Chereads / Hidden. / Chapter 21 - » Raditya Dewangga.

Chapter 21 - » Raditya Dewangga.

Sebelumnya aku masih berada di sebuah kafe setelah bertemu dengan seorang klien, mengurus pekerjaan, tapi tiba-tiba saja aku sudah duduk di pekarangan rumah. Terlelap. Mobilku berada tidak jauh dari halaman rumah.

Ingatanku terputus lagi. Sesuatu ... mungkin saja telah terjadi.

"Ayah, kamu terlihat enggak baik-baik saja. Apa ada masalah?"

Suara Anja membuatku sadar sedang tidak seorang diri saat ini. Mendengar pemuda seusianya memanggilku dengan sebutan ayah, membuatku merasa begitu tua. Tapi jika dipikir-pikir, sebenarnya lucu juga.

Anja adalah anak yang pemurung ketika di panti. Penyendiri dan susah di dekati. Ketika wacana panti akan ditutup beredar, para pengurus semakin gencar mencarikan orang tua yang mau mengadopsi kami.

Ketika akhirnya panti ditutup, beberapa anak telah diadopsi, sementara sisanya dipindahkan ke panti lain.

Kasturi adalah salah satu anak yang tidak diadopsi. Ia mendapat beasiswa yang memiliki asrama dari sekolahnya. Aku sendiri berencana untuk hidup mandiri meski masih di bawah umur. Para pengurus panti awalnya menolak, tapi setelah kukatakan aku menemukan orang yang mau menerimaku, dan berkat kekeraskepalaanku yang sering kabur, mereka akhirnya setuju.

Dua anak lain yang tidak menemukan orang tua yang mengadopsi mereka dan dipindahkan ke panti lain, salah satunya adalah Anja.

Untuk menghibur anak-anak yang akan dipindahkan ke panti lain, aku dan Kasturi bermain peran sebagai orang tua mereka. Aku si ayah dan Kasturi ibu. Anja terlihat girang sekali ketika itu. Berulang kali memanggil dengan sebutan ayah dan ibu.

Panggilan itu pun berlanjut di usia kami yang sekarang.

"Masalah?" aku mengulang, "Hanya pekerjaan, bukan masalah besar," dustaku.

"Kalau begitu aku turun sekarang." Anja membuka pintu mobil dan keluar.

Seharian ini Anja telah menemani Kasturi. Juga ketika aku keluar untuk mengurus masalah pekerjaan. Karena sudah larut dan Anja tidak memiliki kendaraan, aku mengantarnya pulang.

"Jangan lupa sering-sering ke rumah. Kasturi pasti senang sekali bisa punya teman mengobrol." Aku berbicara dari jendela mobil.

"Kuusahakan."

Anja melambaikan tangannya dan melangkah dengan riang menuju kontrakannya. Benar-benar mirip anak kecil yang tidak perlu memikirkan apa pun. Tidak memiliki beban apa pun. Membuat orang lain iri.

Aku sedang menyalakan mesin mobil ketika tiba-tiba menyadari sesuatu.

Mobil!

Benar. Semua korban dan wanita yang tidak kukenal itu, mereka berinteraksi denganku terakhir kali di dalam mobil. Ketika Rindang terbunuh, aku berpikir pelaku mengikuti kami seharian sembari menunggu waktu yang tepat untuk menyerang korbannya. Tapi bagaimana dengan Ulfa? Bagaimana dengan wanita yang masih hilang itu?

Aku bertemu dengan Ulfa di luar kota. Dan pertemuan dengan wanita yang masih hilang itu juga terjadi secara tidak sengaja.

Jadi, apa selama ini seseorang menempelkan alat pelacak padaku?

Tidak! Alat penyadap mungkin lebih tepat. Pelaku bisa tahu dengan siapa dan apa yang aku lakukan di dalam mobil melalui alat penyadap. Benar. Pasti penyadap.

Siapa? Kenapa?

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.

Pasti ini hanya perasaanku. Pasti aku sudah berpikir berlebihan. Pikiranku hanya terlalu penuh karena siang tadi ingatanku tiba-tiba terputus lagi. Atau karena aku terlalu gelisah. Aku terlalu panik karena dua orang yang terbunuh dan satu orang yang masih hilang dihubung-hubungkan denganku. Ini pasti hanya kebetulan.

"Tapi bagaimana jika benar?" Bagian lain dari diriku bertanya.

Jika benar?

Tidak masalah jika dugaanku ini hanya fobia belaka. Tapi jika memang benar, bukankah aku harus menemukan pelakunya. Aku harus membersihkan diriku dari kecurigaan polisi. Dan yang terpenting, mengetahui apa yang diinginkan orang itu dariku.

Baiklah. Pertama-tama aku harus menemukan di mana alat penyadap itu diletakkan.

