Chereads / Silam / Chapter 2 - 2 :: Sebuah Kebetulan Atau Kesengajaan

Chapter 2 - 2 :: Sebuah Kebetulan Atau Kesengajaan

Luna sedang berjalan di antara deretan rak yang penuh dengan buku-buku tebal. Ia sedang mencari referensi buku untuk tugas kuliahnya Tangannya terulur begitu matanya menangkap judul yang menarik perhatiannya. Belum genap ia mengambil buku yang dimaksud, uluran tangan lain mendahuluinya dan mengambil buku yang Luna tuju.

Luna menoleh. Matanya menangkap sosok Alfi yang sukses membuatnya terkesiap. Refleks, kaki Luna melangkah ke belakang. Ia bermaksud menjaga jarak dengan Alfi yang posisinya saat itu cukup dekat dengannya.

"Mau ambil ini?" Alfi bertanya, bibirnya tersungging menunjukkan mimik wajah yang bersahabat.

Luna mengangguk, tapi kemudian menggeleng. "Kalau kamu butuh, kamu aja yang ambil," ujarnya lalu segera membalikkan badan, bermaksud meninggalkan Alfi.

Belum sampai tiga langkah Luna berjalan, Alfi sudah lebih dulu menahan Luna dengan memegang bahu gadis kecil tersebut. Luna menoleh, matanya menunjukkan bahwa ia tak suka dengan perlakuan Alfi.

Alfi melepas tangannya dari bahu Luna dengan canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian berkata, "Maaf."

Luna mengangguk. Lalu melanjutkan jalannya menuju ke rak buku di sisi yang lain. Kali ini, Alfi tak lagi menahan. Luna kembali fokus mencari buku yang ia butuhkan. Matanya berbinar karena tak butuh waktu lama ia sudah berhasil menemukan buku yang dimaksud.

Tangan Luna terulur kembali. Letak buku yang berada di bagian paling atas rak membuat Luna cukup kesulitan untuk mengambil sehingga mau tak mau ia harus berjinjit. Lagi, untuk yang kedua kalinya, Alfi yang datang dari arah yang berbeda, mendahului Luna mengambil buku yang dimaksud.

Luna melirik Alfi, napasnya berhembus panjang, "Ambil aja kalau kamu butuh."

Luna kembali berjalan, menjauhi Alfi, bermaksud mencari lagi buku yang ia butuhkan. Akan tetapi, belum genap lima langkah, Alfi sudah lebih dulu encekal erat pergelangan tangannya hingga mau tak mau Luna harus berhenti.

"Aku enggak butuh ini, Na, aku bermaksud mengambilkan ini untuk kamu. Hal yang sama seperti yang dulu selalu aku lakukan ketika kita mengerjakan tugas bersama di perpustakaan kampus."

Luna berbalik, memberanikan diri menatap Alfi dengan penuh keyakinan meski sekarang jantungnya sudah berdebar tidak karuan. "Sekarang semua udah nggak sama lagi, Al."

Alfi tersenyum kecut. "Aku tahu, Na."

"Dan enggak akan pernah sama lagi, Al," tambah Luna cepat.

Alfi tak menjawab. Ia malah menyodorkan dua buah buku yang memang Luna butuhkan. Luna masih diam, tak berkutik.

"Aku enggak butuh buku ini, Na. Kamu tahu sendiri aku udah enggak kuliah."

Luna menerima buku itu dengan canggung. Ia lalu berjalan menuju ke salah satu tempat duduk di sisi ruangan perpustakaan kota yang suasananya terbilang cukup sepi. Ia lalu mengeluarkan beberapa lembar folio dan tas hitamnya dan bergegas menyelesaikan tugas. Jantung Luna masih belum berdetak dengan normal. Kali ini, ia susah payah menelan ludah begitu ia merasakan kehadiran ssseorang yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya dengan santai.

"Kursi di sampingmu ini tadi kosong, Na."

"Dan kamu tanpa izin menempatinya begitu saja?"

"Lagipula aku harus izin ke siapa, Na?"

"Ini area tempat dudukku, Al."

"Jadi, aku boleh duduk sini, Na?"

"Diizinkan atau enggak, kamu pasti akan tetap menempatinya kan? Sama halnya ketika kamu dulu mencoba menempati ruang kosong di hatiku."

"Aku..."

"Aku yang minta maaf, Al."

"Luna..."

"Kamu boleh duduk sini, Al."

Luna kembali fokus menyelesaikan pekerjaannya. Ia mengeluarkan beberapa buku yang ia punya dari dalam tas dan beberapa kali membuka buku-buku di hadapannya sebagai referensi. Alfi yang kini duduk di samping Luna hanya mengamati gerak-gerik Luna dengan canggung. Ia yang biasanya banyak bicara kini malah kebingungan mencari topik pembicaraan yang tepat. Ia ingin membicarakan banyak hal tapi dalam hatinya Alfi takut jika hal itu malah membuat Luna tersinggung atau sakit hati.

"Aku minta maaf, Al."

"Buat apa?"

