Chereads / Silam / Chapter 3 - 3 :: Kilas Balik : Awal Pertemuan

Chapter 3 - 3 :: Kilas Balik : Awal Pertemuan

14 Agustus, 2019 (Satu tahun yang lalu)

Suasana kampus pagi ini begitu ramai. Hari ini hari kedua ospek fakultas. Hiruk pikuk suara panitia yang memerintahkan peserta untuk berbaris rapi terdengar begitu keras.

Luna berdiri di sisi kiri lapangan. Tatapannya tajam memastikan jika semua peserta dan panitia ospek baik-baik saja. Selaku salah satu panitia tim medis di kegiatan ospek fakultas, Luna memiliki kewajiban untuk menangani siapa saja yang kondisinya tidak atau kurang sehat. Luna sedang membenahi pita merah yang dipasang di lengan sebelah kiri sebagai penanda jika ia tim medis ketika tiba-tiba panitia lain memanggilnya.

"Luna, tolong kamu tangani orang yang sakit di ruang medis, matras nomor tiga ya, dia barusan jatuh di lapangan."

Luna mengangguk patuh. Dengan sigap ia mengambil kotak P3K yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia bergegas menuju ke ruang medis yang letaknya di lantai dua.

Dalam hati, Luna cukup heran. Ini masih pagi dan bahkan ospek fakultas belum dimulai karena barisan peserta saja belum rapi. Sepagi ini dan tiba-tiba sudah ada orang yang sakit karena jatuh. Terdengar agak aneh tapi Luna tidak protes karena itu sudah menjadi tugasnya untuk mengobati orang yang sakit.

Luna sampai di lantai dua dengan terengah-engah. Tak lupa, Luna mengambil satu gelas air mineral yang memang sudah disiapkan di koridor lantai dua. Air mineral itu disiapkan untuk siapa saja yang membutuhkan terutama bagi yang sedang sakit.

Luna masuk ke dalam ruangan yang sebenarnya merupakan ruang kelas yang disulap menjadi ruang medis dengan ditambahkan atribut dan barang-barang yang sekiranya dibutuhkan untuk menangani orang sakit seperti karpet, matras, bantal, dan rak yang di dalamnya berisi obat-obatan. Luna menyerngit begitu tidak melihat adanya tim medis lain di ruang ini. Ia lalu melangkah ke salah satu ranjang di paling ujung kiri dan mendapati seorang laki-laki sedang memegangi lututnya yang berdarah.

Luna terkesiap begitu melihat darah di lutut laki-laki itu sudah mengucur ke bagian tulang kering. Buru-buru ia menyodorkan air mineral ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu menerima air mineral pemberian Luna dengan sedikit kebingungan.

"Minum," titah Luna singkat.

Laki-laki itu tak banyak bertanya dan menuruti apa yang Luna perintahkan. Luna lalu mengeluarkan rivanol dari dalam kotak medis. Dengan sigap, ia menuangkan cairan itu ke atas bola kapas yang ia jepit menggunakan pinset. Bola kapas yang telah dibasahi dengan rivanol kemudian di arahkan ke arah lutut laki-laki tersebut, kemudian ke bagian-bagian lain hingga darahnya tak lagi mengucur karena telah dibersihkan.

"Kamu pasti buru-buru ke lapangan karena takut di marahin panitia ya?" terka Luna sembari membalut luka laki-laki itu dengan kassa steril.

Yang ditanya tak menjawab, justru bingung dengan pertanyaan Luna dan malah mengerutkan kening.

"Oh enggak mau jawab ya. Yaudah," tambah Luna cepat.

"Aku, Alfi...," ucap laki-laki itu yang kini gantian membuat Luna bingung.

"Aku enggak tanya namamu."

Luna kini telah selesai mengobati Alfi dan merapikan kembali kotak P3K yang tadi sempat berantakan.

"Kamu, Luna kan?"

Luna mendongak, menatap Alfi dengan dahi berkerut. "Kok kamu tahu?"

Alfi tak menjawab, ia malah mengedikkan dagu ke bagian kiri dada Luna. Luna menatap apa yang dilihat oleh Alfi dan ia baru ingat ternyata ia mengenakan papan nama yang memang wajib dipakai oleh panitia semasa ospek agar memudahkan untuk menghapal satu sama lain. Ia kini menatap Alfi dan ternyata Alfi mengenakan papan nama yang sama seperti dirinya. Alfi tidak menggunakan tanda pengenal yang terbuat dari kertas yang dilaminating dan dikalungkan di leher, berarti itu artinya, laki-laki ini bukanlah peserta ospek melainkan panitia.

Alfi tersenyum kecil begitu menyadari bahwa Luna salah sangka dan mengira dirinya adalah mahasiswa baru. "Aku bukan maba."

