Chereads / Hidden. / Chapter 17 - » Dewa, Dimas, dan Alexi.

Chapter 17 - » Dewa, Dimas, dan Alexi.

Keesokan siangnya, Dewa pergi ke kampus untuk mencari Alexi Pratama. Dewa ingat Rindang pernah menyebutkan di mana adiknya kuliah dan berkata, ekonomi manajemen adalah jurusan yang diambil.

Dewa pergi ke kelas ekonomi manajemen, ke kantin, dan berkeliling kampus, namun tidak melihat keberadaan orang yang dicarinya. Dewa bahkan sudah bertanya ke sana, ke sini dan tetap tanpa hasil.

Sebelum ke kampus, Dewa bahkan sudah mampir ke rumah orang tuanya, pun ke rumah yang ditinggali Alexi bersama Rindang. Nihil. Tidak ada satu pun dari usahanya yang membuahkan hasil.

Ketika berpapasan dengan Adit dan Ali, Dewa menjadi sedikit keras pada keduanya. Memaksa mereka untuk mengatakan di mana Alexi berada. Juga memaksa untuk mengantarkan dirinya ke tempat Alexi bersembunyi. Mereka sempat beradu argumen. Ali dan Adit kekeh mengatakan tidak tahu apa-apa, sementara Dewa yakin keduanya sedang berbohong.

"Maaf, ada apa ini?" Dimas muncul, menjadi penengah. Ia kebetulan baru dari kantor dosen untuk berkonsultasi mengenai masalah Alexi.

"Tolong kami!" Ali segera mencari perlindungan. "Orang ini memaksa kami untuk mengatakan di mana Alexi, padahal kami sudah bilang enggak tahu."

"Kalian teman dekatnya, mana mungkin enggak ada satu pun orang yang tahu keberadaannya!" Dewa tetap yakin pada apa yang ia pikir benar.

"Maaf, kalau boleh tahu sebenarnya ada masalah apa mencari Alexi?" Dimas bertanya dengan sopan.

"Saya ingin berbicara langsung dengan anak itu!" Dewa menolak memberi tahu.

"Saya sendiri baru tahu kalau ternyata Alexi memperpanjang cuti kuliahnya. Saya enggak bisa menghubungi anak itu. Saya rasa dia memang sedang menghindari semua orang," Dimas menjelaskan.

Dewa menghela napas. Ia harus memperingatkan anak itu agar tidak kembali menciptakan masalah baru. Meski hanya seorang pemuda ceroboh, Alexi menyerang langsung ke titik tersensitifnya tanpa memikirkan akibatnya.

"Saya enggak tahu kapan bisa menghubungi Alexi, tapi jika ada yang mau disampaikan..."

"Anak itu menghubungi istri saya mengatas namakan polisi dan mengatakan hal-hal yang enggak perlu. Saya tahu dia mempunyai alasan untuk membenci saya, tapi saya perlu memperingatkannya untuk enggak melibatkan Kasturi. Istri saya sedang sakit dan enggak ada satu orang pun yang boleh memprovokasinya!" Dewa mengambil jeda, kemudian menatap Dimas dengan curiga. "Saya enggak tahu dari mana dia menemukan informasi itu, tapi saya harap dia mengecualikan istri saya untuk masalah ini!"

Begitu selesai mengatakan apa ingin Dewa katakan, ia undur diri.

Sebenarnya Dimas telah menunggu bagaimana Alexi akan memanfaatkan informasi yang dirampas dari tangannya. Dimas sangat berharap Alexi dapat memanfaatkannya dengan bijak, tapi tampaknya harapan itu terlalu tinggi.

Selagi merenung dan memikirkan banyak hal, Adit dan Ali saling melempar kode, bersiap mengambil langkah untuk melarikan diri.

Baru mulai mengambil satu langkah ke belakang, Dimas sudah menangkap ransel Ali. Adit yang hendak mengambil langkah seribu bayangan, juga tertangkap.

"Kalian mau ke mana? Jangan bilang sedang ada kelas, karena saya baru saja memeriksa jadwal mata kuliah kalian."

Ali dan Adit hanya bisa menyemburkan senyum masam. Jika mereka memberikan alasan lain, tentang masalah rumah misalnya, Dimas tidak segan menelepon ke rumah keduanya untuk memastikan kebenarannya. Jika mengatakan masalah pribadi, Dimas tetap akan memastikan kebenarannya dengan caranya sendiri. Alexi telah mengatakannya dengan sangat jelas.

Satu-satunya jalan adalah menghindar sejak awal.

"Sekarang beritahu saya di mana Alexi bersembunyi!" tegas Dimas.

