Luna menepuk kepalanya begitu ia tersadar bahwa sejak tadi lamunannya terus tertuju pada masa lalunya dengan Alfi. Luna menghembuskan napas panjang. Dirinya sekarang sedang mengikuti perkuliahan tetapi ia merasa tak bisa fokus hanya karena dua hari kemarin ia berjumpa dengan Alfi.
Luna melirik jam tangan yang ia kenakan dan ternyata tiga menit lagi perkuliahan akan berakhir. Bersiap, Luna mulai memasukkan buku-bukunya begitu dosen sudah mengucapkan salam penutup. Luna lalu berjalan keluar kelas, ia berencana untuk pulang karena memang tidak ada kegiatan apapun hari ini.
Luna baru saja sampai di luar gedung fakultas ketika tiba-tiba matanya menangkap mobil Alfi yang melintas di depannya. Luna buru-buru melangkah mundur. Alfi memang tidak berhenti di depannya tetapi Luna takut jika Alfi sampai melihat dirinya dan malah mengajaknya berbincang-bincang.
Bagi Luna, dua pertemuan kemarin sudah cukup untuk membuka luka lamanya dan meruntuhkan tembok pendiriannya. Luna tak mau lagi ada pertemuan selanjutnya. Bukan karena Luna benci Alfi, tapi karena perasaan sayang Luna dan kesadaran bahwa sampai kapanpun, ia tak pernah bisa memiliki Alfi.
Alfi pernah bilang bahwa sebagai seorang introvert, Luna pasti memiliki dunianya sendiri. Hebatnya, seorang Alfi mampu masuk ke dalam dunia Luna dan begitu Luna sudah mulai merasa nyaman, Alfi pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Sekarang, begitu Luna sudah berusaha keras melupakan Alfi, laki-laki itu datang begitu saja tanpa permisi seolah hati Luna adalah tempat yang tepat untuk singgah.
Luna tidak marah pada Alfi. Sampai saat ini, Luna hanya butuh jawaban atas semua kelakuan Alfi. Luna yang hanya menuntut jawaban dan Alfi yang selalu menghindar dan tak pernah memberi penjelasan.
Luna memberhentikan taksi yang lewat di depannya. Ia lalu segera naik dan menyebutkan tujuannya. Taksi berjalan lambat, sesekali berhenti karena kemacetan. Seperti biasa, sepanjang perjalanan, Luna memandang keluar jendela dan memperhatikan kendaraan yang saling berlomba untuk sampai tujuan. Kurang lebih limabelas menit taksi berjalan dan kini telah sampai tujuan. Luna segera menyerahkan sejumlah uang dan kini ia bergegas masuk ke dalam rumah.
Seketika jantung Luna berdetak tak karuan begitu matanya menangkap sosok Alfi yang kala itu tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Tubuh Luna melemas begitu menyadari bahwa sejauh apapun ia lari, ternyata ia tak mampu untuk menghindari Alfi. Alfi yang mendengar suara langkah mendekat segera membalikkan badan. Matanya berbinar begitu menangkap sosok Luna yang sudah berjalan ke arahnya.
"Akhirnya kamu pulang juga, Na."
"Kamu mau apa, Al?"
"Mengajakmu menonton. Aku tau kamu lagi enggak sibuk, Na."
Luna menggeleng, tanda penolakan.
"Kenapa nggak mau, Na?"
"Aku sibuk."
"Aku tahu kamu bohong, Na."
"Aku sibuk, Al."
"Kalau gitu, enggak perlu nonton. Kita makan berdua saja, gimana?"
Lagi, Luna menggeleng tanda penolakan.
"Sebentar saja, Na. Aku mohon."
"Kasih aku alasan kenapa aku harus ikut kamu, Al."
"Aku enggak mau hubungan pertemanan kita putus gitu aja, Na."
Bukannya sejak awal kamu yang membuat semuanya semakin rumit, Al?
"Hanya itu?"
"Aku ingin berbincang-bincang denganmu, Na."
"Kita sudah berbincang-bincang kemarin, Al."
"Aku mau kita ngobrol hari ini, Na."
Luna menhembuskan napas panjang, pasrah. Membiarkan dirinya terus bertemu dan berbincang-bincang dengan Alfi sama saja membiarkan hatinya harus terluka untuk yang kedua kali. Akan tetapi, sekarang Luna seakan tak punya pilihan. Luna tahu Alfi tak suka penolakan dan Luna tak punya alasan yang cukup bagus untuk menolak Alfi.
"Jadi, kamu mau, Na?"
"Aku siap-siap dulu."
Alfi tersenyum. Ia mengangguk dengan mata berbinar. Luna memasuki rumahnya dan Alfi menunggu di depan dengan memainkan ponselnya.
Tak sampai sepuluh menit, Luna sudah keluar rumah dengan pakaian santai dan tas selempang berwarna hitam, senada dengan sepatunya. Luna membiarkan rambut di atas bahunya digerai. Tak lupa, gadis itu juga mengenakan jam di tangan kirinya.
"Yuk," sambut Alfi begitu ia melihat Luna sudah siap.
