Hampir setahun aku kenal Angga. Ya masih ada empat bulan sih menuju setahun itu. Tapi aku merasa masih belum kenal Angga.
Aku pernah bahas kan kalo aku nggak tahu siapa aja keluarga Angga. Keluarga disini maksudnya kakak Angga, karena orangtuanya udah meninggal. Besar banget harapanku buat bisa kenal sama keluarganya.
Nggak harus ketemu. Karena Angga bisa cerita aja tentang keluarganya. Tapi sayangnya nggak pernah sekalipun dia membahas tentang keluarganya.
Padahal aku udah pancing dia dengan bahas keluargaku. Semisal adikku yang nyebelin tapi sayang sama aku. Bapak yang galak. Ibu yang sekarang lagi berjuang melawan penyakitnya. Itu nggak bikin Angga tertarik buat cerita.
Itu baru masalah keluarga ya. Belum lagi soal masalah privasi yang pernah aku bahas sama Deano dulu. Bisa dibilang ini masalah pertama kami setelah pengakuan itu.
Aku upload foto kami ke sosial mediaku. Wajah Angga keliatan jelas banget disitu. Dan komen dari para fans Angga langsung berdatangan. Berbagai macam komen, mulai dari yang nyinyir, dukung, hujat dan sumpah serapah yang nggak enak dibaca.
Awalnya aku nggak ngeh aja kalo Angga marah. Soalnya kan emang dia nggak ada ekspresi lain selain datar. Emang sih keliatan mana yang marah dan mana yang nggak, tapi kali ini aku nggak bisa nebak dia lagi dalam suasana apa.
Abis jemput di kampus, Angga langsung bawa aku ke apartemen. Kemarin kami sepakat mau beresin kamar dan ganti suasana kamar. Tapi agenda itu batal karena Angga malah langsung tiduran di ranjang tanpa kata.
Dari situ aku mulai ngerasa ada yang nggak beres. Soalnya Angga bakal diem kalo marah dan lagi kerja. Sekarang nggak kerja dia, jadi itu artinya dia lagi marah. Karena apa? Aku belum tahu.
Pas lagi buka resep masakan buat ide makan nanti malam, Selly ngirim pesan. Tanya kenapa foto yang aku upload nggak ada.
[Hah? Kok bisa?]
Balasku, setelah aku cek. Beneran, fotonya nggak ada. Padahal aku nggak merasa menghapusnya. Apa ada yang hack akun media sosialku?.
[Lah, meneketehe. Lo apus?]
Mikir, Kara, kenapa fotonya bisa ilang.
Mau mikir sampe jungkir balik juga nggak nemu alasan kenapa fotonya bisa ilang. Bahkan aku sempet lupa buat mikir kenapa fotonya ilang, karena Angga keluar dari kamar.
"Jadi nggak beresin kamar?" tanyaku enteng.
Dia nggak jawab atau respon apapun. Cuma liatin aku bentar trus jalan balik kamar lagi. Lah, ini anak kenapa dah?
Aku masih berusaha positif thinking sama tingkah Angga. Mungkin dia lagi capek, karena kadang dia begadang buat kelarin kerjaan.
"Foto aku ilang, Ang. Foto yang kemarin aku upload, yang pas kita lagi di mobil." aku berusaha mencairkan suasana. Angga masih diem aja.
"Kenapa sih? Ngomong dong kalo ada apa-apa. Aku bukan orang yang bisa baca pikiran tau." aku mulai jengkel.
Lagi, Angga liatin aku bentar, trus melengos. Ya ampun, rasanya pengen banget cukil itu mata.
"You don't ask me first. About the pict." akhirnya Angga ngomong.
Hah? The pict?
"Maksudnya soal foto yang aku upload?" aku masih belum nangkap apa yang Angga maksud.
"No asking permission." suara Angga terdengar dingin.
"Jadi gegara aku upload foto itu kamu jadi marah? Gitu doang marah?" oke aku paham.
Angga marah karena aku upload foto tanpa ijin. Gitu doang? Ya ampun, emangnya dia hidup di jaman kapan? Jaman batu? Jaman dinosaurus?
Hey, sekarang orang-orang bebas mau upload apa aja di sosial media mereka. Kenapa ini ribet cuma karena aku upload foto dia sih? Lagian aku pacarnya. Wajar dong hal kaya gitu.
"Napa mesti marah sih? Itu kan cuma foto. Nggak aneh juga kok fotonya. Lagian sekarang fotonya juga udah ilang." balasku agak emosi.
"I did."
"Hah? Kenapa kamu hapus? Kamu malu aku upload foto itu? Apa alasannya? Kok gitu sih kamu?" fix, aku marah.
Masih mending akun kamu di hack sama orang asing ya. Nah ini, foto kamu dihapus sama pacar kamu sendiri. Yang artinya pacar kamu hack akun kamu. Wah, hebat sekali pacar saya ya!
"Apa masalahnya? Ngomong dong, jangan cuma diem aja. Emangnya masalah bisa kelar kalo diem aja!" aku naik pitam.
"No permission, intrude my privacy."
Aku nggak percaya sama hal ini. Aku bertengkar sama pacarku cuma gegara foto. Masih mending kalo fotonya itu aku sama selingkuhan atau foto yang bisa bikin bumi gonjang ganjing. Nah ini cuma foto aku sama dia lho. Dan apa dia bilang? Ganggu privasi? Upload foto doang aja sampe ganggu privasi?
