Chereads / Hidden. / Chapter 15 - » Anisa Kasturi.

Chapter 15 - » Anisa Kasturi.

Aku mau gila rasanya. Nyaris gila. Dewa berbohong padaku. Dia mempermainkanku!

Aku menatap gambaran diriku dalam cermin. Untuk yang ke sekian kalinya dan masih, yang terlihat di sana adalah sosokku yang menyedihkan.

Aku benci, aku muak. Apa yang aku genggam saat itu juga kulemparkan ke arah cermin. Ketika kusadari, benda dalam genggamanku yang kini telah melayang dan menghancurkan cermin adalah ponselku.

Terdengar pekikan di belakang punggungku. Itu suara perawatku. Aku tahu dia sangat ketakutan. Awalnya dia berusaha keras untuk membuatku tenang. Namun menyerah karena tidak mampu meredakan emosiku dan hanya menjadi pelampiasan kemarahanku.

Cermin rias di depanku telah hancur. Pecahannya berserakan di lantai. Ponselku sendiri mungkin sudah tidak bisa lagi diselamatkan, tapi aku sama sekali belum merasa terobati. Kemarahanku masih menggunung, dadaku masih sesak, benakku masih memikirkan beribu kemungkinan yang mampu menyakitiku.

Dan, demi semua amarah yang memenuhi dadaku, ini terasa amat menyakitkan. Seperti jantungku berada dalam genggam yang mampu meremukkan. Seperti aku telah berdarah-darah tapi rasa sakitnya masih bisa berubah lebih dahsyat lagi.

Aku berteriak-teriak, memukul dadaku. Aku ingin melampiaskannya. Aku sesak. Aku merasa kesakitan seorang diri. Aku merasa kekurangan oksigen seberapa pun rakusnya aku menghirup di udara. Aku tak berdaya. Aku menyedihkan.

Tolong aku, aku tidak ingin seperti ini!

"Kasturi sayang, hentikan. Berhenti!" Dewa memegangi tanganku.

"Lepaskan, lepas!"

Aku memekik, semakin marah. Aku benci Dewa. Aku benci ketidakjujurannya. Aku benci saat dibohongi! Jika tujuannya untuk menjaga perasaanku, seharusnya dia pastikan aku tidak akan pernah bisa tahu, dan yang membuatku semakin marah karena lagi-lagi semua ini tentang wanita itu.

"Kasturi, jangan seperti ini. Kamu bisa menyakiti dirimu. Kumohon jangan seperti ini!"

"Jangan pedulikan aku, lepas!"

Dewa tidak mendengarkan perkataanku. Dia bersikeras tetap memegangi tanganku. Menahannya agar tidak memukuli diriku sendiri. Sampai tatapan kami bertemu. Mata indahnya yang seluruh duniaku ada di dalamnya. Aku menatap mata Dewa. Aku melihat luka di matanya. Aku melihat kesedihan, ketidakberdayaan.

Aku terisak. Seharusnya aku yang terluka. Seharusnya aku yang putus asa, seharusnya aku yang tidak berdaya. Seharusnya aku ... bukan dia.

"Kamu sengaja menurunkan wanita itu di jalan pada malam dia di bunuh. Kamu bohong padaku Dewa, kamu pasti menyembunyikan sesuatu dariku! Sesuatu pasti terjadi!"

Aku melihat alis Dewa terangkat. Hanya sekejap mata, tapi aku yakin dengan apa yang kulihat.

"Bukan seperti itu. Rindang yang minta turun. Dia bilang ada yang perlu diurus." Dewa menjelaskan dengan tenang atau mungkin sedang berusaha tenang. Aku tidak tahu lagi, tidak yakin.

Dulu aku sangat mengenal Dewa. Dulu aku bisa tahu apa yang dia pikirkan hanya dengan menatap matanya. Dulu kami saling terbuka. Dulu dia tidak pernah seperti ini, tidak pernah membohongiku.

'Dia bilang Rindang yang meminta diturunkan. Padahal jelas kami memiliki saksi yang mendengar mereka bertengkar.'

Aku teringat apa yang seseorang katakan padaku di telepon setengah jam lalu. Siang ini perasaanku baik-baik saja, sampai telepon yang mengungkap apa yang Dewa sembunyikan dariku, masuk.

"Bohong ..." Air mataku kembali menetes. Ada luka yang kembali teriris di sudut hatiku yang lain. "Dewa, aku mengenalmu. Kamu enggak akan melakukan hal yang begitu enggak bertanggung jawab."

"Rindang bersikeras. Sangat enggak mungkin aku melarangnya." Alasan yang lain.

Aku menggeleng. Terasa amat perlahan. "Apa yang terjadi Dewa? Kenapa saat itu kamu menurunkan Rindang? Kalian bertengkar?"

