Chereads / Silam / Chapter 8 - 8 :: Luka Yang Belum Sepenuhnya Sembuh

Chapter 8 - 8 :: Luka Yang Belum Sepenuhnya Sembuh

Luna menoleh, refleks ia menelan ludah begitu mendapati Alfi yang sedang berjalan cepat menghampirinya.

'Kamu mau apa lagi, Al?'

"Na, tunggu sebentar."

"Ada perlu apa, Al?"

Alfi menggeleng. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kelihatannya, Alfi juga bingung harus berkata apa.

"Kalau udah enggak ada perlu, aku masuk ya, Al," pamit Luna lalu segera membalikkan badan.

Tepat saat Luna akan melangkah, Alfi sudah lebih dulu menahan pergelangan tangan Luna. Mau tak mau, Luna menoleh, menatap Alfi penuh tanya.

"Al, ada perlu apa?"

"Aku cuma mau ketemu kamu, Na."

"Kita udah ketemu tadi di kampus, Al."

"Aku boleh mampir, Na?"

Luna menengok sebentar ke arah rumahnya. Rasanya enggan menerima kehadiran Alfi. Akan tetapi, Luna bukan orang yang pandai menolak dan memberikan alasan. Luna merasa tak memiliki cukup alasan yang bagus untuk menolak Alfi.

Karena tak segera mendengar jawaban dari Luna, Alfi menambahkan, "Sebentar saja kok, Na."

Luna mengangguk pasrah. Ia masuk ke dalam rumahnya lebih dulu, disusul dengan Alfi di belakangnya. Luna segera mempersilakan Alfi masuk setelah ia membuka pintu rumah yang terkunci.

Luna membatin. 'Aneh, mama kemana ya? Enggak biasanya jam segini mama pergi.'

"Mau minum apa, Al?"

"Enggak perlu repot-repot, Na."

"Mamaku selalu bilang kalau aku harus buatkan minum untuk tamu yang datang."

"Enggak perlu, Na. Lagipula, aku juga bukan tamu penting 'kan?"

Kamu orang penting dalam hidupku, Al. Dulu.

"Aku buatkan kopi hitam kesukaanmu ya, Al. Tunggu sebentar."

"Ternyata, kamu masih ingat ya, Na."

Luna diam, tak berkomentar.

'Aku ingat, Al. Minuman kesukaanmu selain kopi hitam adalah air mineral. Aku ingat kalau kamu tidak suka teh karena kamu pernah bermasalah dengan perutmu setelah minum teh buatan ibumu.'

'Aku tahu saat itu bukan tehnya yang membuat perutmu sakit tapi karena sejak awal sebelum kamu minum teh itu, kamu makan makanan pedas. Aku tahu perutmu tak pernah bisa menerima makanan pedas meski lidahmu selalu menginginkan rasa itu. Aku ingat semua, Al. Cerita-cerita seputar dirimu yang kamu lontarkan semuanya masih tersusun rapi dalam memoriku. Meski pada akhirnya hatiku berantakan setelah kepergianmu, tapi nyatanya tak bisa dipungkiri kalau ingatanku masih saja seputar kamu, Al.'

Selesai membuatkan kopi, Luna segera menyajikannya kepada Alfi. Tak lupa Luna juga meletakkan secamgkir air mineral untuk dirinya sendiri. Ia lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Alfi.

"Silahkan diminum, Al."

"Makasih ya, Na."

"Jadi sebenarnya, apa tujuan kamu ke sini, Al?"

"Aku cuma mau ngobrol sama kamu, Na."

Luna manggut-manggut. "Ngobrolin apa? "

"Rasanya, aku enggak salah tujuan, Na."

"Maksud kamu, Al?"

"Aku memilih liburan di Jogja dan rasanya itu pilihan yang tepat."

"Karena?"

"Karena ada kamu di sini, Na."

Luna segera memalingkan wajah. Entah Alfi berbohong atau tidak, tapi tak bisa dipungkiri jika jantung Luna jadi berdebar tak karuan.

"Ada perlu apa kamu di kampus tadi, Al?" Luna berusaha secepat mungkin mengalihkan topik. Ia tak ingin membahas lebih lanjut mengenai pembicaraan Alfi tadi. Luna tak akan membiarkan dirinya terbawa perasaan untuk yang kedua kalinya dengan orang yang sama.

"Aku ada perlu sama beberapa teman di kampus, Na."