Hey, Bung, kalo kamu tahu. Banyak foto kamu yang kesebar di internet. Kenapa kamu nggak marah sama mereka yang upload? Mereka bukan siapa-siapa kamu juga kan.
"Hey Tuan Privasi, asal kamu tahu ya. Di luaran sana banyak foto kamu yang beredar. Apa kamu udah marahin mereka yang upload? Mereka orang asing lho. Kayanya kek anak kecil banget marah cuma gegara foto." kelar ngomong, aku langsung bawa barang-barangku trus walk out dari apartemen.
Marah, heran sekaligus nggak percaya aja. Kami marahan cuma gegara foto lho. Gegara foto. Dan dia dengan lebay-nya bilang ini menyangkut privasi dia? Emangnya sepenting apa sih privasi dia? Artis juga bukan. Ngapain pake bahas privasi segala? Sok kecakepan banget.
Eh, nggak. Dia emang cakep sih.
Sok penting aja jadi orang!
***
Baik aku maupun Angga nggak saling kontak. Well, kami emang jarang berkirim pesan atau telepon. Jadi itu nggak masalah sih sebenernya. Yang jadi masalah itu adalah intensitas pertemuan kami.
Kalo biasanya kami akan ketemu setiap hari, sekarang nggak. Bahkan aku udah hampir dua minggu nggak ketemu Angga. Betah kok aku, jangan salah. Dan Angga juga nggak jemput aku di kampus atau kos. Jadi ya udah.
"Lo yakin bakal kayak gini terus?" tanya Merry.
"Emang gue kudu gimana?" ya kan? Memang harusnya gimana?
"Ya paling nggak, lo samperin dia lah. Orang cakep tuh banyak yang mau. Ntar kalo dia meleng, lo nangis-nangis lagi." goda Selly.
"Banyak yang mau emang, tapi nggak banyak yang betah sama sikap dia." balasku.
"Emang dia gimana?"
"Kasar gitu di ranjang?"
Ini duo manusia kampret kenapa malah bahas yang iya-iya sih?
"Um, gue boleh nanya?" mumpung ada yang bahas ranjang, mending sekalian dibahas ya.
Selly sama Merry nggak jawab. Mereka langsung mencondongkan tubuh ke arahku. Itu udah jadi jawaban kalo mereka bakal dengerin ucapanku.
"Angga pernah bilang 'tell me when you ready' dan sampai sekarang gue belum bilang kalo ready. Gimana menurut kalian?"
Mereka kompak tegakin badan dan mulai pasang pose mikir. Ya pasang aja, mikirnya belakangan. Lama mereka mikir, trus akhirnya satu persatu bersuara. Dimulai dari si tua, Merry.
"Itu berat, Kar, kalo kalian nggak saling komit. Kalo sampe terjadi hal yang nggak diinginkan, apa kalian siap? Contoh konkrit gue nih. Udah ada anak tapi nggak ada laki. Itu berat walo nggak ada yang permasalahinnua." Merry menghela napas. "Jadi menurut gue, lo harus bikin kesepakatan dulu. Ya semacam prenup gitu kalo di pernikahan."
"Prenup apaan?" tanya gue cepet.
"Perjanjian pra nikah gitu. Tapi bedanya ini perjanjian pacaran. Sukur-sukur ada tanda-tangan materai segala."
"Ribet banget sih cuma mo gituan aja." komen Selly.
"Emang ribet, Sel. Tapi demi kebaikan bersama. Kalo nggak, kita yang rugi." imbuh Merry.
"Jadi, lo merasa rugi?" tanya gue serius.
Sedikit informasi, Merry statusnya single parent. Dia punya anak cewe umur dua tahun. Dia dapet anak itu karena udah melakukan sex sebelum nikah. Dimana laki Merry?
Dia nggak pernah secara gamblang nyebutin nama cowonya. Dia cuma bilang kalo hubungan mereka ditentang sama keluarga si cowo, terus cara buat bikin Merry nggak lari ya cuma hamil itu. Tapi Merry berhasil menghilang.
Kalo ditanya apa Merry menyesal? Dia jawab iya. Dia menyesal udah lakuin hal bodoh itu. Tapi Merry selalu bilang kalo Star, nama anaknya, bukan kesalahan.
"Secara waktu iya. Harusnya gue udah semester enam, tapi ketunda dua tahun karena Star. Belum lagi nanti kalo gue mo nikah. Gue bingung kudu kenalin Star sebagai apa ke calon laki gue nantinya."
Ucapan Merry bener banget. Di Indonesia, single parent tanpa pernikahan itu buruk banget. Jadi janda aja pandangannya udah beda, ini malah punya anak tapi nggak ada lakinya? Serasa double shoot head kali ya?
"Kalo menurut gue, mending nggak usah. Kan ada ucapan 'kalo sayang nggak bakal ngerusak' jadi ngapain lo kudu ngelakuin hal itu tanpa status yang sah? Tapi balik lagi, itu hak lo. Hidup lo, badan lo. Kalo semisal ada kejadian buruk juga lo yang rasain." itu pendapat Selly. "Gue bukan doain lho ya." tambah Selly.
Duh jadi berat gini yak.