Chereads / Hidden. / Chapter 14 - » Raditya Dewangga.

Chapter 14 - » Raditya Dewangga.

Aku pulang setelah semua pekerjaanku selesai. Di perjalanan pulang aku mampir ke TKP tempat tubuh Rindang yang sudah tak bernyawa ditemukan. Karena sudah seminggu seharusnya sudah tidak apa-apa.

Kalau dibilang mampir sebenarnya kurang tepat karena arah menuju rumah dan arah ke TKP berbeda. Lebih tepatnya sengaja datang. Aku tidak tahu apa yang kucari atau apa yang sebenarnya aku pikirkan, tahu-tahu saja aku memberhentikan kendaraanku di tempat ini.

Kedatanganku hari ini mungkin tidak akan ada gunanya.

Mobilku berhenti di tempat di mana aku menurunkan Rindang. Kemudian berjalan kaki sampai di TKP. Aku melangkah mengikuti jejak-jejaknya. Berjalan sampai 20 menit. Di tempatku berpijak sekarang, langkah Rindang menghilang. Mungkin di tempat ini ia disekap oleh pelakunya, karena tubuhnya ditemukan lebih ke dalam.

Aku mengamati sekelilingku. Jarang ada rumah di tempat ini. Satu-satunya aktivitas hanya berasal dari jalan. Jika Rindang disekap di tempat ini, tidak akan ada orang yang memperhatikan. Pengguna jalan pun hanya akan fokus menyetir.

Arah yang kuambil selanjutnya menjauhi jalan raya menuju jalan tanpa aspal. Kira-kira 100 meter ke depan adalah tempat kejadian perkara.

Siapa yang melakukan semua ini pada Rindang. Benarkah aku tidak tahu apa pun. Benarkah aku tidak terlibat. Benarkah dengan atau tanpa aku Rindang tetap akan menjadi korban. Benarkah semua hanya kebetulan.

Seandainya Rindang tidak menggodaku, seandainya kami tidak bertengkar, seandainya aku tidak menurunkan Rindang, seandainya semua itu tidak terjadi, benarkah Rindang akan baik-baik saja.

Aku terus memikirkannya selama seminggu ini. Aku merenung.

Jujur aku meragukan diriku, tapi hanya keraguan kecil. Aku tidak yakin bisa melakukan kejahatan semacam itu. Aku tidak pernah berpikir tentang membunuh siapa pun sebelumnya, dan tidak ingin. Sebenarnya aku bisa saja mengabaikannya toh, tidak akan ada yang tahu.

Tapi, demi pengabdian Rindang selama bekerja dengaku, paling tidak aku harus memeriksanya. Paling tidak, tidak akan ada lagi keraguan meski itu hanya secuil. Aku harus membuktikan ketidakbersalahanku.

Rindang berjalan seorang diri. Pelaku mengetahui hal itu dan memanfaatkannya.

Tunggu! Tapi bagaimana pelaku bisa tahu. Hanya aku yang tahu karena aku yang menurunkan Rindang. Kecuali, pelaku memilih korbannya karena melihat peluang, atau... pelaku sudah mengikuti kami sejak awal.

Benar. Pasti begitu.

Pelaku membuntuti kami. Begitu tahu aku menurunkan Rindang, pelaku beraksi. Di tempat yang menurut pelaku aman, ia membekap Rindang, membawa menjauh dari jalan raya dan membunuhnya.

TKP telah kulihat secara langsung. Sejauh mata memandang hanya ada alang-alang yang tumbuh liar dengan bebas. Meninggi. Tidak ada rumah, manusia, atau aktivitas apa pun yang terlihat.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku kembali ke mobil. Yang terpenting, aku telah menemukan kemungkinan bahwa seseorang mengikuti kami. Yang perlu kulakukan hanya menemukan siapa orangnya.

"Pelaku selalu kembali ke TKP setelah melakukan kejahatannya. Sepertinya kalimat itu benar." Sebuah suara menghentikan langkahku.

Alexi Pratama.

"Bagus, ada gunanya juga berada di tempat terkutuk ini." Alexi entah berbicara pada siapa.

"Atas dasar apa saya dituduh sebagai pelaku?" Aku menanggapi dengan tenang. Tidak ingin menganggap serius ucapan Alexi yang aku tahu tidak berdasar.

Saat berada di rumah duka, aku sama sekali tidak melihat keberadaan Alexi. Pun ketika Rindang dimakamkan. Sampai hari ini. Aku tidak terlalu mengenal Alexi, tapi aku tahu selama ini dia tinggal berdua dengan kakaknya.

