Chereads / Silam / Chapter 1 - 1 :: Pertemuan Yang Tidak Disengaja

Silam

🇮🇩Sunyhunny
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 15.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1 :: Pertemuan Yang Tidak Disengaja

"Jadi, gimana?" Alfi mengulurkan secangkir teh tawar yang pramusaji suguhkan di depannya ke arah perempuan yang kini duduk di sampingnya.

"Gimana apanya, Al?" Gadis kecil dengan rambut di atas bahu itu bertanya balik.

Alfi menatap jendela kafe yang berada tepat di depannya. "Gimana kabarmu, Luna?"

Jantung gadis yang namanya baru saja disebut berdebar. Getaran kecil yang sudah tak lama ia rasakan kini menjalar dan membuat dirinya tak nyaman. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Baik dan akan selalu baik. Semoga..." tambahnya lirih.

"Aku selalu berharap kamu baik-baik aja, Na."

'Apakah dia nggak sadar kalau justru dia satu-satunya yang bisa membuatku nggak baik-baik aja?' ucap Luna dalam hati

Luna terdiam. Kini yang terdengar hanya alunan musik yang lirih dari kafe. Keduanya kini sedang menikmati minuman masing-masing. Luna dengan teh tawar dan Al dengan kopi hitam pekat. Kondisi kafe yang tidak terlalu ramai bahkan bisa dibilang sepi membuat suasana kafe kondusif dan nyaman.

Alfi menyeruput kopinya, dilanjutkan dengan kembali membuka topik pembicaraan. "Kamu lihat boneka yang ada di dekat kasir?" Alfi menunjuk boneka kucing kecil yang entah apa tujuannya diletakkan di dekat mesin kasir.

Luna mengangguk. "Kenapa?'

"Lucu ya?"

"Iya."

"Kamu mau aku belikan?"

Luna hampir saja tersedak kalau ia tak cepat-cepat menenangkan dirinya sendiri. Diletakkannya cangkir teh yang barusan ia pegang dengan hati-hati. Luna sudah kenal cukup jauh dengan Alfi. Alfi memang pandai bercakap dan nyatanya setelah enam bulan tidak bertemu, Alfi masih tetap sama.

Tuhan ... Aku mohon kuatkan aku dan hatiku.

"Kok diam, Na?"

"Aku nggak mau," jawab Luna tegas.

Alfi mengerutkan dahi. "Kenapa, Na? Bukannya tadi kamu bilang boneka itu lucu, aku pikir kamu akan suka."

"Cuma karena aku bilang boneka itu lucu, bukan berarti aku suka. Sama halnya dengan ketika aku bilang ada laki-laki yang tampan, bukan berarti aku juga suka kan? Aku cuma memuji."

Alfi manggut-manggut mengerti. Entah benar-benar berniat membelikan atau tidak, tetapi setahu Luna, Alfi tidak pernah pelit untuk sekedar membelikan barang seperti itu. Lahir dari seorang ayah sebagai seorang pebisnis dan ibu sebagai seorang tenaga kesehatan membuat Alfi tak pernah kesulitan dalam hal materi. Berbagai fasilitasnya sudah terpenuhi tapi di mata Luna, Alfi tak pernah sedikitpun menampakkan sedikit saja kesombongan karena kemewahan yang ia terima.

Alfi yang luna kenal adalah sosok sederhana yang jarang sekali menampakkan kesombongannya. Alfi jarang makan di restoran mahal. Ia pandai memasak. Di rumah tempat dimana Alfi tinggal ketika kuliah, Al menolak asisten rumah tangga yang ayahnya tawarkan. Alfi memilih mencuci piring bekas makannya sendiri.

Alfi selalu bangun pagi. Selain untuk olahraga, Alfi juga selalu menyapu dan membersihkan rumah. Alfi pandai membuat brownis dan omelet. Luna pernah sekali mencicipi omelet buatan Alfi dan memang tak kalah dengan omelet dari restoran terkenal.

Alfi orang yang sangat ramah, pandai di segala bidang olahraga baik bulutangkis, sepakbola, basket, takraw, lari, bahkan Alfi juga belajar beladiri. Alfi senang berorganisasi. Ia pandai dalam hal berbicara di depan umum. Tingkat kepercayaan dirinya tinggi. Ia sangat kritis dan mau berusaha keras memperjuangkan hal-hak mahasiswa yang belum sepenuhnya terpenuhi.

Dengan segala kesempurnaan yang Alfi miliki, Luna benar-benar semakin terkesan dan dibuat pusing bagaimana bisa ada manusia sesempurna itu. Selain prestasi-prestasi di atas, Alfi juga satu-satunya manusia yang bisa mendekati Luna dan berhasil membuat Luna jatuh ke dalam lubang yang paling dalam. Iya, hanya Alfi seorang.

"Aku mau minta maaf, Na."