"Oh, gitu ..."

"Rasanya, aku enggak mungkin kuliah lagi di kota ini, Na. Aku enggak bisa ngurus bisnis dan kuliah dalam waktu yang bersamaan di tempat yang beda. Ayahku juga udah minta aku buat mengudnurkan diri. Mungkin, kalau harus kuliah lagi, aku akan ambil kuliah di kota tempat tinggalku, Semarang."

"Bagus kalau gitu, Al."

"Bagus apanya, Na? Bagus karena aku nggak bisa lagi kuliah di kota ini? Kamu senang, Na?"

"Bagus karena pada akhirnya kamu bisa lebih fokus dengan bisnismu."

'Kalau saja berita yang kuterima ini datang ketika hubungan kita masih sedekat dulu, maka aku rasa ini adalah berita paling buruk yang pernah aku dengar, Al. Mungkin terdengar berlebihan, tapi nyatanya berada di dekatmu memang berhasil membuatku berada di zona nyaman dan aku enggan bergerak barang satu senti saja, dulu. Aku yang dulu sudah terbiasa melakukan segalanya bersamamu, Al. Entah itu mengerjakan tugas atau hanya berbincang ringan seputar masalah kuliah.'

'Sekarang, setelah kepergianmu yang tiba-tiba, aku rasa, ini tetap saja menjadi berita buruk karena sedihnya, aku masih belum bisa melupakanmu sepenuhnya setelah kepergianmu yang tiba-tiba. Tapi dalam posisi ini, rasanya aku akan memilih untuk tidak menjadi manusia bodoh, dengan berusaha keras menganggap bahwa ini adalah berita bagus karena itu artinya, aku enggak bisa ketemu kamu lagi di kota ini.'

'Aku memang telah berbohong, Al. Padamu dan pada diriku sendiri. Akan tetapi, rasanya begitu berat dan menyakitkan kalau aku harus berkali-kali bertemu denganmu tapi kamu bersikap acuh dan seolah tak mengenalku seperti apa yang kamu lakukan dulu, Al. Mungkin, jauh dari kamu menjadi salah satu cara agar sakit yang dulu kurasakan tak lagi menyerangku, meski nyatanya, tak bisa dipungkiri bahwa aku masih sering merindukanmu, Al.'

"Na...," panggil Alfi yang membuyarkan pikiran Luna.

Luna tersadar, "Eh, ada apa, Al?"

"Mikirin apa, Na?"

Luna menggeleng. "Enggak ada." Jelas sekali ia berbohong.

"Orang tua kamu, kemana, Na?"

"Papa kerja, mama enggak tahu kemana. Mama juga belum kabarin apa-apa ke aku. Mungkin, lagi ada beberapa urusan sama temannya."

"Oh..." Alfi manggut-manggut. "Mau jalan-jalan, Na?"

Luna seketika menatap Alfi penuh tanda tanya. Heran, kenapa Alfi bisa sesantai itu mengajak Luna sementara jantung Luna sudah berpacu tak karuan. Terlebih, ajakan Alfi barusan terkesan sangat tiba-tiba dan tidak direncanakan.

Luna menggeleng, menolak ajakan Alfi. Ia lalu mengambil cangkir di depannya dengan gugup. Luna berusaha menutupi rasa canggungnya dengan meneguk air mineral.

"Kamu sibuk, Na?"

"Ada hal yang harus kukerjakan, Al," balas Luna setelah selesai minum.

"Banyak?"

"Lumayan."

"Kalau gitu, boleh kubantu, Na?"

Luna lagi-lagi menggeleng.

"Na, apa aku udah nggak ada kesempatan untuk memperbaiki?" Alfi bertanya, sorot matanya tajam menatap Luna yang tengah bingung dengan pertanyaan Alfi.

"Apanya yang harus diperbaiki, Na?"

"Hubungan kita."

Luna diam, enggan berkomentar. "Hubungan kita baik-baik saja, Al. Akan dan tetap baik-baik saja."

'Tapi aku enggak bisa berbohong kalau perasaan dan hatiku enggak sebaik itu, Al.'

"Semoga ya, Na."

Luna menghela napas panjang. Ia baru menghabiskan waktu beberapa menit dengan Alfi tapi rasanya ia sudah tak nyaman dan ingin mengakhiri semua ini. Dulu, Luna selalu senang dan begitu antusias ketika akan berjumpa dengan Alfi tapi kini, semua sudah berubah.