"Karena Anda adalah orang terakhir yang bersama Kakak. Karena Anda adalah orang yang menurunkan Kakak di jalan. Kalau bukan Anda, siapa lagi orang yang lebih berpeluang untuk membunuh Kakak," tutur Alexi.

"Tapi itu bukan bukti, hanya argumentasi."

Aku memperhatikan Alexi lekat. Caranya menatap persis seperti kedua polisi itu, Harun dan Setiawan. Sama seperti Dimas ketika bertanya padaku alasan menurunkan Rindang di jalan. Sama. Mereka semua sama-sama mencurigaiku. Menyalahkanku.

"Kalau begitu tunggu sampai aku menemukannya," kata Alexi tegas. Ia berbalik menuju ke tempat motornya terparkir dan berlalu.

Anak itu membenciku. Aku melihat dengan jelas dari matanya. Anak itu bukan Alexi yang aku lihat di kantor bersama Rindang waktu itu. Alexi yang ini berbeda. Seolah ia adalah pemuda yang bisa menghalalkan segala cara untuk menjeratku.

Hah! Apa ini? Apa perasaan paranoid? Tidak, tidak! Alexi hanya pemuda yang bahkan belum menyelesaikan kuliahnya. Apa yang bisa dia lakukan. Apa yang perlu kukhawatirkan.

Aku sedang menyalakan mesin mobil ketika sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nomor Setiawan, polisi yang pernah datang bersama Harun.

Ada apa ini? Tidak hanya Alexi, tapi polisi kembali menghubungiku. Apa mereka memiliki penemuan baru, atau hanya untuk mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tidak sempat mereka ajukan.

"Iya, saya sendiri," jawabku.

Setelah kami mengatur waktu untuk bertemu pukul lima sore nanti, panggilan diputus.

Kembali kumatikan mesin mobil yang baru kunyalakan. Aku harus memikirkan langkah-langkah pencegahan seandainya mereka menemukan hal baru yang bisa memberatkanku. Aku harus mengatur kalimatku agar tidak terjebak oleh pertanyaan mereka yang mungkin saja bermaksud menyesatkanku.

Tunggu! Apa ada hal baru yang bisa memberatkanku?

Hal-hal yang tidak kukatakan pada kedua polisi itu adalah alasan sebenarnya aku menurunkan Rindang, dan ... obat bius yang Rindang masukkan ke dalam minumanku.

Obat bius. Rindang mungkin tidak sempat membuang botolnya karena aku masuk ke mobil saat ia menyabotase minuman yang diberikannya kepadaku. Itu sebabnya ia terlihat terkejut ketika aku masuk. Karena aku melihat dengan jelas Rindang membukakan minuman milikku, jelas caranya memasukkan obat dengan jarum suntik.

Oke, jika penemuan terbaru terkait obat bius yang Rindang miliki tidak akan bisa memberatkanku. Karena Rindang sebagai pemilik obat bius jelas dia yang terlihat memiliki motif melakukan kejahatan. Dengan takaran yang sudah berkurang, polisi akan tahu obat bius telah digunakan dan aku hanya perlu membuktikan bahwa akulah korbannya.

Oke, tidak masalah.

Tapi bagaimana kalau yang terbongkar adalah alasanku menurunkan Rindang.

"Tunggu, apa aku melewatkan sesuatu?" Keningku berkerut dalam. Mengingat kembali apa yang terjadi sore itu.

Benar. Saat itu Rindang berteriak. Jangan-jangan ada saksi yang melihat kami. Tempat yang sepi dan kendaraan yang jarang melintas, jika ada yang berteriak meskipun hanya satu orang, pasti akan sangat mencolok.

Sial! Aku bahkan sempat membahas soal lamaran Dimas. Kisah ini mungkin akan mengarah pada perselingkuhan, dan amarah tak terkendali karena wanitaku hendak direbut pria lain.

Sial! Aku terjebak oleh lidahku sendiri.

Ponselku berdering lagi. Panggilan masuk. Kali ini berasal dari orang rumah, tepatnya panggilan dari orang yang merawat istriku selagi aku bekerja.

"Ya, kenapa Tika?"

"Pak, Ibu histeris! Saya tinggal sebentar ke halaman belakang tahu-tahu waktu saya kembali Ibu sudah histeris."

"Oke, oke saya pulang sekarang."

Aku menepis semua hal-hal yang memenuhi benakku. Dugaan-dugaan, prasangka, pembelaan diri. Yang kulakukan hanya menginjak pedal gas dan menyetir pulang.

_abcde_