"Tidak ada alasan untuk bertengkar!" tegas Dewa.

"Kalau begitu apa yang terjadi? Kalau kamu tetap dengan alasanmu bahwa itu permintaannya, aku tetap pada firasatku untuk enggak percaya!" Aku pun berkata tegas. "Dewa kamu pikir aku siapa, kamu pikir dengan kalimat seperti itu bisa membohongiku? Aku istrimu. Aku tahu jelas kepribadianmu."

Dewa menghela napas. "Aku sudah mengatakan apa yang terjadi," katanya sembari mengangkat kedua bahunya, pasrah.

Aku menatapnya lama. Memberinya waktu. Berharap Dewa berubah pikiran dan menceritakan yang sebenarnya terjadi. Aku menunggu.

"Bagaimana perasaanmu? Apa aku perlu mengambilkan obat?"

Air di sudut mataku menitik lagi. Mendadak semuanya terasa melelahkan. Mencintai sekaligus mencurigainya di saat yang bersamaan terasa sangat berat. Ini sama sekali tidak mudah. Semua harapanku ada padanya. Aku terlalu lelah bahkan untuk mendesaknya sedikit lagi. Untuk kembali berdebat.

"Keluar," nadaku datar. Mengusir Dewa dari kamar kami yang telah membeku dingin entah sejak kapan.

"Kasturi ..."

"Aku mencintaimu Dewa, dan aku melihat di matamu kamu juga masih mencintaiku. Aku melihatmu menderita atas duka dan rasa sakitku ..."

"Kalau begitu percaya padaku," mohon Dewa.

"Apa Dewa? Apa yang harus kupercaya? Kamu enggak mengatakan apa pun secara jujur. Jika kamu ingin membuatku percaya pada kebohonganmu, buatlah kebohongan yang bisa membohongiku. Maka aku enggak akan menyalahkanmu, tapi enggak seperti ini Dewa."

Aku terisak. Mengusap air mata dan ingusku yang semakin banjir.

"Aku mencintaimu hampir setara dengan semua umur yang aku miliki dan aku membebani hampir setengah dari waktu yang aku habiskan untuk mencintaimu." Aku melihat Dewa menggeleng di tengah tatapanku yang semakin tidak jelas karena derai air mata. "Tapi sekarang aku enggak bisa melihat dirimu dengan jelas. Aku meraba-raba seperti orang buta. Menebak-nebak. Aku enggak lagi tahu apa yang kamu pikirkan karena kamu enggak pernah mengatakannya."

Dewa tidak berkata-kata. Dia hanya menghapus air mataku dengan tangannya. Kedua tangannya di letakkan di pipiku. Begitu airmataku jatuh ia mengusapnya. Lagi.

Aku ingin mempercayainya. Mempercayai kebohongannya. Aku ingin pura-pura tidak ada yang terjadi. Aku pernah melakukannya. Memendam semuanya. Aku diam-diam terluka. Diam-diam menangis. Tapi saat itu aku tidak baik-baik saja. Saat ini juga tidak.

Aku pernah terluka saat mempercayai kebohongannya. Aku pernah terluka saat berpura-pura semua baik-baik saja. Aku pikir saat aku mengatakan apa yang ada di pikiranku, saat aku tidak mempercayai kebohongannya semua akan lebih mudah tapi kenapa aku tetap terluka?

"Keluar, aku lelah!"

Aku menggerakkan kursi rodaku mundur. Menjauhi sentuhannya. Dewa ingin membantu tapi aku terus menolaknya. Akhirnya ia meminta perawat untuk membantu memapahku ke atas ranjang.

Begitu aku berbaring di atas ranjang, Dewa keluar. Perawat membenarkan selimut yang kukenakan. Kamar yang berantakan dan pecahan cermin yang berserakan di lantai dibersihkannya dengan telaten. Setelah berganti perawat sebanyak lima kali, aku tahu dia yang paling sabar menghadapiku.

Tika, 23 tahun. Dia terlalu penyabar untuk ukuran wanita muda kebanyakan.

"Sepertinya Ibu sudah tidur, Pak."

"Tika, sebenarnya istri saya kenapa bisa sampai seperti ini?"

"Saya kurang tahu apa lengkapnya, Pak, tapi Ibu bilang tadi ada polisi yang telepon."

"Polisi?"

Suara berbisik-bisik. Aku bisa mendengarnya. Aku mendengarnya walau tidak ingin.

Pintu ditutup perlahan. Nyaris tanpa suara. Aku tahu meski tanpa melihatnya Dewa yang melakukan itu. Dia sangat berhati-hati.

Apa yang kini menjadi kekhawatiran Dewa. Sebenarnya apa? Kebohongannya ... atau perasaanku?

_abcde_