Chereads / Bunga Lentera / Chapter 11 - Daemon Bulan (3)

Chapter 11 - Daemon Bulan (3)

Tanpa menurunkan jariku, aku beradu tatap dengan Raja. Bekas luka pada dadanya sama seperti bekas luka yang kumiliki, satu-satunya peninggalan ibu yang tak dapat kubakar habis dari hidupku. Di dalam dada ini bukan lagi jantung milikku, melainkan Cordia golmi, jantung artifisial yang diciptakan oleh ibu delapan tahun yang lalu, tepatnya sebelum ia menghilang tanpa jejak.

Seberapa pun aku membenci jantung ini, aku terpaksa menerima bahwa aku tak dapat hidup tanpanya.

"Kenapa Baginda Raja berbohong tentang penyakit anda? Tidak tahukah karena kebohongan Baginda Raja, seekor Daemon dituduh menjadi teroris?" todongku.

"Aku memang sekarat, Eclair, adikku yang tidak tahu apa-apa," kata sang Raja yang mengambil jemariku dan dengan mudahnya mematahkan sihirku hanya dengan tatapan matanya, "Aku tak punya banyak waktu lagi, sebab jumlah detak jantungku telah mendekati batasnya."

Batas? Baru pertama kali aku mendengar hal itu.

Namun, sejak awal mula aku tidak mengerti tentang sihir yang ibu pasang kepadaku. Sebab di malam ulang tahunku yang ketigabelas, aku hanya terbangun di labotorium ibu dengan denyut jantung yang asing di dalam dadaku. Di malam itu, aku menyadari bahwa ibu yang membesarkanku telah mengubahku menjadi monster yang tidaklah hidup dan tidaklah mati. Bukan seorang manusia ataupun seekor Daemon.

Dan di laboratorium itu, Ibu menghilang tanpa jejak. Aku yang hanyalah anak kecil tak berdaya, hanya dapat menyimpulkan bahwa aku hanya dibesarkan oleh ibu demi percobaannya. Sebuah automaton yang dibuang, tanpa tujuan, tanpa pelindung, tanpa harapan hidup.

"300 tahun sudah hampir genap. Tiga hari lagi, jantung ini akan berhenti berdetak. Aku akan menjadi batu dan hancur bagai debu. Takkan ada yang akan tersisa dariku, selain kerajaan yang kudirikan bersama Magistrat Tao," lanjut Sang Raja yang menatap lukisan besar yang terpampang di kamar gelap itu. Sinar rembulan pun menyusup dan aku baru menyadari bahwa lukisan tersebut ialah sosok Sang Raja yang duduk disamping wanita dengan rambut ungu panjang dan wajah datarnya yang dingin. Magistrat Tao, ibu yang membesarkanku.

"Seberapa pun aku mencintainya, aku tak dapat memiliki wanita itu. Seberapa pun aku membuatnya bangga, aku tak dapat membuatnya puas. Pada akhirnya sama sepertimu, Tao juga membuangku. Kamu dan aku hanylah satu dari percobaannya yang gagal. Putra-putri Malaakh, anak-anak dari sang Dewi Kematian, Nyght,"

"Lalu apa maksudmu memberitahuku hal ini?" tanyaku curiga.

"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu. Aku akan menyelamatkan temanmu itu, sebagai gantinya aku ingin kamu menyembuhkan penyakit yang selama ini menghantui Tao," katanya yang kemudian terbatuk lagi, kini dengan darah di tangannya.

"Penyakit? Ibu adalah makhluk sempurna yang tak pernah menua. Bahkan sayatan belati di nadi pun akan sekejap sembuh sedia kala. Mana mungkin makhluk seperti itu memiliki penyakit?"