Luna mengangguk. Alfi membukakan pintu mobil untuk Luna dan tanpa banyak bertanya, Luna segera masuk ke dalam. Mobil Alfi mulai bergerak dengan kecepatan sedang. Entah akan menuju kemana, Luna tak tahu dan tak peduli. Yang ada dalam pikiran Luna sekarang adalah segera menyelesaikan urusannya dengan Alfi dan kembali ke rumahnya.
"Kamu masih ingat tempat di mana kita pertama kali makan bersama, Na?"
Luna yang semula menatap jendela kini mengalihkan pandangan ke arah Alfi. Entah sengaja atau tidak, entah memiliki tujuan tertentu atau tidak, yang jelas Luna tidak nyaman dengan pertanyaan Alfi barusan. Seakan tak puas jika hanya berbincang hal-hal biasa, Alfi kini malah mengangkat topik yang secara tidak langsung membuat Luna teringat akan masa lalunya dengan Alfi dan sama saja Alfi membuka luka lama Luna yang belum sepenuhnya sembuh.
"Enggak."
"Kamu sudah lupa atau sengaja melupakan, Na?"
"Aku cuma enggak ingat, Al."
Aku ingat betul, Al. Kala itu kamu. mengajakku makan bersama di Kafe Fajar di dekat gedung kampus kita. Kamu memesan ramen dan aku memesan sushi. Pertemuan berikutnya, kita makan bersama di Kafe Alaska sembari mengerjakan tugas. Saat itu, kita sama-sama tidak memesan makanan dan hanya membeli minuman. Kamu dengan kopi hitam pekatmu dan aku dengan teh tawarku.
Pertemuan selanjutnya, kamu mengajakku makan di warung tegal setelah kamu berlatih futsal. Kita sama sama memesan nasi goreng. Katamu saat itu, kamu benar-benar merasa lelah setelah hampir setengah hari berlatih futsal untuk perlombaan antar fakultas, tapi kamu bilang, hanya dengan bertemu aku, lelahmu hilang, digantikan dengan perasaan senang.
Aku masih ingat, Al, detail semua pertemuan kita. Aku menyimpan semuanya dengan rapi di dalam memori. Bagaimana kamu datang, pun bagaimana kamu tiba-tiba pergi tanpa alasan, aku masih ingat semuanya.
"Hari ini, mau makan di Kafe Fajar? Tempat dahulu kita pertama kali bertemu?" tawar Alfi seolah-olah mengungkit hal yang telah lalu bukanlah topik yang sensitif.
Luna mengangguk. "Boleh."
Luna tak peduli Alfi mau mengajaknya kemana. Rasanya, kemanapun aku pergi, setiap sudut di kota Jogja ini mengingatkanku atas kehadiran dirimu, Al. Seakan-akan kota ini tidak mengizinkan pikiranku untuk melewatkanmu barang sedetik. Terdengar berlebihan, tapi memang begini adanya.
Alfi sedang fokus menyetir ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Alfi cukup kaget dengan dering suara ponselnya sendiri. Selain nampak terkejut, Alfi juga nampak bingung dan beberapa kali malah melirik ke arah Luna, membuat gerak-gerik yang menurut Luna mencurigakan.
"Berhenti dulu aja, Al, kalau mau angkat telepon."
Alfi menatap Luna sejenak, lalu mengangguk. "Iya, sebentar ya, Na."
Perlahan, mobil Alfi melambat dan mulai menepi. Alfi buru-buru mengambil ponsel dari sakunya dan tanpa mengucapkan apa-apa, ia keluar dari mobil begitu saja. Entah siapa dan apa yang Alfi bicarakan, tapi Luna bisa melihat Alfi agak kurang nyaman begitu memandang layar ponsel dan melihat siapa yang menelponnya.
Luna tak berkomentar apa-apa. Dia masih saja duduk diam memandang keluar jendela. Dalam hati, Luna penasaran kenapa Alfi nampak tak nyaman menerima telepon barusan.
Alfi masuk kembali ke dalam mobil setelah kurang lebih lima menit ia menelpon di luar. Wajahnya datar, bahkan lebih terlihat murung. Alfi meneguk ludahnya beberapa kali sebelum kembali menyetir mobilnya.
"Na ..."
"Kenapa, Al?"
"Aku minta maaf."
"Soal apa lagi, Al?"
"Kita..."
"Kenapa?"
"Pulang ya, Na."
"Oh, enggak jadi makan?"
"Maaf, Na."
"Enggak masalah, Al."
Aku sama sekali tidak mempermasalahkan jadi atau tidaknya kita makan bersama, Al,
tapi jujur aku ingin tahu alasan di balik semua ini.
"Sekali lagi, maaf ya, Na."
"Kalau aku boleh tahu, alasannya apa, Al? "
Alfi menggeleng. "Aku enggak bisa jawab, Na."
Luna mengangguk mengerti, lalu tersenyum simpul. "Sama kayak dulu ya, Al?"
"Maksud kamu?"
"Dari dulu sampai sekarang, kamu juga enggak bisa kasih aku penjelasan kenapa kamu tiba-tiba menghindar dan berlaku seolah kita adalah orang asing yang enggak pernah kenal."
Alfi meneguk ludahnya kuat-kuat. Giginya bergemeletuk. Tatapannya nanar ke depan.
"Enggak perlu minta maaf, Al. Pun aku enggak berhak menuntut jawaban atas semua pertanyaan ini. Ayo pulang, Al."