"Tindakanku yang menghindarimu tadi dan juga perkataanku barusan."

"Enggak ada yang salah dari keduanya, Na."

"Aku minta maaf."

Alfi mengangguk meski tak yakin Luna melihat. "Aku udah maafin kamu, Na."

Luna menghentikan sementara tugasnya, ia menatap Alfi sejenak lalu tersenyum. Senyuman singkat yang entah kenapa membuat Alfi menghembuskan napas panjang dan sedikit merasa lega.

"Butuh bantuan, Na?" tanya Alfi.

Luna menggeleng. "Aku bisa sendiri, Al. Lagipula tugasnya enggak terlalu sulit."

"Ini, buku apa, Na?" Alfi menunjuk salah satu buku dengan sampul tebal berwarna coklat yang terletak diantara tumpukan buku lainnya.

Luna menoleh, lalu tersenyum. "Liat aja, Al."

"Boleh?" tanya Alfi tak yakin.

Luna mengangguk. Alfi dengan hati-hati mengambil buku tersebut. Jari-jari tangannya mulai membuka lembar pertama buku itu.

"Foto kenangan?" Alfi menatap Luna dengan bingung setelah ia membuka lembar pertama buku tersebut.

Luna mengangguk. "Kamu liat aja bagian selanjutnya."

Alfi meneguk ludahnya perlahan. Ia merasa tak enak jika membuka lebih jauh buku itu tapi di sisi lain ia sangat penasaran. Ia juga tak ingin menyia-nyiakan izin yang telah diberikan oleh Luna sebagai sang pemilik buku.

Mata Alfi seketika melebar begitu melihat lembar kedua. Jantungnya sudah berdebar tak karuan. Ia melirik Luna yang ternyata sedang sibuk dengan tugasnya dan sama sekali tak memperhatikan dirinya.

Perlahan tapi pasti, Alfi kembali membuka lembaran demi lembaran isi buku itu. Perasaannya berkecamuk. Kini, hatinya dilingkupi dengan perasaan bersalah yang membuncah.

"Kamu ...." Alfi tak mampu melanjutkan ucapannya.

Luna mengalihkan pandangan dari tugasnya, kini ia menatap Alfi dan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Udah selesai liatnya?"

Alfi mengangguk canggung. "Kenapa, Na? "

Luna mengerutkan kening, tak mengerti maksud pertanyaan Alfi. "Kenapa apanya, Al?"

"Kamu cetak semua foto berdua kita? Kenapa?"

Luna mengangguk. "Aku selalu suka foto, Al, karena manusia dan perasaannya bisa berubah, tapi foto dan kenangannya akan tetap sama."

Alfi masih diam, tak berkomentar.

"Sebab aku enggak selalu bisa jaga manusianya, jadi enggak ada salahnya kan kalau aku jaga kenangannya lewat foto-foto ini."

Alfi menutup buku tersebut. Ia ingin berbicara lebih jauh tapi ia sudah diselimuti dengan perasaan yang membuat dirinya sendiri tidak nyaman. Kali ini, ia memberanikan diri menatap Luna dan yang ada, Alfi malah semakin merasa bersalah dan tak tega.

"Aku..."

"Enggak perlu minta maaf, Al."

Alfi menelan ludahnya susah payah. Ia bahkan belum menyelesaikan kalimatnya tapi Luna yang sedang asyik menyelesaikan tugas kuliah seakan sudah tahu apa yang akan dirinya katakan. Luna seakan sudah paham betul bagaimana jika ia berada di posisi Alfi sekarang.

"Rasanya ..., berat ya, Na."

"Ngomong-ngomong, kamu ngapain ke sini, Al?"

"Aku cuma mampir, memangnya enggak boleh ya?"

"Kamu bukan tipikal orang yang betah di perpustakaan, Al."

"Ternyata kamu masih ingat ya, Na."

'Sejak awal, tujuanku memang bukan ke sini, Na. Aku berniat pergi ke ATM di dekat perpustakaan kota ini. Aku enggak sengaja lihat kamu masuk perpustakaan begitu aku keluar dari ATM. Entah kenapa, aku merasa ingin berbincang lebih banyak sama kamu, Na. Makanya aku ikut kamu masuk ke perpustakaan ini. Entah ini suatu kebetulan atau enggak, yang jelas aku senang sekarang, Na.'

"Lebih baik kamu pulang, Al."

Alfi menggeleng. "Aku masih mau di sini."

"Aku yakin kalau kamu bakal bosan dan enggak betah."

"Sama sekali enggak bosan dan aku betah karena kamu juga ada di sini, Na."

Seketika Luna terdiam. Tak mampu mengatakan apa-apa lagi. Alfi dengan segala kesempurnaannya selalu mampu membuat Luna bungkam. Entah karena Alfi memang pandai berargumen ketika berdiskusi atau karena Alfi mampu membuat jantung Luna kelabakan karena perkataan Alfi yang tak jarang terdengar begitu manis.

"Al..."

"Kenapa?"