Tak bisa dipungkiri, memori seputar Alfi masih sering membayang-bayangi Luna dan membuat Luna merindukan sosok Alfi. Akan tetapi, bukannya senang, pertemuan dirinya dengan Alfi beberapa waktu terakhir justru membuat Luna tak nyaman karena adanya tembok kecanggungan antara dirinya dengan Alfi setelah kepergian Alfi yang tiba-tiba dan menyisakan banyak pertanyaan yang hingga kini tak kunjung mendapat jawaban. Hubungan yang merenggang, kepergian tanpa alasan, serta pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban adalah sebab kenapa Luna tak lagi merasa nyaman dengan pertemuannya bersama Alfi.

"Al..."

"Na..."

Keduanya saling memanggil secara bersamaan. Luna segera memalingkan wajah, sementara Alfi menggaruk tengkuk.

"Kamu dulu aja, Al."

Alfi mengangguk. "Aku mau pamit pulang, Na, ada beberapa hal yang harus aku lakukan," ujar Alfi dengan memegang ponselnya.

Bisa ditebak, Alfi baru saja mendapat pesan yang entah dari siapa dan membuatnya segera mengakhiri pertemuannya dengan Luna. Luna mengangguk sebagai respons.

"Hati-hati, Al."

"Kamu tadi mau bicara apa, Na?"

Luna menggeleng. "Bukan sesuatu yang penting, Al.���

'Maaf, Al, lagi-lagi aku harus berbohong. '

Alfi beranjak dari tempat duduk, ia menatap Luna sejenak sembari melambaikan tangan. "Lain kali, kalau ada waktu, kita jalan-jalan ya, Na."

Sebelum Luna memberikan jawaban, Alfi sudah membalikkan badan dan keluar dari rumah Luna. Menyisakan Luna yang masih memandangi punggung Alfi yang sudah semakin jauh dari tempatnya berdiri.

🎀🎀🎀

Esok harinya, Luna berangkat dua jam lebih awal sebelum waktu kuliahnya di mulai. Hal ini ia lakukan karena perintah dari Arrel. Arrel bilang, ada beberapa hal yang masih harus Arrel ajarkan seputar pengambilan foto kepada Luna.

Luna telah sampai di aula tepat waktu seperti yang diminta Arrel. Tak sampai dua menit, Arrel datang dengan kamera yang dikalungkan di leher. Arrel melempar senyum begitu melihat Luna yang telah lebih dulu sampai di tempat.

"Udah lama, Na?"

"Baru aja, Kak."

"Rasanya, kamu enggak perlu panggil aku dengan sebutan 'Kak'. Lagipula, kita cuma beda satu tahun, Na."

"Rasanya aneh karena teman-teman juga manggil dengan sebutan 'Kak'."

Arrel mulai memainkan kameranya. "Memangnya kamu harus sama kayak teman-temanmu?"

"Kalau aku panggil Kak Arrel tanpa sebutan 'Kak', nanti yang ada orang mikirnya kemana-mana."

"Terus apa masalahnya, Na? Yang kemana-mana kan pikiran orang lain."

"Sudahlah, Kak, aku ini enggak pandai berdebat. Kalau kakak mau cari lawan debat yang seimbang, bukan aku orangnya."

Arrel terkekeh. "Aku enggak mau berdebat kok, Na. Kalau gitu langsung mulai latihan aja, ya."

Arrel lalu mulai memberikan penjelasan seputar dokumentasi kepada Luna. Luna mendengarkan dengan seksama. Sesekali, Arrel memberi contoh dengan membidik objek di aula dan Luna mengikuti apa yang Arrel lakukan. Tak lupa, Arrel juga menjelaskan ulang sekilas tentang apa yang telah dijelaskannya kemarin.

Kurang lebih tiga puluh menit keduanya sibuk dengan kamera. Arrel merasa sudah cukup untuk menjelaskan. Arrel lalu duduk, disusul dengan Luna di sebelahnya. Arrel memasukkan kameranya ke dalam tas khusus kemudian menyimpannya di dalam ransel yang berisi beberapa buku kuliah.

"Sudah cukup ya, Na."

Luna mengangguk. "Makasi banyak, Kak."

Arrel hanya tersenyum. Tangannya masih sibuk dengan isi di dalam ranselnya. Tiba-tiba, Arrel mengeluarkan sebotol minuman dari dalam tasnya, lalu menyodorkan ke arah Luna.