Luna menghembuskan napas panjang. Luna tidak suka topik ini. Ia tahu betul pembicaraan ini akan mengarah ke mana.

"Untuk apa? Kamu sudah minta maaf lewat pesan di sosial media yang kamu kirim ke aku tiga bulan yang lalu."

"Kamu masih ingat, Na?"

Luna mengangguk dilanjutkan dengan menyeruput teh tawar sembari menatap jendela di depannya dalam-dalam. Untuk saat ini, Luna benar-benar menghindari bertatapan mata secara langsung dengan Alfi.

"Aku rasa itu belum cukup, Na." Alfi menggeleng.

"Aku rasa sudah."

"Na, aku selalu berharap kita bisa bertemu lagi setelah masalah itu. Aku nggak nyangka kalau kita bisa bener-bener ketemu meskipun harapanku baru bisa terkabul dalam waktu yang cukup lama. Tiga bulan, Na. Tiga bulan setelah aku mengirim pesan singkat sekaligus permintaan maaf, kita nggak pernah lagi saling berkabar setelah itu."

'Delapan bulan, Al. Delapan bulan sejak kamu tiba-tiba pergi tanpa kabar setelah kamu berhasil membuat aku jatuh di lubang yang paling dalam. Ngomong-ngomong, Al, aku juga selalu berharap hal yang sama sebelum aku mengira bahwa tembok pertahanan yang kubangun sudah cukup kuat. Ternyata aku salah.'

"Aku senang bisa ngobrol lagi sama kamu, Na."

Aku juga. Sangat.

Luna diam. Membiarkan seolah-olah Alfi berbicara sendirian padahal sebenarnya ia menjawab meski bukan mulutnya yang berbicara, melainkan hatinya.

"Apa kabar dunia perkuliahan? Masih membosankan?" Alfi bertanya lagi.

Sebagai seorang yang tak pernah bisa membuat topik pembicaraan yang bagus, Luna sangat terkesan dengan Alfi yang mampu membuat segalanya menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas.

'Masih seperti biasa. Dosen yang hanya memberikan materi lalu meninggalkan setumpuk tugas, mahasiswa yang terlambat 40 menit dan berhasil membuat dosen ngomel sepanjang kelas berlangsung, tugas kelompok dan anggota yang sama sekali nggak berguna. Ah, semua semakin terasa membosankan ketika nggak ada kamu, Al.'

"Masih membosankan. Sama kayak dulu."

"Na, apa sejak tadi nggak ada satupun yang ingin kamu ceritakan panjang lebar?"

'Ada, Al! Banyak. Banyak sekali sampai-sampai aku bingung harus memulai menceritakan yang mana dulu. Akan tetapi aku sadar, Al, kita yang sekarang tak lagi seperti dulu. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya saja aku sadar bahwa pada dasarnya manusia memang akan selalu berubah, termasuk perasaanmu padaku.'

"Aku mau pulang, Al."

Alfi mengangguk, seakan menahan kecewa dari dalam dirinya. Aku tahu semua ini salahku, Na.

Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, keduanya berjalam beriringan keluar kafe. Al terus-terus memandangi gadis di samping yang tinggi badannya tak mencapai pundaknya. Benar-benar mungil dan lucu.

"Aku pulang dulu, Al, terimakasih atas traktiran teh tawarnya—"

"Ayo aku antar," potong Al cepat sebelum gadis itu beranjak perg.

Luna menggeleng. "Masih banyak taksi yang beroperasi sore ini, Al, aku nggak mau membuat sopirnya menganggur."

"Kursi kiriku juga menganggur, Na, ia sudah lama merindukan penumpangnya."

'Tuhan... apalagi ini. Aku tidak mau jatuh untuk yang kedua kalinya. Aku tidak mau merasakan sakit yang sama lagi. Ya, aku sadar, sejak awal aku memang membingungkan, selalu berharap agar bisa bertemu dengannya, tetapi ketika pada akhirnya ketika dipertemukan dalam suatu ketidaksengajaan, aku malah jadi membenci diriku sendiri karena tersadar bahwa tembok besar yang kubangun nyatanya belum benar-benar kokoh. Tembok ini masih sangat rapuh. Bahkan dengan sedikit saja perhatian darinya, tembok ini benar-benar bisa berubah menjadi puing yang tak berharga lagi. Aku mohon Tuhan, kuatkan aku untuk kali ini...'

Luna ingin menggeleng, tapi sebelum itu Alfi sudah membukakan pintu mobil dan mempersilakannya masuk. Rasa-rasanya Luna tak sopan jika menolak kebaikan ini.

"Kalau kamu nggak nyaman, kamu boleh anggap aku sopir taksi."

"Tapi kamu bukan sopir taksi," balas Luna cepat, menyanggah ucapan Alfi.

Alfi terkekeh. "Ya anggap saja, apa susahnya."

"Ya susah, nggak akan bisa." Luna mendengus kesal.

