, seorang wanita bertubuh ramping, kaki panjang, rambut sebahu yang diikat sebagian di sebelah kanan, dan kacamata bulat, sedang menuruni tangga. Kaus lengan panjang yang dikenakannya berwarna putih. Dipadankan dengan rompi berkancing besar-besar yang warnanya senada. Jins hitam, juga sepatu cats putih melengkapi penampilannya. Ransel yang muat untuk membawa laptop kesayangan ke mana-mana menempel di punggungnya. Rambutnya berayun-ayun begitu langkahnya yang riang menuruni tangga.
"Ah, sial, aku ketiduran terlalu lama!" umpatnya pada diri sendiri.
Langkahnya yang lincah terus bergerak menuruni tangga. Melihat sosok seseorang duduk sendiri di tangga dan menghalangi jalannya, ia mendadak berhenti.
Ada yang tidak beres.
Instingnya dengan cepat memberi sinyal bahaya.
"Ketemu!"
Seseorang pria yang sebelumnya duduk, kini berdiri menghadang. Tubuhnya tinggi, kurus meski tidak terlalu kurus. Topi menyembunyikan tatapannya. Matanya menyipit memperhatikan dengan lekat wanita yang berdiri di depannya. Tidak lama kemudian, kedua sudut bibirnya tertarik.
"Murni," katanya lagi setelah berusaha keras menggali ingatan 20 tahun silam.
Meski menatap balik dengan gaya seolah menantang, sebenarnya si wanita hanya ingin memperlihatkan bahwa ia tidak takut pada pria di hadapannya. Ia tidak lemah.
Didatangi dengan cara seperti ini, pasti ada niat dan maksud tersembunyi. Ia bersikap waspada dan kewaspadaannya semakin meningkat setelah berhasil menemukan sebuah kesimpulan.
"Jadi, kamu si Pembunuh itu?" Suaranya terdengar tenang. Sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau keragu-raguan.
"Kamu yang menata-matai Dewa, bekerja sama dengan orang lain untuk … menjerumuskannya?" si Pembunuh berkata seolah tidak percaya.
Murni. Bukan. Itu nama masa kecil yang sudah sejak lama tidak pernah lagi ia gunakan. Di dunia maya ia dikenal dengan nama akun More. Dengan otak dan keahlian IT-nya, ia mengambil pekerjaan-pekerjaan yang menantang, dan tidak jarang penuh risiko. Nama yang tertera di KTP dan kartu mahasiswanya adalah Inari Rahmani.
Inari Rahmani, seorang mahasiswi jurusan sastra semester akhir. Agar identitasnya sebagai More tersamarkan dengan sempurna, ia mengambil jurusan yang sama sekali berbeda dengan bakat dan kegeniusan yang dimilikinya.
More menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mengungkapkan kebenaran. Jika pun Dewa benar-benar pelakunya, aku enggak akan segan. Tapi aku senang karena bukan Dewa. Ternyata … semua ulahmu." More menelan ludahnya. Benaknya masih dipenuhi interaksi yang begitu akrab di masa lalu. Ia tahu persis siapa orang yang berdiri di depannya.
"Kamu benar-benar ingin melawan kami?"
"Kami?" More tersenyum sinis. "Jangan menipu diri sendiri. Apa Dewa memintamu melakukannya? Apa dia terlihat bahagia?"
"Menipu diri sendiri?" Si Pembunuh mengulang kalimat More sembari menatapnya tajam. Rahangnya mengeras. "Yang menipu diri sendiri adalah kamu. Kalau enggak, kamu enggak akan hidup dengan dua identitas. Kamu … sebenarnya hanya anti sosial yang sedang berpura-pura hidup normal."
"Paling enggak aku bukan seorang anti-pati sepertimu. Yang tega membunuh wanita-wanita lemah itu!" More berbicara dengan lantang. Menunjukkan betapa kuat pendirian dan prinsip hidupnya.
"Hama penganggu memang harus disingkirkan," si Pembunuh menimpali dingin.
Tatapan More dan si Pembunuh bertemu. More mencoba mengerti. Mencoba berpikir dengan cara pandang orang itu. Masih banyak yang tidak dipahaminya. Mereka saling mengenal sebelumnya, pernah begitu akrab saat kecil. Ia berpikir lagi perlahan. Menelaah setiap kalimat yang si Pembunuh ucapkan.
"Kenapa kamu membunuh mereka?" More berusaha mengulur waktu, berharap bisa menemukan sesuatu. Lebih bagus lagi kalau akhirnya bisa menemukan kesempatan untuk meloloskan diri.
Meski mereka saling mengenal sebelumnya, tapi itu bukan sebuah hubungan yang bisa digunakan untuk melobi kebebasannya.
"Enggak perlu banyak alasan untuk berbakti ."