"Buat kamu, anggap aja itu ucapan terima kasih karena kamu mau gabung sebagai anggota divisi dokumentasi di saat-saat genting kayak gini."

Luna menatap Arrel dengan bingung, tapi Arrel malah semakin menyodorkan minuman itu tepat di depan wajah Luna sembari sesekali menggoyangkan botolnya.

"Ambil, Na."

Luna mengambil minuman itu dengan tak enak hati. "Harusnya aku yang banyak berterimakasih ke Kak Arrel."

"Nggak cuma kamu kok, Na. Anggota divisi dokumentasi lain yang belum cakap soal kamera juga aku ajari. Ini udah tugasku, Na."

Luna mengangguk. "Aku takut, Kak."

Arrel menatap Luna dengan wajah datar. "Takut ... Kenapa, Na?"

"Aku takut kalau hasil dokumentasi ku nantinya enggak maksimal."

Arrel tersenyum. Ia lalu mengusap puncak rambut Luna sekilas. Luna yang cukup kaget dengan tingkah Arrel membelalakkan mata.

Arrel kemudian beranjak dari tempat duduknya, seolah tak peduli dengan kekagetan Luna. "Na, dengarkan ya, nantinya saat acara sudah dilaksanakan, kamu enggak bekerja sendiri, Na. Ada Rani dan ada anak dokumentasi yang lain."

"Tapi tetap saja, Kak, rasanya——"

Arrel memotong ucapan Luna, "Aku sudah dua kali berada dalam divisi yang sama dengan Rani. Kamu tahu, Hasil kerja Rani juga enggak selalu maksimal kok. Kadangkala, Rani juga melakukan kesalahan dengan hasil fotonya yang enggak fokus atau bahkan mungkin pencahayannya kurang. Tapi itu sama sekali enggak masalah, Na, kekurangan-kekurangan itu tertutup sama hasil foto anggota dokumentasi lain yang cukup bagus. Kita itu satu tim, Na, saling melengkapi, bukan bekerja sendiri-sendiri."

Luna kini menatap Arrel dengan senyuman kecil. Rasanya lega mendengar jawaban Arrel yang menenangkan. Luna pikir, Arrel adalah tipikal orang yang perfeksionis tapi nyatanya ia salah. Arrel memaklumi kekurangan hasil kerja anggota-anggotanya karena ia sadar bahwa mereka masih sama-sama belajar.

"Sekali lagi, makasih ya, Kak," ucap Luna yang disambut dengan anggukan dari Arrel.

"Selama ini, kamu pasti sudah ikut beberapa acara kepanitiaan kan? Kalau enggak salah, kamu masuk ke divisi medis saat penerimaan mahasiswa baru tahun kemarin ya?"

Luna mengangguk. 'Iya, Kak, saat itu, di semester tiga, adalah kepanitiaan pertama yang aku ikuti selama kuliah. Saat itu juga awal mula aku bertemu dengan Alfi. Permulaan yang baik tapi tidak memiliki akhir yang menyenangkan.'

"Kamu senang masuk di divisi medis, Na? "

"Iya, Kak, aku senang mengobati orang yang sakit. Aku jadi merasa aku berguna dan cukup dibutuhkan."

"Kalau kamu sibuk mengobati orang yang sakit, lalu siapa yang akan mengobati lukamu, Na?"

Luna menatap Arrel dengan mata terbelalak. Ia kaget sekaligus bingung dengan pertanyaan dari Arrel barusan.

"Kamu bisa bohongin semua orang tapi kamu nggak bisa bohongin diri kamu sendiri dan juga aku, Na."

Luna tergagap, "M-maksud, Kakak?"

"Mata kamu memancarkan kesedihan yang cukup dalam, Na. Seolah hatimu enggak cuma tergores, tapi sudah remuk redam karena seseorang."

"Kak Arrel bisa——"

"Aku enggak bisa, Na, aku hanya menebak dari sorot matamu. Bibirmu emang tersenyum, tapi mata kamu enggak. Mendengar responsmu barusan, berarti apa yang kukatakan itu benar ya, Na?"

Luna diam. Tak tahu harus memberikan respons seperti apa. Ia benar-benar bingung dan satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanya menggigit bibir.

"Sebentar lagi jam perkuliahanku dimulai, Na. Maaf soal ucapan lancangku tadi ya. Aku duluan, jangan lupa diminum ya, Na."