Chereads / Silam / Chapter 4 - 4 :: Kilas Balik : Kebaikan Alfi

Chapter 4 - 4 :: Kilas Balik : Kebaikan Alfi

Hari berikutnya, 15 Agustus 2019 (Satu tahun yang lalu)

Luna sedang berjaga di lapangan untuk memastikan bahwa panitia dan peserta dalam keadaan sehat. Kemarin, Luna sudah ditugaskan untuk berjaga di ruang medis, maka kali ini tugas Luna adalah berjaga di area lapangan. Mata Luna bergerak tajam, mengamati sekitar.

Pandangannya menyapu dari area barat lapangan hingga ke area timur. Tepat ketika mata Luna memandang area timur, Luna melihat sosok yang tak asing dengan kamera yang dikalungkan di leher. Luna sukses salah tingkah begitu orang yang ia tatap balik memandang ke arahnya bahkan orang itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Luna. Luna tersenyum kecut dan membalas melambaikan tangan dengan kaku.

Alfi...

Luna menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. Tak ingin jika dirinya hanya berfokus pada Alfi. Ia kembali mengamati sekitar dan sepertinya, kali ini hampir semua peserta dan panitia ospek dalam keadaan sehat. Luna kembali mengarahkan pandangannya ke sisi timur lapangan. Dengan sangat hati-hati, ia mencoba menatap tempat tepat dimana tadi Alfi berdiri.

Luna mengerutkan kening begitu menyadari Alfi sudah tak berada di tempat semula. Luna celingak-celinguk menatap sekitar, mencari keberadaan Alfi tapi nyatanya ia tak juga menemukan keberadaan laki-laki itu. Setelah beberapa saat, Luna bingung dengan dirinya sendiri, kenapa juga ia harus mencari Alfi, toh bukan itu tugasnya.

Luna menghembuskan napas panjang. Ia berusaha untuk memikirkan hal-hal selain Alfi tapi rasanya ia masih ingin tahu dimana keberadaan Alfi sekarang. Tahu-tahu, bahu Luna ditepuk pelan oleh seseorang.

"Luna..."

Luna menoleh. Seketika ia terperanjat dan memundurkan kakinya beberapa langkah. Jantungnya sudah berdebar tak karuan begitu melihat sosok yang tadi ia cari dan kini ternyata sosok itu sudah berpindah ke sisi kanannya.

Alfi...

"Hai..." balas Luna canggung.

Tiba-tiba, tanpa seizin Luna, Alfi mengarahkan kamera yang ia bawa tepat ke wajah Luna dan langsung mengambil gambar ketika Luna sedang membalas sapaannya. Luna membelalakkan mata begitu mengetahui kelakuan Alfi.

"Al!" hardik Luna.

Alfi terkekeh. Ia lalu memainkan kameranya, bermaksud melihat foto yang baru saja ia ambil. Luna melirik ke arah kamera yang Alfi pegang dengan sedikit kesal.

Begitu layar kamera menampakkan foto Luna, gadis itu langsung berkata, "Ish, hapus, Al!"

Alfi menggeleng dengan jahil. "Enggak mau, Na."

"Al, hapus!" titah Luna lagi.

"Enggak."

"Hapus. Jelek."

"Enggak. Cantik kok."

Mata Luna melebar begitu mendengar apa yang barusan Alfi katakan. Luna buru-buru memalingkan pandangan karena ia yakin pipinya sudah memerah sekarang.

"Al, hapus," kata Luna tanpa sedikitpun memandang Alfi.

"Enggak mau, Luna."

"Lagian di situ aku belum siap difoto," protes Luna.

"Berarti, kalau udah siap difoto, enggak perlu dihapus kan?"

Luna menelan ludahnya kuat-kuat. Alfi dengan semena-mena membuat jantungnya berdebar tak karuan. Perasaan Luna berkecamuk. Luna tak tahu harus mengatakan atau berkomentar apa terhadap ucapan Alfi barusan.

"Gimana, Na?"

"Gimana apanya?"

"Udah siap foto?"

Luna menggeleng.

"Yaudah, aku tunggu sampai siap. Ngomong-ngomong, kayaknya kamu enggak sempet sarapan lagi ya pagi ini," terka Alfi yang sukses membuat Luna untuk kesekian kalinya terkejut sekaligus heran.

"Kok kamu tahu..."

Alfi tersenyum. Tangannya lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu kotak susu coklat. Masih dengan bibir yang tersungging, Alfi menyodorkan sekotak susu itu ke arah Luna.

