Chereads / Silam / Chapter 6 - 6 :: Permintaan Tolong dari Rani

Chapter 6 - 6 :: Permintaan Tolong dari Rani

Luna baru saja sampai di ruang kelas untuk mengikuti perkuliahan. Seperti biasa, Luna memilih bangku paling depan di ujung kiri dekat pintu. Entah mengapa, bagi Luna, tempat duduk yang dekat pintu merupakan tempat yang paling nyaman karena memudahkan Luna jika harus keluar masuk kelas. Luna baru saja menyiapkan bukunya ketika tiba-tiba Rani, teman sekelasnya, datang dan meletakkan tas di samping Luna.

Rani menepuk bahu Luna dan berkata, "Na, kamu ditawari masuk ke divisi dokumentasi untuk acara seminar fakultas. Minat?"

"Siapa yang menawari?"

"Aku," jawab Rani sambil terkekeh.

Tanpa banyak bertanya lagi, Luna menggeleng. Di semester lima ini, Luna memang sudah mengurangi kegiatan kepanitiannya agar bisa fokus kuliah. Luna sudah enggan berurusan dengan kehectican dunia organisasi dan kepanitiaan. Toh, perkuliahan saja sudah cukup membuat dirinya pusing.

"Ayolah, Na. Tugasmu enggak banyak kok," bujuk Rani sembari menggoyang-goyangkan lengan Luna.

Untuk yang kedua kalinya, Luna menggeleng. "Nggak mau, Ran."

"Na, tugasmu cuma ambil foto saat hari pelaksanaan. Kamu nggak perlu edit foto, mikir konten, atau buat poster karena tugasmu benar-benar cuma ambil foto saat pelaksanaan."

Luna menghembuskan napas panjang. "Aku nggak punya kamera, Ran. Lagipula, aku enggak pandai mengoperasikan kamera. Hasil jepretanku nggak akan maksimal."

"Na, ayolah aku mohon. Masalah kamera itu gampang, Na, divisi logistik pasti mau mencarikan kamera kok. Masalah bisa atau enggaknya, kamu nanti bakal diberi pelatihan awal sama penanggung jawab divisi dokumentasi."

"Kenapa harus aku, Na?"

"Aku juga bagian dari divisi dokumentasi acara seminar itu, Na. Masalahnya adalah, salah satu anggota divisi dokumentasi tiba-tiba sakit dan enggak bisa ngelakuin tugasnya di hari pelaksanaan. Aku diminta buat cari pengganti dia secepatnya. Aku rasa, kamu orang yang tepat, Na. Kamu nggak banyak bicara tapi kerjamu luar biasa. Aku udah liat bagaimana tanggung jawabmu semasa kita sama-sama mengikuti kepanitiaan di semester tiga dan empat."

Luna masih diam, tak berkomentar.

"Acara seminar bakal diadakan tiga hari lagi, Na. Makanya aku benar-benar butuh kamu saat ini. Ayolah, Na, aku mohon."

Luna menatap Rani yang saat itu tengah memohon dengan mata berkaca-kaca. Rani memang tampak sangat membutuhkannya saat ini. Pasti sulit bagi Rani untuk mencari orang pengganti di waktu yang terbilang sangat dekat dengan acara seminar. Menimang-nimang, Luna mulai berpikir tak ada salahnya membantu Rani di saat ini. Toh, Rani sudah menjelaskan jika tugasnya hanya mengambil foto disaat acara terlaksana.

"Mau ya, Na?"

Luna mengangguk perlahan dan langsung membuat bibir Rani tersungging. Mata Rani berbinar dan dengan bersemangat, Rani memeluk erat lengan Luna. Luna bisa merasakan bahwa Rani benar-benar butuh bantuan saat ini.

"Makasih, Na. Kalau gitu, selesai kuliah nanti, kita ketemu sebentar sama salah satu divisi logistik ya, karena aku udah dapet orang pengganti, jadi otomatis divisi logistik harus segera cari kamera juga."

"Kenapa enggak pakai kamera dari anggota divisi yang sakit itu, Ran?"

"Orangnya udah enggak bisa dihubungi setelah ia kasih kabar kalau ia sakit, Na. Kayaknya, dia memang harus istirahat total, jadi ponselnya sengaja enggak diaktifkan. Rasanya juga nggak sopan, Na, kalau divisi logistik dateng ke rumahnya cuma buat pinjam kamera sementara kondisi dia lagi kayak gitu."

Luna mengangguk paham. Keduanya lalu mulai menyiapkan buku-buku mereka karena dosen telah memasuki ruangan. Dosen mulai memberikan penjelasan singkat.

Luna mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas kertas. Penjelasan dosen seakan hanya masuk telinga kanan dan langsung keluar begitu saja ke telinga kiri. Luna sendiri merasakan bahwa akhir-akhir ini, setelah dirinya bertemu dengan Alfi, ia jadi terus memikirkan laki-laki itu.

