Ada yang berbeda. Dewaku tak lagi sama.
Setiap malam ketika aku dikiranya telah terlelap, aku mendapati Dewa memeriksa ponsel dan laptopku. Dewa sering meneleponku dan menanyakan keberadaanku lebih sering dibanding keingintahuannya mengenai kesehatanku. Sudut matanya seolah selalu mengawasi ruang gerakku.
Perhatiannya tak lagi terasa hangat. Apa yang salah. Apa yang sedang dicarinya. Semakin aku memikirkannya semakin ragaku dipenuhi rasa sakit. Obat yang kukomsumsi tak lagi berkhasiat apa pun. Aku sulit tidur, sulit bernafas, dan ada begitu banyak rasa sakit yang tidak aku mengerti.
Dan demi rasa cinta yang masih melekat di hati kami, kenapa semua menjadi teramat berat.
Aku memasuki ruangan dan tidak kutemukan Dewa di mana pun. Aku beralih ke halaman belakang dan samar mencium aroma rokok.
"Kamu sekarang kembali merokok?" Aku mengerutkan keningku. Dewa memindahkan pijakannya dan ada puntung rokok di sana.
"Sudah pulang. Bagaimana pemeriksaannya? Apa berjalan lancar? Dokter meresepkan obat tidur baru?" Dewa mengalihkan pembahasan. "Bukannya lebih baik kalau tadi kutemani."
"Dewa aku sedang menanyakan kebiasaan merokokmu. Bukannya kamu sudah lama berhenti?"
"Aku hanya melakukannya sekali karena sedang ingin," jawabnya sepele.
"Kamu enggak akan melakukannya hanya karena ingin," tepisku "Kenapa, kamu merasa tertekan? kamu merasa stres? Oleh apa? Olehku? Oleh kehadiranku? Atau oleh perasaanmu padaku?"
Aku mengucapkan kata demi kata untuk menyerang Dewa. Untuk membuatnya mengaku. Anehnya, setiap kata yang kuucapkan bukannya membuat tenang, justru membuatku lebih merasa sakit.
Dewa menghela napas dan mendekatiku. "Enggak ada perasaan seperti itu," katanya penuh pengertian.
Itu bohong, pasti bohong! Kalau benar kenapa sikapnya berubah. Kenapa tatapannya selalu mengawasiku. Kenapa perhatiannya terasa palsu.
"Benarkah? Kalau begitu bagaimana perasaanmu saat itu? Saat itu Rindang menggodamu, 'kan? Apa kamu menyentuhnya? Kamu menyukai aroma tubuhnya? Apa terbesit keinginan untuk meninggalkanku demi dia? Apa ... "
"Kasturi ..."
"Apa saat itu jantungmu berdetak kencang seolah kamu akan terambil alih? Apa terbesit di pikiranmu untuk melakukannya? Apa ..."
"Stop!" Dewa membentak sembari menutup kedua telinganya.
Aku tertegun, menatap matanya dan melihat kejujuran yang tidak mampu ia ucapkan di sana. Jadi, semua itu benar ...
Malam itu Rindang benar-benar menggodanya. Malam itu Dewa benar-benar tergoda olehnya. Jika saat ini Rindang masih hidup apakah Dewa akan meninggalkanku? Apakah Dewa akan memilih bersama wanita itu?
Jadi, apakah mereka melakukannya?
"Enggak! Aku enggak melakukan apa pun. Kami enggak berbuat apa pun!" Dewa berkata tegas seolah bisa membaca seluruh ketakutanku.
"Bohong!" Air mataku berurai setitik demi setitik dan semakin deras. "Dewa kamu tergoda. Tatapanmu bilang kamu tergoda. Dewa, kamu sudah enggak lagi mencintaiku. Kamu berbohong, menipuku. Pada akhirnya kamu akan meninggalkanku seperti yang semua orang lakukan padaku. Kamu akan meninggalkanku Dewa! Kamu meninggalkanku!" Aku memekik histeris.
Dadaku sakit. Aku memukul-mukulnya, berharap jantungku bekerja normal untuk memproses oksigen. Aku butuh udara. Aku sulit bernafas. Aku bisa mati.
"Kasturi berhenti! Hentikan! Aku enggak akan pergi, enggak akan meninggalkanmu."
Dewa menahan tanganku, memelukku, aku tetap meronta. Aku marah, tidak dapat mengendalikan diriku. Aku ingin lebih mengamuk lagi untuk bisa meluapkan segalanya. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, menangis sederas-derasnya. Aku ingin, sampai Dewa mengerti betapa aku tidak bisa hidup tanpanya.