Luna tersenyum kecut. Ia malu bukan main. Ia tipikal orang yang jarang sekali memulai pembicaraan dengan orang yang baru dikenal dan sekali ia memulai pembicaraan, ternyata ia malah mempermalukan dirinya sendiri. Luna juga sebenarnya tak ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Akan tetapi saat ia mendapat pelatihan medis beberapa waktu yang lalu, tim medis dituntut untuk setidaknya basa-basi agar ketika mengobati orang yang sakit tidak terlalu canggung dan kaku. Tujuan lain adalah agar orang yang sakit juga bisa lebih rileks dan tidak tegang.

"Maaf," lirih Luna.

Alfi menggeleng. "Enggak masalah. Ada kurang lebih lima ratus anak seangkatan kita di fakultas hukum dan aku juga enggak hafal semuanya."

Luna menelan ludah. "Kalau gitu, udah ya, aku permisi."

Luna mengangkat kotak P3K dan mulai berjalan menjauhi Alfi. Belum genap tiga langkah, tahu-tahu Alfi sudah menahan tangan Luna dan refleks Luna berhenti kemudian menengok.

"Kenapa? Minumnya kurang?"

Alfi menggeleng. "Bukannya seharusnya ada satu anggota tim medis yang jaga ruangan ini ya?" tanya Alfi.

Luna yang tak nyaman dengan posisi tangannya yang masih dipegang oleh Alfi buru-buru melepaskannya. "Iya. Itu bukan tugasku. Itu tugas--"

"Tugas Rani kan? Tadi Rani sama Boby yang bawa aku ke sini. "

"Oh ya bagus. Mereka juga tim medis."

"Rani buru-buru keluar dari ruangan ini begitu dapet pesan entah dari siapa dan isinya apa sampai-sampai dia belum sempat obatin luka ku."

"Oh ya. Yang penting luka kamu udah aku obatin sekarang. Kalau gitu aku pamit," balas Luna sekenanya lalu segera melangkah pergi, kali ini dengan langkah yang lebih cepat agar dirinya tak lagi di tahan oleh Alfi.

Luna baru saja sampai di pintu ruang medis ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia buru-buru membuka pesan itu. Dahinya berkerut begitu ia selesai membaca pesan. Dengan canggung, ia kembali masuk ke dalam ruangan medis masih dengan menenteng kotak P3K.

"Loh, kok balik lagi?" tanya Alfi begitu melihat Luna yang melangkahkan kaki ke arahnya.

"Ada reshuffle tugas tiba-tiba. Kemarin Rani udah jaga ruangan ini dan sekarang giliranku jaga ruang medis."

Alfi terkekeh. "Oh gitu... Duduk sini, Na," ucap Alfi sembari menepuk sisi kiri matras, menawarkan agar Luna duduk di sampingnya.

Luna menggeleng tanda penolakan. Ia lalu memilih duduk di kursi dekat jendela yang letaknya lumayan jauh dari matras.

"Kok jauh-jauhan, Na?"

"Emang harus banget deketan?"

Alfi menggeleng. "Enggak juga. Ngomong-ngomong kamu enggak mau tanya kenapa aku bisa jatuh?"

"Tugasku cuma mengobati, bukan menggali informasi."

Alfi tersenyum simpul. "Memangnya kamu mau kita cuma saling diam di ruangan ini?"

Luna mengedikkan bahu. Yang jelas, saat ini Luna tak ingin memulai percakapan lebih dulu karena tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Terlebih, Luna juga tak tahu harus membicarakan apa. Ia sama sekali belum mengenal Alfi dan Luna bukan tipikal orang yang pandai mencari topik.

"Aku boleh duduk di sebelah kamu?" tanya Alfi setelah beberapa detik keduanya saling diam.

Luna yang saat itu tengah menatap jendela memalingkan perhatian, ia kini menatap kursi di sampingnya yang memang kosong. Luna mengangguk tanda memperbolehkan. Alfi beranjak dari matras dan bergegas duduk di samping Luna.

"Asal kamu darimana, Na?"

"Kota ini," jawab Luna singkat.

"Maksud kamu, dari Jogja? Kamu bukan orang rantauan?"

"Ya, bukan."

"Aku dari Semarang, Na."

"Oh..."

Keduanya lagi-lagi diam. Alfi menggaruk tengkuknya dengan canggung. Ia ingin mengajak Luna berbicara lebih jauh tapi ternyata Luna sulit untuk terbuka. Bahkan sekedar bertanya balik saja tidak Luna lakukan.

Luna kini asyik memandangi jendela. Dari jendela itu ia bisa melihat jalan raya di dekat kampus yang mana lalu lalangnya cukup ramai.

"Kamu lihat apa, Na?"

"Jalan raya, mobil, motor, kendaraan lain."

"Apa bagusnya?"

"Bagus karena mereka seakan saling berlomba supaya bisa lebih dulu sampai tujuan padahal tujuan di antara mereka belum tentu sama."

"Maksud kamu, Na?"

"Sama kayak kehidupan. Orang-orang selalu ingin menjadi nomor satu dalam segala hal. Katanya, lebih cepat lebih baik, tapi nyatanya hal itu enggak berlaku di semua kegiatan yang kita lakukan."

