Latihan dengan Arrel berlangsung cukup lama. Luna cukup senang karena mendapat ilmu baru seputar fotografi seperti pencahayaan gambar, cara mengatur fokus kamera, bagaimana posisi dan sudut yang baik dalam mengambil gambar, serta masih banyak ilmu lainnya. Cara Arrel mengajarkan serta memberi contoh benar-benar jelas dan rinci, tidak terburu-buru, sehingga membuat Luna mudah dalam memahami penjelasannya.
Kurang lebih pukul dua siang, Luna baru selesai berlatih dengan Arrel. Rani sudah keluar lebih dulu dari aula satu jam yang lalu karena ia masih harus mengikuti perkuliahan, jadi mau tak mau Luna hanya bersama Arrel. Selama berlatih, mereka juga beberapa kali beristirahat dan membicarakan hal-hal umum. Luna tak lagi merasa canggung atau takut karena Arrel benar-benar tipikal orang yang supel dan pandai dalam berbicara.
"Latihan hari ini udah cukup, Na."
"Makasih banyak, Kak."
"Sama-sama. Ngomong-ngomong, kamu pulang atau masih ada kelas?"
"Pulang, Kak."
"Aku juga pulang. Kalau gitu, mau bareng, Na?"
Luna refleks menggeleng. Arrel tersenyum lalu mengangguk mengerti.
"Kalau gitu, aku duluan ya, Na. Semangat ya karena lusa kita bakal latihan lagi," ujar Arrel setelah selesai memasukkan kamera ke dalan tasnya.
"Iya, Kak. Makasih."
Arrel lalu keluar dari aula setelah melambaikan tangan pada Luna. Luna membalas lambaiannya ditambah dengan senyuman. Luna baru akan mengecek ponselnya, ketika tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya.
"Na!"
Luna menoleh, mencari sumber suara. Matanya mendapati Rani yang sepertinya baru saja datang dan berdiri di ambang pintu. Luna kembali menyimpan ponselnya dan menghampiri Rani.
"Kenapa, Ran?"
"Kamu nggak pulang bareng Arrel?"
Luna menggeleng. "Memangnya kenapa?"
"Maaf ya, Na, aku jadi nggak enak sama kamu. Gara-gara aku ajak kamu jadi panitia, waktu pulang kamu jadi mundur dan lagi aku nggak bisa nemenin kamu pulang karena sekarang aku masih kelas. Ini aku bisa keluar karena aku bilang aku izin ke kamar mandi padahal aku mau nemuin kamu."
Luna menepuk pundak Rani. "Santai aja, Ran. Kalau gitu, gih balik ke kelas, aku mau balik ke rumah."
Rani mengangguk. "Sekali lagi, maaf ya, Na. Oh iya, anak logistik baru aja kasih kabar ke aku kalau mereka udah dapet pinjaman kamera. Sementara ini kamera masih dibawa sama mereka, mungkin besok atau lusa baru dikasih ke kamu."
"Makasi, ya."
"Kalau gitu aku balik ke kelas ya, Na. Kamu hati-hati pulangnya."
Luna mengangguk. Rani bergegas kembali ke kelasnya sementara Luna bergegas menuju ke luar kampus. Luna baru saja sampai di luar gedung kampus ketika tiba-tiba matanya mendapati sosok yang tak asing sedang berdiri memainkan ponsel.
'Alfi...'
Seketika, jantung Luna berdebar tak karuan. Luna menelan ludahnya karena gugup. Kehadiran Alfi selalu saja membuat perasaannya berkecamuk.
Luna menatap sekitar. Kondisi di luar gedung cukup sepi, rasanya, jika Luna tiba-tiba berjalan melewati Alfi, Alfi pasti akan langsung melihatnya. Luna memang sedang tak ingin berurusan sengan siapapun terutama Alfi karena yang ia inginkan saat ini hanyalah segera pulang ke rumahnya. Akan tetapi, Luna juga tak mungkin hanya diam di tempat ia sekarang berdiri sembari menunggu Alfi pergi dari tempatnya.
Luna bimbang, tak tahu harus bagaimana. Ia masih mengamati Alfi yang sibuk menatap ponsel. Luna mendengus setelah sekitar dua menit berlalu, Alfi masih diam di tempatnya dan masih sibuk memandangi ponselnya.