"Nih buat tim medis yang selalu enggak sempet sarapan."

Luna mengerutkan kening, bingung. Ia heran kenapa Alfi bisa sebaik ini dengan dirinya padahal keduanya baru saja bertemu dan berkenalan kemarin. Luna menggeleng dengan kaku, menolak pemberian Alfi karena merasa tak enak hati.

"Ambil aja, Na."

Lagi-lagi Luna menggeleng, masih dengan tatapan yang bingung.

"Apa perlu aku arahkan tanganmu supaya kamu mau nerima pemberianku?"

Luna cepat-cepat menggeleng. Membiarkan Alfi memegang tangannya sama saja membiarkan perasaannya yang akan semakin berkecamuk. Terlebih sekarang, jantung Luna sudah berdebar tak karuan karena kelakuan Alfi.

"Nah, kalau gitu, ambil ini," ucap Alfi dengan terus menyodorkan susu kotak yang ia pegang.

Luna dengan canggung menerima pemberian Alfi. "Makasih banyak, Al."

"Sama-sama, Na."

"Harus kubalas dengan apa, Al?"

Alfi mengerutkan kening. Laki-laki itu lalu menggeleng. "Enggak perlu, Na."

"Harus kubalas dengan apa, Al?"

"Kalau gitu, beri tahu aku kalau kamu udah siap foto. Nanti kita foto bareng, ya!"

Selesai berucap, Alfi mengusap pelan puncak kepala Luna. Tanpa mengucapkan apa-apa, Alfi membalikkan badan dan bergegas menjauh dari tempat Luna berdiri, menuju ke sisi timur lapangan, dan mulai kembali melakukan tugasnya. Luna memandang Alfi dengan tatapan nanar, hanya dalam dua kali pertemuan, Alfi sukses mengacak-acak hatinya dan membuat perasaan Luna semakin tidak karuan.

Apel pagi telah selesai dilaksanakan. Panitia lalu mengarahkan peserta ospek agar menuju ke aula untuk sesi pemberian materi. Peserta dengan tertib menurut dan mulai menuju ke aula tanpa tergesa-gesa.

Luna menggandeng salah satu peserta ospek yang melaporkan kepada Luna bahwa dirinya merasa lemas. Luna lalu membawa gadis tersebut ke lantai dua tepatnya di ruang medis agar segera bisa menangani gadis tersebut. Luna baru saja masuk ke dalam ruangan dengan menggenggam tangan gadis yang sakit ketika tiba-tiba matanya menangkap sosok Alfi sedang duduk di salah satu kursi kosong dan menatap jendela.

Luna mengarahkan pandangan ke sekitar ruangan. Ia mengerutkan kening karena matanya sama sekali tidak menjumpai petugas medis yang berjaga di ruangan padahal di dalam sudah ada tiga orang sakit, tidak termasuk Alfi, yang kelihatannya belum ditangani. Menelan ludah, Luna mengarahkan gadis yang ia gandeng agar menuju ke matras sementara Luna mengambil kotak P3K di ujung ruangan.

Alfi yang sejak tadi masih asyik menatap jendela sama sekali tak menyadari keberadaan Luna. Pun Luna tak peduli karena sekarang yang harus ia lakukan adalah mengobati orang-orang yang sakit. Setelah mengambil kotak P3K, Luna bergegas menghampiri gadis yang tadi merasa pusing.

Begitu Luna mendekat, gadis itu berkata, "Aku enggak perlu obat, Kak."

Luna mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Aku cuma kecapekan aja, Kak."

"Kalau gitu, mau madu?" tawar Luna sembari menyodorkan satu saset madu kecil.

Gadis itu tersenyum, lalu mengangguk. "Makasih, Kak."

Luna lalu beralih ke pasien berikutnya. Seorang mahasiswa baru yang sedang tidur di atas matras. Luna bimbang, ingin membangunkan takut menganggu, tapi di sisi lain Luna takut jika mahasiswa ini sebenarnya membutuhkan obat. Mendesah, Luna akhirnya beralih ke pasien terakhir, seorang gadis berambut panjang.

"Hai, aku Luna," sapa Luna berusaha seramah mungkin.

"Luna!"

Alfi yang baru saja mendengar nama Luna disebut seketika antusias. Ia langsung memanggil gadis itu tak peduli meski di ruangan medis ada seorang pasien yang sedang tidur. Luna membelalakkan mata begitu mendengar namanya dipanggil. Seketika ia menatap Alfi yang kala itu juga sedang memandangnya dengan senyuman lebar.