'Memangnya semudah itu mengubah pikiran orang? Kamu bukan pacarku, kalau misalkan aku anggap kamu sebagai pacarku, memangnya kamu mau? Enggak kan.'

"Aku mau kok."

Luna membelalakkan mata. "Hah, mau apa?" tanyanya kaget.

"Mau dianggap jadi sopir taksi."

"Oh..." Luna menghembuskan napas panjang. 'Astaga, hampir saja kukira ia bisa membaca pikiranku. Duh, sepertinya aku mulai nggak waras.'

Jalanan sore ini cukup lengang. Mungkin karena sudah lewat dari jam pulang kerja, makanya sepi. Hanya ada beberapa mobil yang melintas sejak tadi. Alfi berkonsentrasi menyetir, sementara Luna terus memandangi jendela di samping. Ia larut dalam pikirannya sendiri.

"Kamu masih suka nulis, Na?"

"Iya."

"Aku juga masih suka melukis. Kalau lagi nggak sibuk."

'Aku nggak tanya. Aku sudah tahu karena aku terus mencari kabarmu lewat sosial media, Al. Iya, hanya untuk memastikan kalau kamu tetap dan masih baik-baik saja setelah meninggalkanku delapan bulan tanpa kabar.'

"Oh..."

"Ayahku udah mulai pulih, Na, walaupun beliau udah nggak memungkinkan untuk ngurus bisnis, tapi aku udah bersyukur banget ayah udah boleh pulang dari rumah sakit. Beliau di rumah sekarang, hobinya ngasih makan ikan di kolam."

"Syukurlah kalau ayah udah sehat. Aku turut senang. Semoga ayah selalu sehat ke depannya."

"Terimakasih, Na. Sekarang ayah lagi ngajarin aku buat ngembangin bisnisnya. Kakakku lebih milih jadi abdi negara, makanya aku jadi satu-satunya harapan ayah buat ngelanjutin bisnis. Meskipun itu artinya aku nggak bisa kuliah dulu dalam waktu dekat ini."

"Oh gitu ya, Al. Jadi ini alasan kamu nggak pernah terlihat di kampus?"

"Iya, Na."

Matahari kini sudah sepenuhnya tenggelam. Tugasnya sebentar lagi akan digantikan oleh sang dewi malam. Suasana yang sejuk ditambah tidak adanya hiruk pikuk kepadatan jalan raya benar-benar membuat Luna merasa nyaman.

"Na, udah sampai."

"Iya."

Luna menuruni mobil, diikuti dengan Al.

"Aku masuk dulu ya," pamit Luna. "sekali lagi terimakasih."

"Untuk apa, Na?"

"Tumpangan dan teh tawarnya."

"Aku... minta maaf ya, Na."

"Maaf untuk..."

"Maaf karena sudah membuatmu marah, Na." Alfi menunjukkan wajah sesalnya. Matanya menatap Luna sayu. Seakan tidak ada semangat dalam dirinya untuk saat ini.

'Aku tidak pernah marah atas kepergianmu yang tiba-tiba, Al, tetapi aku kecewa. Kenapa saat aku benar-benar sudah dibuat nyaman oleh hadirmu, kamu malah pergi begitu saja dengan membisu? Sesalah apakah aku sampai-sampai tak ada sedikitpun penjelasan yang kuterima atas hilangnya keberadaanmu?'

'Banyak orang bilang bahwa nggak semua pertanyaan harus ada jawabannya sekarang, tapi nyatanya, aku selalu butuh jawaban dari kamu, Al. Satu hal yang selalu aku tunggu-tunggu sejak hari dimana kamu secara tiba-tiba berhenti menghubungiku, ya hanya jawabanmu, Al. Jawaban atas segala pertanyaan kenapa kamu tiba-tiba berlagak menjadi orang asing seolah-olah kita tak pernah kenal sebelumnya. Kenapa, Al? Bahkan setelah delapan bulan kepergianmu, Aku masih belum menemukan jawaban itu.'

'Semua masih menjadi misteri yang entah sampai kapan harus kutelan sendiri. Maaf kalau bagimu aku tidak sabaran, Al. Maaf kalau bagimu aku selalu egois menuntut penjelasan. Aku akui, Al, aku egois soal memilikimu, meski nyatanya kamu tak pernah benar-benar berada dalam genggaman tanganku.'

"Aku masuk dulu, Al. Selamat sore menjelang malam."

Kini, di luar rumah tepi jalan raya, hanya tersisa Alfi dengan segala penyesalannya. Alfi seakan ingin menahan, memberi sedikit penjelasan yang memang akan terasa benar-benar menyakitkan. Tangannya sudah terulur, seakan ingin mengenggam tangan gadis kecil yang dulu selalu menjadi sosok yang ia bayangkan sebelum tidur. Hatinya remuk redam begitu melihat kesedihan yang nampak jelas pada bola mata Luna. Kesedihan yang jelas-jelas datang akibat dirinya sendiri.