Meski keduanya kompak menggeleng, di depan Dimas hal itu tidak akan ada artinya. Dimas selalu memiliki cara untuk membuat orang lain menurutinya. Entah dengan menggunakan cara licik dengan mengancam, memanfaatkan koneksi, atau dengan menggunakan ketulusan. Seperti yang sebelumnya terjadi pada Alexi.

"Kalian dengar sendiri, 'kan, apa yang orang itu bilang? Ini bukan masalah kecil!" Dimas berubah serius.

Bukan dengan menggunakan cara licik seperti mengancam atau memanfaatkan koneksi. Hanya dengan mengatakan kalimat yang terdengar tulus, Ali dan Adit lantas luluh.

Satu-satunya yang Dimas miliki adalah ketulusan, tapi itu bahkan tidak mampu menyentuh hati Rindang.

Pandangan Dimas menerawang jauh meski gambaran yang muncul di bola matanya adalah wajah Ali dengan rambut jabriknya dan ekspresi Adit yang penuh keraguan.

Satu hal yang bagi Ali maupun Adit sepakati sama seperti apa yang Alexi yakini adalah, jika berhasil tertangkap oleh Dimas, mereka tidak akan bisa kabur. Sekarang, mereka tahu bagaimana kerepotannya Alexi mengecoh Dimas saat hendak bolos kuliah.

*****

Alexi sedang berada di warnet 24 jam. Ketika Dimas, dan dua temannya datang, ia sedang bermain Game Online dengan ogah-ogahan. Ada minuman kaleng dan camilan kemasan di mejanya. Sebelumnya ia menggigit permen, tapi kini hanya tangkainya yang tersisa di mulut.

Ruang yang hanya disekat seadanya, yang seharusnya hanya bisa di tempati untuk dua orang, menjadi sangat penuh. Alexi tak acuh, seolah tiga orang yang ada di depannya adalah makhluk tak kasatmata. Ia tetap bermain seperti tidak ada siapa-siapa.

"Kamu menelepon istri Dewa?" Alexi tidak menanggapi pertanyaan Dimas. "Kamu menelepon istri Dewa?!" ulang Dimas sembari menurunkan earphone yang Alexi gunakan dan meninggikan suaranya.

"Ck!" Alexi berdecak, merasa terganggu. "Tenang saja! Itu enggak akan membuatnya mati seperti Kakak. Tapi kalau aku yang tiba-tiba mati seperti Kakak, berarti cara yang kugunakan untuk memancingnya berhasil. Itu bisa menjadi petunjuk penting bahwa dia memang pelakunya."

"Alexi, bukan itu masalahnya!" tegas Dimas. "Kamu menyamar sebagai polisi saat menelepon, itu bisa disebut penipuan."

"Kalau itu terjadi, seharusnya aku sudah ditangkap," celetuk Alexi seenaknya. "Buktinya aku masih baik-baik saja. Artinya dia menjaga jarak dengan polisi. Artinya lagi dia menyembunyikan sesuatu. Bukankah itu mencurigakan?"

"Alexi!"

"Jangan anggap aku bocah ingusan! Aku bukan lagi Alexi yang akan diam-diam membolos di belakangmu," sengit Alexi menegaskan sikapnya.

Dimas menghela napas. Ia tahu Alexi sedang dalam fase memberontak. Untuk meringankan rasa sakit dan ketidakpuasan dalam hatinya, Alexi butuh tempat pelampiasan. Dimas tahu benar itu. Bahwa manusia menjadi sangat lemah ketika mengalami rasa sakit.

"Kalau begitu bagaimana dengan kuliahmu? Sampai kapan kamu akan meminta cuti?"

Alexi meneguk minuman bersoda miliknya hingga tetes terakhir, kemudian meremukkan kalengnya.

"Sudah kubilang Kakakku menyukai si Brengsek itu. Enggak ada sama sekali tempat untukmu di hatinya. Jadi, hentikan hubungan penuh tanggung jawab palsu ini!" Alexi menatap Dimas tajam. "Benar-benar menyebalkan!" tambahnya mengumpat.

Ali dan Adit yang masih berada di antara keduanya, yang dari awal mendengarkan percakapan mereka, saling bertukar pandangan. Merasa tidak enak dengan Dimas. Seolah kata-kata yang diucapkan Alexi berasal dari mulut mereka sendiri.

Hening. Sampai-sampai suara getar ponsel Dimas terdengar begitu jelas.

"Jika kamu memang benar-benar enggak suka diganggu, bersikaplah dewasa. Jangan membuat masalah ataupun bertindak ceroboh! Kalau enggak, aku akan datang dan mengomel lagi. Enggak peduli betapa kamu merasa terganggu." Dimas pergi.

_abcde_