"Ssstttt!" Luna memberi kode dengan mengarahkan telunjuk di depan bibir dan hidungnya, tanda bahwa Alfi harus diam.

Alfi terkekeh, ia lalu menutup mulutnya masih dengan memandangi Luna. Luna kembali fokus dengan pasien di depannya. Ia melihat tanda pengenal yang masih dikenakan oleh gadis itu. Azzi, begitu nama yang tertulis di tanda pengenal.

"Nama kamu, Azzi?" tanya Luna.

Azzi mengangguk sembari tersenyum. "Aku udah minum obat kok, Kak."

"Kalau boleh tahu, siapa yang tanganin kamu waktu sakit?"

"Tadi Kak Bobby yang bawa aku ke sini, terus Kak Bobby langsung keluar ruangam karena ia harus jaga lagi di lapangan. Sampai di sini ada Kak Rani. Kak Rani baru mau nanganin aku tapi tiba-tiba dia sakit perut dan Kak Rani bilang, kalau butuh obat ambil aja sendiri di kotak P3K. Sampai sekarang, Kak Rani belum balik."

Luna geleng-geleng kepala sembari menepuk jidatnya. Rani ini terlalu semena-mena. Ia bahkan tidak mengabarkan kepada petugas medis yang lain agar sementara menjaga ruangan selagi Rani di kamar mandi.

"Kalau laki-laki yang tidur itu, kamu tahu dia udah ditanganin atau belum?"

"Dia dateng setelah aku, dianter juga sama Kak Bobby. Aku tadi udah tawarin obat ke dia tapi dia bilang yang dia butuhin cuma tidur, bukan obat," jawab Azzi polos.

Luna tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau panitia yang itu, kamu tahu dia udah ditanganin atau belum?" kini Luna menunjuk dan mengarahkan pandangan ke arah Alfi yang ternyata saat ini masih menatap Luna dengan mata berbinar.

Luna buru-buru mengalihkan pandangan begitu mata mereka saling bertemu. Semburat merah muncul di pipi Luna. Luna merasa tak nyaman dan kini ia bingung harus melakukan apa.

"Maaf, Kak, aku enggak tahu. Dia dateng sendiri, enggak diantar siapa-siapa."

Luna mengangguk begitu mendengar jawaban Azzi. "Kalau kamu butuh apa-apa lagi, bisa langsung panggil aku ya," ucap Luna lalu segera berlalu.

Luna bimbang mau berjalan ke arah mana. Ia masih merasa Alfi menatapnya dan itu membuat Luna semakin tidak ingin menghampiri Alfi. Menghembuskan napas panjang, Luna akhirnya berjalan keluar ruangan. Ia akan berjaga sementara menggantikan Rani, tapi tidak di dalam.

Luna berdiri di depan pintu dengan perasaan berkecamuk. Ia bertanya-tanya kenapa juga Alfi sejak tadi mengamatinya. Luna lalu memandangi dirinya sendiri, mencoba membenahi dan merapikan seragamnya meski ia yakin tak ada yang salah dengan penampilannya.

"Luna."

Jantung Luna seakan hampir lepas begitu mendengar namanya disebut oleh suara yang tak asing, Alfi. Luna menoleh, mendapati Alfi yang kini sudah berada di sampingnya. Alfi tersenyum sementara Luna hanya bisa menatap Alfi dengan bingung.

"Kenapa?" tanya Luna.

"Kamu enggak mau obatin aku?"

Luna menyerngit. "Kamu sakit?"

Alfi menunjuk luka di kakinya. "Perbannya perlu diganti, Na."

"Oh."

"Kalau gitu, boleh minta tolong gantikan perbanku?"

Luna mengangguk. Ia berusaha senormal mungkin menjawab semua pertanyaan Alfi walau sebenarnya, jantung Luna sudah berdebar tak karuan sejak ia mendapati bahwa Alfi terus menatapnya tadi. Keduanya lalu beriringan masuk ke dalam ruang medis. Alfi duduk di bangku dekat jendela dengan kaki yang ia luruskan sementara Luna duduk bersimpuh di lantai samping kiri Alfi untuk mengganti perban Alfi.

"Maaf kalau aku merepotkan ya, Na," ucap Alfi begitu Luna mulai melepas kassa yang membalut kakinya.

Luna menggeleng. "Sama sekali enggak."

"Susu kotaknya sudah diminum, Na?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Aku belum sempat."

"Sempatkan ya, Na."

Luna mengangguk. "Nanti. Ngomong-ngomong, ada yang salah sama aku ya?"