"Ada. Penyakit itu dinamakan 'keabadian.'" cegah sang Raja cepat. Laki-laki tua itu kemudian mengambil sebuah buku tebal dari balik bantal empuknya. Sebuah penelitian dengan berbagai clipping disana ditunjukan kepadaku. Lukisan-lukisan yang menggambarkan sosok Dewi Kematian dari berbagai belahan dunia. Meskipun memiliki nama yang berbeda, semua menunjukan sosok yang sama. Tao.

"Tao adalah iregularitas dunia. Ancaman bagi peradaban. Kemana pun ia pergi, ia akan membawa kehancuran demi penelitiannya sendiri. Hal itu harus berakhir sekarang, dan kamu adalah satu-satunya di dunia ini yang dapat mengakhiri kegilaannya. Putri Malaakh yang terakhir,"

"Misalpun aku menerima tawaran itu, bagaimana cara aku bisa menemukan Magistrat Tao? Sudah delapan tahun ibu menghilang tanpa jejak. Selain itu, bagaimana cara menyembuhkan keabadian? Terlalu banyak pertanyaan di perjanjian ini yang aku tak mengerti,"

Sang Raja tersenyum dan menunjukan sebuah gambar peta di buku tebal itu, "Kamu akan mengerti, sebab kamu merasakannya sendiri bukan? Wabah aneh di kota Hilfheim... itu semua adalah perbuatan Tao demi penelitiannya. Tidak hanya di kota Hilfheim, wabah itu menyerang kota-kota lain di berbagai negara, menciptakan pola yang bila kamu tarik garis di antaranya... membentuk lingkar sihir," katanya.

"Apakah kamu telah mengerti apa sesungguhnya wabah Nyght itu? Jawabannya ada di kalung yang kamu kenakan saat ini, Eclair,... Quartz. Penyakit tersebut meningkatkan sihir dalam tubuh seseorang, terlalu besar hingga tubuh mereka tak dapat menahannya. Dan Tao, akan menggunakan sihir kuno untuk mengubah sihir tersebut menjadi Quartz," lanjut sang Raja.

Aku terhenyak. Teori ini terlalu gila. Ketika ibu meninggalkanku, ia meninggalkan lab dan jurnalnya padaku. Disana aku pun mempelajari tentang sosok ibuku sebenarnya. Seorang penyihir yang teramat jahat, seorang peneliti yang haus akan ilmu pengetahuan. Tetapi tentang pembuatan Quartz dan wabah Nyght... ini, baru pertama kali aku mendengarnya. Semua teriakan orang-orang itu... semua penderitaan mereka, hanyalah demi sebuah batu sihir?!

"U-Untuk apa dia mengumpulkan batu Quartz sebanyak ini?" tanyaku menghitung jumlah kota yang telah menjadi korban ibu. Seratus jumlahnya.

"Aku tidak tahu, tapi penyihir kerajaanku mengira hal gila. Ketika lingkar sihir itu terbentuk sempurna, Tao akan menggunakan seluruh batu Quartz yang ia punya untuk memanggil sihir yang tak terkira, tak dapat dimengerti. Tetapi, saat aku masih menjadi muridnya, Tao selalu berkata kepadaku, bahwa ia ingin menciptakan 'Makhluk yang Sempurna'."

"Tak ada makhluk yang sesempurna dewa-dewi. Kamu tak bermaksud bahwa ibu berusaha membangkitkan dewa-dewi dari jaman primordial? Itu artinya.... Dunia ini akan hancur," gumamku.

Raja kemudian mengambil tanganku dan menggenggam tanganku dengan kuat. Ia menatapku dengan dalam dan berkata, "Karena itu, aku ingin membuat perjanjian denganmu. Hentikan Tao, habisi dia sebelum ia menyelesaikan sihirnya yang gila. Dengan begitu, aku akan menyelamatkan temanmu."

Pada akhirnya, di malam itu aku dan Raja mengikrarkan janji yang tak terbatalkan di hadapan Tuhan. Aubade, sebuah sihir yang mengikat jiwa kami. Apabila salah satu dari kami melanggar janji tersebut, maka hidup kami dan orang yang berhubungan dengan jiwa kami, akan dicabut. Sang Raja juga memberikanku buku hitam miliknya dan berpesan agar aku menyaksikan pengadilan yang diselenggarakan esok harinya.