Aku mengobrak-abrik isi mobilku untuk bisa menemukan benda yang mencurigakan. Di langit-langit, di bawah jok. Aku juga mengeluarkan semua benda yang berada dalam dasbor.

Semua tempat yang terpikirkan, kuperiksa dengan teliti. Dari kursi kemudian sampai bangku penumpang. Tidak boleh ada yang tertinggal. Badan mobil bagian luar juga turut kuperiksa.

Tidak ada apa-apa.

Aku bersandar di kursi kemudi dengan kelegaan yang luar biasa. Tidak menemukan apa pun bisa berarti baik, meski aku harus berpikir lagi dari awal bagaimana cara pelaku memilih korbannya.

Langit semakin gelap tapi aku justru merasa gerah. Aku menyalakan mesin mobil dan siap menyetir pulang. Menyalakan AC. Sebelum memasukkan gigi, tatapanku entah kenapa tidak mau beranjak dari lubang filter AC, satu-satunya tempat yang belum kuperiksa.

Tanpa banyak pertimbangan, tubuhku bergerak mengikuti rasa ingin tahuku. Aku memiliki cukup peralatan yang selalu kuletakkan di kursi belakang. Tidak makan waktu lama, benda mencurigakan yang setengah mati kucari-cari pun terlihat.

Seketika tubuhku menjadi lemas seolah kehilangan dayanya. Tatapanku terpaku pada benda berukuran kecil yang bukan merupakan bagian dari aksesori ataupun interior mobil.

"Brengsek!"

Aku menghantam setir mobil menggunakan tinjuku. Aku merasa kesal. Terkhianat oleh entah siapa.

-Tok, tok, tok-

Seseorang yang ternyata adalah Anja mengetuk kaca mobil. Aku menurunkan sedikit agar apa yang sedang kulakukan tidak terlihat olehnya.

"Ada masalah?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Hanya sedang memeriksa laporan pekerjaan. Setelah selesai aku pergi," kataku sembari melebarkan senyum yang kupaksakan.

"Ayah bisa masuk dulu kalau begitu. Aku bisa buatkan kopi dan camilan malam," tawar Anja.

"Enggak perlu, sebentar lagi selesai," tolakku cepat.

"Benar juga, Ibu pasti sudah menunggu di rumah." Aku mengangguk. "Oke, kalau begitu aku masuk dulu." Anja menunjuk kontrakannya menggunakan jari. Aku mengangguk lagi.

Setelah mengembalikan keadaan lubang filter AC yang kubongkar seperti semula, aku menyalakan mesin mobil dan memacu dengan kecepatan standar.

Alat penyadap kubiarkan tetap menempel di tempat semula. Aku tidak mengeluarkan atau menghancurkan alat sialan itu meski ingin. Akan kupikirkan nanti harus kuapakan. Sekarang yang terpenting adalah menjawab satu pertanyaan yang memenuhi kepalaku.

Siapa?

Jawaban 'siapa' bisa kudapatkan jika aku bisa membongkar motifnya.

Motif ... Motif ... Motif.

Aku membagi fokusku antara menyetir dan berpikir. Kuputar musik kertas-kertas agar apa pun yang spontan keluar dari mulutku tidak akan terdengar oleh si penguping.

Rindang, Ulfa, dan wanita itu. Ketiganya menggodaku. Wanita penggoda. Mati.

"Dia berpikir siapa pun wanita yang mendekati dan menggodaku harus menghilang selamanya dari dunia ini. Wanita seperti itu, yang mengganggu kehidupan rumah tanggaku, memang pantas mendapatkannya."

Benar. Pasti itu yang dia pikirkan.

"Rindang, aku nyaris tergoda olehnya. Dia memang pantas mendapatkannya."

Apa yang pelaku lakukan dengan membunuh Rindang sudah benar. Aku bahkan sempat berpikir seperti itu. Pemikiran yang sebenarnya gila tapi harus kuakui itu menolongku.

Aku mencintai Kasturi. Kasturi pun mencintaiku. Dunia tahu itu. Dunia tahu kami hanya memiliki satu sama lain tapi Rindang memaksa masuk di antara kami. Dia pantas dihukum.

Aku tidak sama dengan pria-pria lain yang menganggap rendah kesetiaan mereka. Yang bisa mereka gadai hanya demi kepuasan semu. Aku jelas tidak sama. Aku berbeda!

Kalau begitu mungkinkah pelaku di balik semua ini ...

Tidak, tidak, tidak!

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku boleh meragukannya siapa pun di dunia ini tapi tidak Kasturi. Tidak wanitaku. Siapa pun bisa menjadi penjahatnya kecuali Kasturi.

Aku menurunkan laju kendaraan ketika memasuki pelataran rumah. Aku mematikan musik yang masih berdecak-decak girang. Mematikan mesin mobil dan turun.

"Tapi siapa lagi yang memiliki motif selain wanitaku?"

Hati dan kepalaku masih dipenuhi tanda tanya.

_abcde_