"Kenapa bertanya begitu, Na?"

"Kenapa tadi kamu terus menatapku sebegitunya, Al?"

"Kamu terlihat mengagumkan, Na."

Hampir saja Luna menjatuhkan kassa yang telah ia pegang akibat ucapan Alfi. Alfi mengucapkannya dengan begitu santai sementara Luna yang mendengarkan malah kebingungan dan salah tingkah sendiri dibuatnya.

"Kamu sudah siap ambil foto, Na?"

Pertanyaan Alfi barusan sukses membuat mata Luna melebar. Dia kira, permintaan Alfi tadi hanya sekedar main-main tapi ternyata sepertinya Alfi serius. Ia ingin mengajak Luna untuk mengambil foto berdua, entah apa tujuannya.

"Kalau aku bilang aku belum siap, gimana?"

"Enggakpapa, Na. Aku tunggu sampai kamu siap."

Luna menghembuskan napas panjang. Ia telah selesai mengganti perban di kaki Alfi. Ia segera bangun dan duduk di kursi samping Alfi. Hatinya dipenuhi perasaan tidak enak karena ia tak bisa membalas kebaikan Alfi dua hari ini. Luna memang sengaja bertanya harus membalas kebaikan Alfi dengan cara apa tapi Luna sendiri tak menyangka jika Alfi malah meminta untuk foto bersama.

"Aku siap sekarang, Al," ucap Luna takut-takut setelah beberapa saat keduanya hening.

Alfi menatap Luna dengan mata berbinar. "Kamu yakin, Na?"

Luna mengangguk. Niat Luna hanya ingin membalas kebaikan Alfi. Luna tak berniat apapun selain itu.

"Kalau gitu, kita foto di luar ruang medis ya, Na."

Alfi beranjak dengan begitu bersemangat. Ia lalu menepuk bahu Luna dan segera menuju ke luar. Luna hanya mengikuti Alfi dengan perasaan berkecamuk, antara malu, bingung, dan canggung. Begitu sampai di depan ruang medis, entah suatu kebetulan atau tidak, Rani ternyata telah menyelesaikan urusannya di kamar mandi dan sedang akan menuju ke ruang medis.

Melihat Rani, Alfi menjentikkan jarinya. "Ran, sini!"

Rani mempercepat jalannya, ia menatap Luna dan Alfi bergantian kemudian mengerutkan kening. "Kenapa, Al?"

"Minta tolong fotoin kita, ya," ujar Alfi sembari menyodorkan kamera yang sejak tadi ia kalungkan di leher.

"Ada acara apa kok foto-foto?" tanya Rani sembari mengambil kamera dari tangan Alfi.

"Luna sebentar lagi bakal jadi orang terkenal. Sebelum itu terjadi, enggak ada salahnya kan minta foto dulu sama Luna," balas Alfi sembari terkekeh.

Alfi lalu memosisikan diri untuk memulai foto. Sementara Luna hanya berdiri kaku di samping Alfi karena tak tahu harus berpose bagaimana. Melihat Luna yang canggung, Alfi sengaja merapatkan badan ke arah Luna dan membuat Luna makin salah tingkah.

Seakan belum cukup, Alfi bahkan dengan sengaja meletakkan tangan kirinya di atas bahu kanan Luna dan mulai berpose. Luna tersenyum kecil, Alfi tersenyum lebar.

Foto telah selesai diambil. Rani menyodorkan kembali kamera kepada Alfi dan sang pemilik kamera mengucapkan terimakasih. Tak bertanya macam-macam, Rani segera memasuki ruang medis, meninggalkan Luna dan Alfi di luar ruangan.

"Fotonya bagus, Na," ucap Alfi sembari menunjukkan layar kameranya ke arah Luna.

Luna tersenyum simpul. Entah mengapa, dalam hati, ia merasa senang begitu tadi Alfi merapatkan badan ke arahnya seolah-olah mereka telah kenal dekat. Luna yang semula tak mau berfoto sekarang malah senang memandangi foto dirinya dengan Alfi.

"Terima kasih, Na."

"Terima kasih untuk apa?"

"Foto."

"Terima kasih juga, Al, untuk sekotak susunya."

"Tadi pagi, kamu berangkat sendiri, Na?"

Luna menggeleng, sembari mengerutkan kening, heran kenapa Alfi tiba-tiba menanyakan hal itu. "Aku naik taksi, Al."

"Kalau gitu, hari ini, biarkan aku yang jadi supir taksimu ya, Na."