"Maaf, maafkan aku." Suara Dewa penuh penyesalan. Air matanya meleleh. "Rindang telah pergi untuk selamanya. Dia enggak akan mengganggu lagi, enggak akan memisahkan kita."
Ada yang terdengar ganjil dari kalimatnya. Aku menatapnya sekali lagi. Dia benar Dewaku. Raganya benar adalah Raditya Dewangga. Tapi ... ada yang berubah.
"Kamu mengawasiku, memeriksa Hp, juga laptopku, apa artinya?" Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku setelah bersusah payah berusaha untuk tenang.
"Maaf." Dewa terus meminta maaf.
"Bukan permintaan maaf tapi jawaban, Dewa!"
"Sebenarnya ... Selain Rindang ada seorang lagi yang meninggal dan satu orang yang masih hilang." Meski ragu, Dewa mulai bercerita.
Kamilia Ulfa. Aku mengenal wanita itu. Saat di SMA dia menyukai Dewa. Selalu mencari-cari kesempatan dan alasan untuk dekat dengan Dewa. Ketika Ulfa menjadi ketua kelas, Dewa ditunjuk sebagai wakilnya.
Aku pernah beberapa kali bertemu dengan wanita itu karena Ulfa selalu saja mengikuti Dewa ke mana pun dia pergi. Di usianya ketika itu, Ulfa terlihat sebagai remaja dengan pemikiran dewasa dan ambisius.
Ulfa mengikuti banyak ekskul dan masuk dalam keanggotaan OSIS. Dia cukup populer di kalangan anak laki-laki dan yang aku tahu nilai pelajarannya pun selalu bagus.
Setelah lulus, aku merasa lega karena tidak perlu melihat Ulfa berada dekat dengan Dewa lagi. Ulfa kuliah di luar negeri. Setelah itu kami tidak tahu lagi kabar tentangnya, dan kami pindah ke kota ini.
Begitu undangan reuni SMA Dewa datang, aku teringat lagi tentang Kamilia Ulfa. Satu-satunya orang yang kuwaspadai jika Dewa hadir dalam reuni adalah wanita itu. Aku sempat merasa lega karena kudengar Dewa tidak berminat datang jika aku tidak pergi dengannya. Dewa bilang tidak mau meninggalkanku.
Begitu hari H semakin dekat, Dewa berubah ragu. Aku tahu dia ingin pergi. Aku tahu teman-temannya memintanya datang. Aku tidak mungkin menahannya, tidak juga berencana ikut karena tidak ingin membuatnya malu. Dewa pergi dan berjanji akan langsung pulang begitu acara selesai.
Aku setuju karena aku mempercayainya.
"Ada yang meletakkan alat penyadap dalam mobil. Aku enggak ingin ragu dan terus bertanya-tanya, jadi aku memeriksa untuk memastikannya." Dewa masih bercerita.
Dewa telah menyelesaikan ceritanya tapi aku masih butuh lebih banyak waktu untuk mencerna kata-katanya, mengerti semua yang diucapkannya.
Apa? Ragu katanya? Memeriksa?
"Kamu … kamu pikir aku pelakunya? Kamu pikir dengan keadaanku sekarang aku masih bisa?" Suaraku terdengar datar sekaligus dingin. Seolah bukan aku yang baru saja bicara. "Dewa, lihat aku! Lihat keadaanku! Apa dengan keadaanku sekarang aku bisa membunuh wanita-wanita itu? Apa masih bisa memata-mataimu?!" Aku kembali histeris.
Aku mendorong Dewa yang masih berjongkok di depanku mengharap ampun. Aku memukul kakiku berkali-kali. Yang sekeras dan sebanyak apa pun kupukul tidak akan bisa kurasa sakitnya.
"Jika aku bisa melakukannya, dibanding membunuh wanita-wanita itu akan lebih baik jika aku bisa membuat istri-istri di seluruh dunia menjadi cacat sepertiku. Agar mereka tahu rasa sakitku. Agar enggak ada lagi orang-orang yang melihatku dengan tatapan merendahkan!"
Aku terisak. Rasanya sudah tidak sanggup lagi. Aku ingin mengakhiri rasa sakit, sedih, dan ketidakberdayaan ini. Aku ingin mengakhiri untuk selama-lamanya.
"Apa di matamu … aku iblis seperti itu?" tanyaku.
Dewa menggeleng. Air matanya deras mengalir. Bukan hanya sebagai istri yang cacat dan pesakitan, suamiku sendiri bahkan menganggapku iblis pembunuh. "Dewa, kamu brengsek!"
Aku meraih apa pun yang bisa kuraih dan kulempar ke arahnya.
_abcde_