"Berbakti?" More mengulang. Berusaha mencerna dengan baik kata itu. "Lagi, sepertinya kamu orang yang suka membohongi diri sendiri."
Yang diajak bicara mengerutkan keningnya.
Atmosfer sekitar terlalu hening. Hanya terdengar satu dua pembicaraan dari luar tempat mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, saling meneliti, mencari kelemahan.
"Kalau untuk bakti kamu enggak akan membuat banyak luka di tubuh para korban. Kamu bersenang-senang? Iya, kan? Mengatas namakan bakti untuk menutupi niat pribadimu." More spontan merasa jijik.
Si Pembunuh tidak segera bereaksi. Tidak untuk mengelak, tidak juga membenarkan.
"Sekarang aku mengerti kenapa sesama saudara bisa saling membunuh seperti kisah Qabil dan Habil," ucap si Pembunuh akhirnya. "Aku rasa pembunuhan di antara keduanya bukan semata-mata karena kecemburuan, tapi lebih pada perbedaan cara pandang yang sudah tidak tertolong lagi."
More menyipitkan matanya.
Niat jahat tidak hanya terbaca dari kata-kata dan tatapan pria tidak menyenangkan itu, tapi juga dari tujuan kedatangannya. Di tempat yang seperti ini. Situasi ini. Andaipun ada orang yang menemukannya keesokan harinya dengan leher patah di bawah tangga, tidak akan ada yang curiga dirinya telah dibunuh.
Ponsel More bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Ia melirik ragu ke arah si Pembunuh.
"Jangan takut, aku akan berbaik hati memberimu kesempatan mengirim pesan terakhir," katanya yang mengerti arti tatapan More.
"Siapa yang takut?!" More menyolot, tidak sudi dipandang rendah.
More tidak membuang waktu lagi. Ia segera membaca isi pesan yang baru diterimanya. Sesuatu terjadi seperti yang ia sudah prediksikan. Kebencian bocah itu memang tidak bisa dianggap remeh.
"Kamu akan membunuhku?" tanya More. Yang diajak bicara mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Kamu pikir, kamu bisa?"
Si Pembunuh menyipitkan matanya. Mencoba membaca maksud tersirat dari ucapan More.
"Kamu memanggil bantuan?" tebaknya. "Kamu pikir, kamu mempunyai waktu yang cukup untuk menunggu?"
More menggeleng.
"Bukan aku yang enggak mempunyai cukup waktu, tapi kamu!"
Masih tidak mengerti.
"Kasturi dalam bahaya ..."
"Kamu berani menyentuh Ibu?!" Tahu-tahu si Pembunuh sudah berada di depan More, menarik kerah kausnya.
"Bukan aku!" tepis More cepat, tidak ingin si Pembunuh terprovokasi dan semakin jauh salah paham. Tidak ingin dirinya terluka dan mati begitu saja. "Seperti kamu yang menyayangi Dewa dan Kasturi, dan berusaha melindungi keduanya, orang-orang yang kamu bunuh pun sama. Mereka punya orang yang menyayangi dan ingin melindungi mereka."
"Ah! Bocah tukang bolos itu?" Kali ini tebakan si Pembunuh tepat sasaran. "Seharusnya aku langsung membunuhnya begitu tahu dia melaporkan hal-hal yang tidak benar."
"Masih enggak sadar kalau akar masalah semua ini ada padamu?!" hardik More.
"Kalau aku membiarkan wanita-wanita itu, cepat atau lambat Ayah dan Ibu akan berpisah! Kamu senang kalau sampai itu terjadi?!" pekik si Pembunuh mencari pembenaran.
"Kamu enggak mempercayai Dewa?"
"Aku percaya! Yang enggak memiliki kepercayaan untuk dirinya sendiri itu Ibu. Ibu sudah cukup tersakiti. Sudah cukup menderita," jawabnya dengan kepeduliannya yang teramat sangat.
"Pranaja Arganta, kamu …"
Si Pembunuh melepaskan genggamnya pada kerah baju More dan pergi. Fokusnya kali ini adalah sang Ibu. Ia akan menyelamatkannya. Harus. Ayah sudah menitipkan ibu dalam penjagaannya. Ia tidak akan mengecewakan ayah. Tidak akan membiarkan ibu terluka.
Sementara si Pembunuh sudah menghilang dari jarak pandangnya, More hanya membeku di tempatnya.
Dewa, Kasturi, Anja. Seharusnya pertemuan dengan orang-orang yang berasal dari masa lalunya merupakan bagian yang membahagiakan. Seharusnya menjadi penuh haru. Tapi yang terjadi justru berbeda.
More menghela napas panjang.
Tidak ingin terlalu larut dalam perasannya, More mengeluarkan laptop. Ia bukan lagi Murni yang cengeng. Ia telah berubah.
Setelah memilih nomor secara acak, More menghubungi Dimas.
_abcde_