"Aku belum paham, Na."

"Nanti kamu juga paham. Menjadi cepat itu enggak selalu baik, Al, kadangkala kita emang harus berjalan pelan atau bahkan berhenti sejenak. Bukan karena nggak ingin segera sampai tujuan, tapi supaya kita bisa sampai tujuan dengan selamat."

"Kamu keren, Na."

Seketika pipi Luna memerah. Ucapan Alfi sukses membuatnya kaget hingga membelalakkan mata. Luna rasa apa yang ia katakan barusan bukanlah sesuatu yang hebat tapi bagi Alfi, bisa memaknai hal-hal kecil yang dilihat merupakan sesuatu yang hebat dan patut diapresiasi. Luna menelan ludahnya perlahan, berusaha menormalkan eskpresinya sendiri.

"Kamu benar, Na."

"Benar soal apa?"

"Tadi aku buru-buru ke lapangan karena harus ambil gambar suasana apel pagi, karena kurang hati-hati, makanya aku jatuh tersandung tali yang dipasang panitia sebagai batas tempat apel peserta dan panitia."

"Oh... Lain kali hati-hati."

"Nggakpapa, Na, lagipula ini cuma luka kecil dan aku juga enggak merasa kesakitan."

"Yang sakit kamu, tapi yang repot hampir semua tim medis karena harus bantu bawa kamu ke ruangan ini juga."

Alfi terkekeh. "Hitung-hitung sekalian kasih tugas ke tim medis kan."

Luna tersenyum kecil. Alfi yang sejak tadi ternyata mengamati Luna merasa senyuman Luna tidak terlihat seperti senyum pada umumnya. Luna terlihat jauh lebih manis ketika bibirnya tersungging dan wajahnya nampak bahagia.

Alfi menghembuskan napas panjang, dengan masih menatap Luna, ia akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi, ucapannya tertahan begitu mendengar suara perut yang kosong dari arah Luna. Luna membelalakkan mata dan buru-buru menutupi perutnya dengan kedua tangan.

Sebagai panitia, Luna memang harus bangun dan berangkat lebih awal untuk menyiapkan segalanya. Luna sudah bergegas secepat mungkin tapi ternyata ia tak memiliki cukup waktu untuk sarapan. Selain itu, karena terlalu sibuk mengurusi obat-obatan apa saja yang sebaiknya dia bawa selaku tim medis, ia jadi lupa membeli makanan sebagai bekal selama ospek hari ini. Alhasil, tak diragukan lagi jika pagi ini Luna sudah merasa lapar.

Bukannya tertawa, Alfi malah memandang Luna dengan prihatin. Tahu-tahu, Alfi mengeluarkan satu kotak susu coklat dari saku celananya dan menyodorkan kepada Luna. Mata Luna melebar, ia heran sekaligus kaget kenapa Alfi tiba-tiba sebaik itu padahal keduanya baru saja saling mengenal.

"Kamu lapar kan?" tanya Alfi masih dengan menyodorkan sekotak susu yang belum juga diterima oleh Luna.

Luna bergantian menatap Alfi dan susu kotak yang dipegang olehnya. Bukannya merasa senang, Luna malah merasa tak enak hati karena kebaikan Alfi yang tiba-tiba. Luna menggeleng, tanda penolakan.

Alfi tidak menyerah, ia masih saja menyodorkan sekotak susu di hadapan Luna. "Ambil aja, Na. Aku tahu kamu lapar."

Luna lagi-lagi menggeleng. Ia tak menjawab apa-apa karena bingung dan tak tahu harus bagaimana.

"Na, perut kamu kosong, harus diisi. Ini ambil aja ya." Kali ini Alfi berbicara dengan lebih tegas.

Alfi beranjak dari tempat duduknya. Kini, ia berdiri tepat di depan Luna. Alfi lalu menyondongkan badannya ke arah depan, tangan kirinya bergerak memegang tangan kanan Luna kemudian mengarahkan agar tangan Luna mengadah ke atas sehingga Alfi dapat meletakkan susu kotak tersebut di atas tangan Luna. Luna tak bisa berkutik, tindakan Alfi terlalu tiba-tiba dan membuat dirinya hanya bisa menatap Alfi dengan bingung.

Detik selanjutnya, ketika susu kotak tadi telah berpindah tangan, Alfi kembali berdiri dengan tegak.

Alfi tersenyum lebar dan berkata, "Diminum ya, Na. Tugasmu kan merawat orang sakit, jadi kamu jangan sampai sakit ya, Na."

Seolah tak cukup dengan perhatian kecil yang sukses menggetarkan hati Luna, Alfi kini mengacak pelan puncak rambut Luna dan tanpa mengucapkan apa-apa, ia bergegas pergi dari ruang medis. Meninggalkan Luna yang masih mematung memandang Alfi dengan jantung yang sudah berdebar hebat, pipi yang memanas, serta perutnya yang tadi terasa kosong dan kini malah terasa ada ribuan kupu-kupu yang meronta-ronta minta dilepaskan.