Luna sudah paham bahwa sejak awal mereka bertemu, dirinya mulai nyaman dengan kehadiran Alfi. Luna juga sudah tahu bahwa Alfi adalah orang pertama yang berhasil membuat Luna jatuh sedalam-dalamnya. Akan tetapi, sayangnya Alfi bukanlah orang yang membantu Luna untuk berdiri kala ia jatuh. Luna harus melakukannya sendiri.

Luna memandangi buku catatannya yang masih kosong. Ia sama sekali tak bisa fokus dengan penjelasan yang dosen berikan. Luna bahkan berharap agar waktu cepat berlalu sehingga ia bisa cepat-cepat keluar dari ruangan ini.

Kurang lebih dua jam berlalu dengan sangat membosankan bagi Luna. Luna buru-buru mengemasi bukunya begitu dosen telah mengucapkan salam penutup dan berjalan keluar. Luna baru saja beranjak dari kursi dan akan mulai berjalan keluar ketika tiba-tiba Rani menahan pergelangan tangannya.

"Na, mau kemana?"

"Pulang."

"Kamu lupa kalau kita harus nemuin anak logistik buat cari kamera?"

Luna menepuk jidat. Rasa-rasanya kali ini Luna benar-benar kehilangan fokus bahkan sampai ke hal sepele saja ia tak ingat.

"Yaudah, yuk, Na. Kita ke lantai dua karena anak logistik lagi rapat internal di sana, buat bahas alat bahan apa aja yang belum mereka dapet buat seminar besok," ajak Rani sembari beranjak dari kursi dan segera melangkah keluar dengan menggandeng tangan Luna.

Luna hanya mengangguk dan mulai mengekori Rani. Keduanya lalu berjalan cepat menuju ke lantai dua. Sampai di lantai dua, Rani mempertajam pandangannya untuk mencari dimana tepatnya anak logistik mengadakan rapat.

"Di sana, Na!" Rani menunjuk ke salah satu sudut koridor lantai dua yang memang sedang dipenuhi oleh orang-orang yang duduk melingkar.

Tanpa menunggu jawaban Luna, Rani sudah menarik tangan Luna agar segera menuju ke arah yang ditunjuk.

"Teman-teman, maaf ganggu waktu kalian sebentar." Rani menginterupsi. "Kenalin, ini Luna, pengganti divisi dokumentasi yang sakit dan enggak bisa hadir pas seminar. Sekalian, aku mau minta tolong ke kalian buat cariin Luna kamera ya, soalnya Luna enggak punya kamera pribadi selain kamera ponsel."

Anak-anak dari divisi logistik mengangguk patuh. Tanpa banyak berkata-kata lagi, Rani berpamitan pergi setelah mengucapkan terima kasih.

"Kita ketemu Kak Arrel ya sekarang. Aku harus kenalin anggota baru divisi dokumentasi ke dia."

Keduanya lalu mulai berjalan cepat menyusuri koridor lantai dua. Menaiki tangga hingga lantai empat. Kemudian masih berjalan menyusuri lorong lantai empat.

"Kak Arrel itu, siapa?"

"Penanggung jawab divisi dokumentasi, Na."

"Dia kakak tingkat?"

Rani menggeleng. "Dia satu angkatan sama kita, tapi usia dia satu tahun di atas kita. Jadi orang-orang panggil dia pakai sebutan 'kak'. Kamu sama sekali nggak kenal dia, Na?"

Kali ini giliran Luna yang menggeleng.

"Dia salah satu aktivis kampus, Na. Garda terdepan pembela hak-hak mahasiswa. Kemampuan melobinya luar biasa. Nanti, dia juga yang bakal ajarin kamu cara pakai kamera."

Bukannya takjub, Luna kini malah merasa takut. Ia membayangkan bagaimana ngerinya seorang aktivis kampus dengan rambut gondrong, mata panda, suara lantang dan penuh kemarahan serta kalimat-kalimat sarkas yang keluar membentuk momok bagi Luna. Luna juga berpikiran bagaimana mungkin seorang aktivis yang sudah pasti sering berpartisipasi dalam acara demo mahasiswa yang dalam benak Luna terkesan menantang kini malah harus mengajarinya mengoperasikan kamera. Terlebih, Luna benar-benar awam soal hal-hal yang berhubungan dengan dokumentasi.

Luna menelan ludah. "Kamu bakal temenin aku kan, Ran?"

Rani menggeleng. "Sayangnya enggak, Na."

Luna membelalakkan mata. Ia tak mungkin bisa ditinggal oleh Rani dan hanya berdua dengan seorang aktivis kampus untuk mempelajari seputar kamera. Bisa-bisa Luna pingsan karena terlalu takut.

"Kenapa, Ran?"

"Aku antar kamu ketemu Kak Arrel. Setelah itu aku harus ke aula. Selain buat menata tempat, aku mulai harus mencari angle yang tepat buat pengambilan foto besok, Na."

"Jadi, aku sendiri?"

"Sama Kak Arrel."