Luna mulai bertekad memberanikan diri untuk lewat di depan Alfi senormal mungkin agar tak menarik perhatian. Ia menelan ludahnya lagi sebelum melangkahkan kakinya. Mata Luna seketika terbelalak begitu belum genap dua langkah, Alfi menyimpan ponselnya ke dalam saku dan seketika mengarahkan pandangan ke Luna.
"Luna!"
'Astaga... '
Luna kikuk, bingung harus bertingkah apa. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya tersenyum kecil.
Alfi kini berjalan menghampiri Luna. Jantung Luna berdetak semakin cepat begitu Alfi semakin dekat dengan dirinya.
"Baru pulang, Na?" tanya Alfi sembari tersenyum lebar.
Luna mengangguk.
"Kalau gitu, pulang bareng aku aja, Na."
Luna menggeleng. Ia tak ingin merepotkan siapapun dan yang pasti ia tak nyaman jika harus pulang bersama Alfi.
"Hari ini aku enggak ada acara apa-apa, Na. Sekedar mengantarmu pulang sama sekali enggak merepotkan."
"Aku pulang sendiri aja, Al. Lagipula, taksi online yang aku pesan udah datang," kata Luna yang jelas-jelas berbohong.
Entah suatu kebetulan atau semesta memang mendukung Luna berbohong, sebuah taksi melintas dengan kecepatan sedang di jalan depan gedung kampus.
"Maaf, ya, Al, tapi aku harus segera pulang. Ada beberapa hal yang harus aku selesein di rumah," pamit Luna tanpa menatap Alfi.
Alfi mengangguk dengan sedikit kecewa. "Yaudah kalau gitu, Na, hati-hati ya!" balas Alfi sembari menepuk pelan bahu Luna.
Luna segera berlalu meninggalkan Alfi setelah ia melambaikan tangan. Alfi membalas lambaiannya dan terus memandangi Luna yang perlahan mulai menjauh dari tempatnya berdiri. Luna mulai masuk ke dalam taksi setelah berbincang sebentar dengan sang sopir dan taksipun melaju, meninggalkan Alfi yang tengah menatap Luna dengan pandangan nanar.
Di dalam taksi, Luna mengeluarkan pelantang telinga dan segera memasangnya. Ia mulai menyetel lagu secara acak. Ponselnya mulai memutar salah satu lagu yang terkenal dari Kunto Aji yakni Pilu Membiru.
Akhirnya aku lihat lagi
Sederhana tanpa banyak cela
Wangimu
Berlalu
Akhirnya aku lihat lagi
Jemarimu yang bergerak bebas
Seiring
Tawamu
Lalu memori tentang Alfi mulai bergerak, memenuhi pikiran Luna, menghangatkan sekaligus menyayat hatinya yang sedingin es tapi sebenarnya selembut kapas.
💐💐💐
24 Agustus 2019
Kala itu, Luna tengah mengikuti kelas pengganti kuliah yang sempat kosong. Kelas pengganti diadakan sore hari pukul tiga hingga pukul lima. Seperti biasa, Luna duduk di bagian depan paling ujung kiri dekat pintu. Pintu ruangan yang terbuat dari kaca itu membuat Luna bisa menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang di luar ruang kelas.
Rani yang duduk di samping Luna tengah menahan kantuk karena penjelasan dari dosen yang menurutnya membosankan. Sementara Luna masih bisa mendengarkan meskipun ia juga beberapa kali memainkan pulpennya untuk mencegah kantuk. Beberapa kali, Luna juga sesekali memandang keluar kelas hanya untuk melihat siapa saja yang melintas.
Mata Luna seketika membelalak begitu melihat Alfi berjalan melewati ruangan kelasnya. Kala itu, yang terlihat hanya bagian belakang tubuh Alfi. Alfi nampak terburu-buru entah karena apa.
Kekagetannya belum sepenuhnya hilang ketika ponselnya tiba-tiba bergetar, menandakan pesan masuk. Sebelum mengecek ponsel, Luna memastikan dosen sedang tak melihat ke arahnya. Begitu ia merasa aman, barulah Luna mengeluarkan ponsel dan mulai mengeceknya.
Perasaan kantuk dan bosan Luna sekrtika hilang, digantikan dengan perasaan bahagia ketika ia mendapati bahwa ponselnya bergetar karena pesan masuk dari Alfi.
Alfi,
"Na, maaf hari ini aku nggak bisa antar kamu pulang, aku ada latihan futsal mendadak untuk turnamen yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Sepuluh menit lagi, jam perkuliahan kamu selesai kan? Aku udah pesankan taksi online buat kamu, Na. Taksinya udah nunggu di depan. Jangan lupa pakai hoodie ku yang aku titipkan di sopir ya, Na. Udara sore ini dingin."