"Kenapa kamu ke kota ini lagi setelah sekian lama kamu balik ke kota asal mu?"

"Aku butuh liburan, Na."

"Kenapa harus Jogja?"

"Karena aku ingin."

"Tapi, sampai kapan?"

"Aku sendiri enggak tahu. Delapa bulan yang lalu ketika aku balik ke kota asalku di Semarang, aku langsung mati-matian belajar tentang bisnis ayah. Semua terasa nggak mudah karena aku sendiri sejak awal kurang minat sama bisnis ayah, tapi lambat laun, aku justru semakin menikmati hal yang semula enggak aku sukai. Aku rasa, sekarang waktu yang tepat buat aku ambil liburan, toh ayah juga udah mengizinkan dan enggak kasih batas waktu. Kenapa harus Jogja? Karena aku rasa aku rindu dengan kota ini, Na. Lagipula, kalau aku liburan di sini, aku enggak perlu susah-susah mencari penginapan karena aku sudah punya tempat tinggal di sini."

Luna mengangguk mengerti. Luna sudah kenal dengan Alfi dan laki-laki itu memang tipikal orang yang senang liburan sendirian. Luna juga semakin kagum dengan Alfi karena laki-laki itu ternyata sudah sangat bekerja keras di usianya yang masih terbilang cukup muda.

'Kamu selalu nampak mengagumkan, Al...'

"Oh, gitu ya, Al... Memangnya, kamu enggak ada tujuan selain liburan?"

Alfi menggeleng, ragu. Sebenarnya, ada Na.

"Aku bisa bantu kamu, Na."

Luna mengerutkan kening. "Bantu apa?"

"Kerjain tugas kamu."

"Oh," jawab Luna singkat lalu menggeleng.

Luna menolak. Ia tipikal orang yang sering merasa tidak enak hati dan takut merepotkan orang lain. Luna selalu berpikiran selagi ia mampu nengerjakan sendiri, maka ia pantang meminta bantuan.

"Kamu masih sama seperti dulu, Na."

"Ya, mungkin."

"Kamu dingin, tapi kamu bisa menunjukkan sisi hangatmu kalau lagi bersama orang yang tepat."

"Ya."

"Aku merasa beruntung, Na."

"Kenapa? Kamu habis menang lotre?"

Alfi terkekeh, lalu menggeleng. "Aku beruntung karena jadi salah satu orang yang bisa ngerasain sisi hangat kamu."

Luna tersenyum kecut. 'Dari semua laki-laki selain ayah, kamu dan hanya kamu yang bisa membuat aku senyaman ini, Al. Enggak heran kalau aku bisa sehangat ini sama kamu.'

"Ngomong-ngomong, Na, besok nonton yuk?"

Luna tersentak kaget dengan ajakan tiba-tiba dari Alfi. Ia menghirup napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Luna menatap Alfi, kemudian menggeleng.

"Kamu enggak mau, Na?"

Lagi, Luna menggeleng.

"Kenapa, Na? Sejak dulu kita pertama kenal dan menjadi dekat, kamu sama sekali tidak pernah menolak ajakanku, Na."

'Karena keadaan yang sekarang sudah tak lagi seperti dulu, Al. Sejak kamu tiba-tiba menghindar dan pergi tanpa kabar, semua sudah tak lagi sama. Perasaanku memang belum berubah, tapi aku enggan mengulang cerita yang sama lagi sebab aku tak mau jatuh dan sakit untuk yang kedua kali. Silahkan saja kamu sebut aku berlebihan, tapi rasa sakit yang kamu tinggalkan benar-benar nyata adanya. Parahnya lagi, aku harus menanggung beban itu sendirian.'

"Aku enggak mau."

"Kamu sibuk, Na?"

Luna mengangguk, tentu saja ia berbohong. Mengetahui jawaban Luna, Alfi menghembuskan napas panjang, sedikit kecewa. Alfi baru akan berbicara lagi ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia bergegas mengecek pesan yang masuk.

Alfi melirik ke arah Luna begitu ia sudah membaca dan membalas pesan barusan. "Maaf, Na, aku harus pulang dulu, ya."

"Kamu enggak perlu minta maaf."

Alfi mengangguk. "Aku enggak bisa antar kamu pulang, Na."

Luna menggeleng. "Enggak masalah, Al."

Alfi mengangguk mengerti. Ia menepuk bahu Luna sekilas lalu bergegas pergi setelah melambaikan tangan. Luna membalas lambaian tangan Alfi. Alfi sudah berjalan, menjauh dari tempat duduk Luna. Luna masih mengamati punggung Alfi yang semakin lama semakin tidak tampak.

'Sosok Alfi masih dan tetap sama seperti dulu, ia tinggi dan tegap, langkahnya tegas. Sifat baiknya juga masih sama, ia tak segan menolong orang yang sekiranya membutuhkan bantuan. Hanya saja, aku yakin jika sekarang perasaan Alfi sudah tak lagi sama seperti dulu ketika kita pertama kali bertemu. Alfi, orangnya masih tetap sama, perasannya yang sudah berbeda.'