Luna menghela napas panjang. Kalau tahu begini, lebih baik sejak awal ia menolak saja ketimbang harus berurusan dengan aktivis kampus yang luar biasa mengerikan. Luna jadi merasa tak nyaman, kepada Rani dan tentunya kepada Kak Arrel.

"Aku minta maaf ya, Na. Kamu tenang aja, Kak Arrel itu orang baik kok."

Luna diam, enggak berkomentar apa-apa. Tiba-tiba, Rani menunjuk ke salah satu mahasiswa yang kala itu tengah membaca buku di depan ruang kelas. Tanpa banyak berbicara, Rani menarik lengan Luna dan bergegas menghampiri mahasiswa tersebut.

"Hai, Kak Arrel, aku udah dapat anak baru buat divisi kita. Kenalin, dia Luna." Rani yang baru saja sampai di depan mahasiswa itu berucap dengan senyum lebar.

Bukannya memperkenalkan diri, Luna malah menyerngitkan dahi menatap mahasiswa di depannya. Semua momok Luna tentang bagaimana ngerinya seorang aktivis kampus hilang seketika. Alih-alih rambut gondrong dan mata panda, sosok laki-laki di depannya ini malah berambut rapi tak sampai menyentuh kerah baju dan wajahnya terlihat segar, tak ada kantung mata, bola mata coklatnya terlihat teduh dan tatapannya sama sekali tidak menakutkan.

"Hai, Na, aku Arrel. Sebelumnya, makasih ya karena udah mau bergabung ke divisi dokumentasi. Aku harap kamu gabung bukan karena paksaan dari Rani tapi karena kamu memang mau dan berniat masuk." Arrel memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan, bermaksud menjabat tangan Luna.

Luna membalas uluran tangan Arrel dengan canggung. "Hai, Kak, aku Luna."

"Tadi, Rani udah kirim pesan ke aku. Katanya, kamu butuh latihan awal buat ambil gambar ya?"

Luna hanya mengangguk.

"Kamu bawa kamera?" tanya Arrel lagi.

Kali ini, Luna menggeleng.

"Luna belum punya kamera, Kak, tapi tenang aja, anak logistik udah aku kabarin buat cari kamera secepatnya kok, " jawab Rani.

Arrel mengangguk paham. "Kalau gitu, kita latihan pakai kameraku dulu ya, Na."

Luna tergagap. "S-sekarang, Kak?"

"Iya, biar lebih cepat, kita langsung latihan di aula aja ya. Rani sama temen-temen siapin ruangan, kita latihan sekaligus cari angle yang bagus."

"Setuju, Kak!" seru Rani sembari menjentikkan jarinya. "Tadinya, Luna minta ditemenin karena kayaknya dia takut——"

Luna buru-buru menyenggol siku Rani dengan cukup keras agar temannya itu tak melanjutkan ucapannya. Bisa-bisa, Luna semakin canggung kalau sampai Arrel tahu bahwa dirinya sempat berpikiran jika Arrel adalah sosok yang mengerikan.

Arrel yang mendengar apa yang baru saja Rani katakan tersenyum. Ia sepertinya sudah paham kelanjutannya meski ia belum mendengar sepenuhnya.

"Santai aja, Na. Yuk kita langsung ke aula."

Ketiganya lalu segera menuju aula di lantai satu. Begitu sampai di sana, Rani langsung sibuk dengan beberapa anak acara, entah membicarakan apa. Sementara Luna masih berdiri di bagian belakang Aula dengan Arrel yang sedang sibuk mengutak-atik kameranya.

"Na..." panggil Arrel lembut.

Luna menoleh, tepat saat Luna menatap Arrel, Arrel langsung membidik kameranya tanpa Luna sangka-sangka. Begitu mendengar suara tombol kamera yang dipencet, Luna membelalakkan mata, menatap Arrel dengan mimik wajah bingung. Arrel terkekeh dan refleks Luna menepuk lengan Arrel dengan cukup keras.

"Kak Arrel!" pekik Luna dengan tak sadar.

Arrel masih saja terkekeh. "Nggakpapa, Na. Cantik kok."

Luna memalingkan wajah. Ia menggigit bibir begitu menyadari bahwa ia telah berlaku tak sopan kepada orang yang baru saja ia temui.

"Maaf, Kak," lirih Luna tanpa menatap Arrel.

Arrel mengangguk meski tak yakin Luna melihat. "Iya. Fotomu aku simpan ya, Na. "

"Buat apa, Kak? Lagipula aku belum siap difoto barusan. Pasti mukaku enggak karuan ya."

"Buat menuhin memori kamera. Kalau gitu, kita foto bareng kalau kamu udah siap foto, ya!"

Lune meneguk ludah begitu mendengar ucapan Arrel. Pupil matanya melebar. Seketika ia teringat akan ucapan Alfi dahulu. Ucapan saat dirinya dan Alfi baru kenal dan sama-sama menjadi panitia ospek mahasiswa baru.

'Alfi...'

"Aku bercanda kok, Na. Yuk langsung latihan."