Seketika bibir Luna tersungging. Senyuman bahagia terpancar jelas dari mimik wajahnya. Luna memang baru mengenal Alfi tapi Alfi seakan selalu punya seribu satu cara untuk membuat Luna bahagia dan Luna akui, Alfi selalu berhasil.
"Sekian penjelasan dari saya, kurang lebihnya saya mohon maaf. Selamat sore. " Dosen sudah mengucapkan kalimat penutup.
Satu persatu mahasiswa mulai keluar dari kelas, termasuk Luna yang sudah tak sabar pulang. Setelah berpamitan kepada Rani, Luna segera berjalan cepat keluar dari gedung kampus. Matanya tajam mencari taksi online yang sudah dipesan oleh Alfi dan tak butuh waktu lama, ia menemukannya di dekat pohon yang rindang.
"Pak, apa betul taksinya sudah dipesan atas nama Luna?" Luna bertanya kepada sang sopir yang kala itu tengah berdiri dengan bersandar di taksinya.
Sang sopir tersenyum ramah. "Benar, Kak. Atas nama Kak Luna?"
Luna mengangguk. Sang sopir lalu membukakan pintu untuk Luna. Begitu keduanya telah masuk ke dalam mobil, sang sopir menyerahkan sebuah tas yang terbuat dari kertas berwarna coklat.
"Sebelumnya, ini ada titipan dari seseorang, Kak. Silahkan dipakai dulu."
Luna menerima bingkisan itu dengan jantung berdebar. Sudah pasti bingkisan itu berisi hoodie milik Alfi yang sengaja ia pinjamkan untuk Luna. Terkaan Luna benar, bibirnya lagi-lagi tersungging begitu ia mengeluarkan hoodie Alfi dari dalam tas.
Aroma khas burberry seketika menguar. Aroma khas yang selalu dipakai oleh Alfi. Harum dan memberi kesan elegan.
Seakan belum cukup, Luna menemukan secarik kertas di dalam tas tadi. Ia mengeluarkan kertas tersebut. Luna mulai membaca tulisan yang tertera di atas kertas, ditulis dengan pulpen bertinta biru tua.
"Diapakai ya, Na. Nggak perlu buru-buru dikembalikan. Kamu boleh pakai hoodie ini kapan aja."
Tertanda,
Alfi.
Rasanya munafik kalau Luna tak mengakui bahwa dirinya terbawa perasaan. Hati Luna yang lembut tapi sedingin es kini perlahan luluh karena perlakuan hangat yang Alfi berikan. Luna mulai memakai hoodie milik Alfi, kebesaran memang, tapi rasanya, Luna benar-benar tak ingin melepaskan kehangatan yang Alfi berikan melalui hoodie tersebut.
💐💐💐
"Maaf, Kak, sudah sampai."
Luna terhenyak begitu tersadar dari lamunannya. Lagu dari Kunto Aji telah selesai sejak tadi tapi ia sama sekali tak sadar. Bahkan ketika taksi telah sampai di depan rumahnya, Luna masih juga. melamun meski akhirnya kembali terjaga setelah mendengar suara dari sang sopir. Luna buru-buru keluar dari dalam taksi dan menyelesaikan pembayaran.
Mata Luna sudah memerah dan perasaan Luna gelisah. Teringat akan sosok Alfi yang kini seakan sudah menjelma menjadi sosok lain yang bukan Alfi seperti yang Luna kenal membuat Luna tak nyaman. Hatinya tersayat, menyadari bahwa manusia bisa berubah secepat itu.
Taksi sudah melintas menjauh dari tempat Luna berdiri. Sementara Luna masih mematunh di depan rumah dengan air mata yang kini menitik. Kalau dulu melamunkan tentang Alfi menjadi rutinitas yang menyenangkan, kini teringat sedikit saja tentang sosok Alfi justru terasa sangat menyakitkan bagi Luna.
Luna buru-buru mengelap air matanya ketika ia akan membuka pintu gerbang. Hatinya masih terasa perih tapi Luna tak mungkin diam saja di depan rumah tanpa melakukan apa-apa. Bisa-bisa, orang berpikiran kalau Luna sudah tak waras. Pintu gerbang terbuka, bersamaan dengan sosok yang datang dengan mobil hitam dan segera menghampiri Luna yang baru akan melangkah masuk.
"Luna, tunggu!"