Aku menantikan dengan gugup, di antara kerumunan massa yang menghadiri pengadilan massal itu. Was-was, kututupi telingaku dengan kerudung hitam, sebab rumor tentang seekor Daemon menerobos istana Ishtarin telah disebar dan bayaran telah dipajang bagi siapapun yang berhasil menangkapku. Tetapi, perasaanku tidak sepadan dengan apa yang dirasakan Quina yang didorong dengan biadab oleh tentara-tentara bangsat. Ia terlihat sangat tertekan dihadapan mata yang mengadilinya itu. Sang Raja pun turut hadir dalam pengadilan itu dan kehadirannya bagaikan mukjizat di hadapan rakyatnya.

"Tenang saja, Quina. sebentar lagi kamu akan bebas," gumamku dalam hati.

Sang hakim datang berbaris di depan massa, membawa gulungan dengan materai kerajaan. Mereka semua disambut sorak-sorai rakyat yang marah, terutama para manusia. Salah satu dari hakim pun maju di hadapan podium, membacakan keputusan dalam gulungan tersebut,

"Emm... Dengan pernyataan ini, kami Majelis Agung menyatakan bahwa yang terdakwa, dokter Quina Vanne...," kata sang hakim dengan keringat menetes di dahinya.

"Terbukti bersalah sebagai teroris yang meracuni Raja dan membunuh tiga ratus jiwa kota Hilfheim. Dengan pernyataan ini maka kami menjatuhkan hukuman 'Mati dengan dilempari batu' kepada Quina dan seluruh keluarganya. Efektif mulai sekarang!"

Teriakkan massa yangamarah berkobar-kobar bagaikan api yang tak terpadamkan. Disana pikiranku pecah seperti vas yang jatuh di lantai. Aku dikhianati! Kulihat sang Raja tersenyum menatapku dari podium, terbebas dari hukuman yang seharusnya menimpanya karena mengkhianati perjanjian kami.

Tak peduli akan kedokku, aku mengibarkan sayap darahku dan melesat ke hadapan raja. Disana aku langsung disambut oleh barisan senapan-senapan sihir yang menodongku. Meskipun aku memiliki tubuh dengan kecepatan regenerasi yang tinggi, hujan peluru sihir masih dapat menghancurkan tubuhku. Sial, disaat seperti ini aku tak memiliki sihir yang cukup untuk memanggil sihir semalam. Sungguh betapa bodohnya aku, aku benar-benar telah dikelabui oleh Raja pengkhianat itu.

"Kamu!! Ini tidak seperti yang dijanjikan!" teriakku.

Tetapi, sang Raja tertawa, "Ini seperti yang kujanjikan, adikku yang bodoh. Aku telah menyelamatkan temanmu... Menyelamatkannya dari bahaya yang Tao akan bawa ke dunia. Ia akan mati jauh sebelum jiwanya diambil oleh Tao. Dan sekarang, kamu tak punya pilihan lain selain memburu Tao atas namaku, hahaha! Sungguh, betapa sempurna keadaan inI!"

Tiba-tiba aku mendengar teriakan Quina. Aku pun membalikkan punggungku dan melihat massa manusia marah telah bersiap dengan batu mereka, melempari gadis itu tanpa ampun. Kupanjangkan jemari belatiku dan mendidihkan darah dalam tubuhku. Taring-taringku memanjang, rambutku mengeras menjadi tulang-tulang yang tajam dan ekorku menjadi belati yang lebih tajam dari pedang berlian. Mata ketiga dan keempatku pun terbuka di atas kedua mataku dan kutatap tajam semua orang di podium itu, menggeram layaknya harimau yang ganas.

Para tentara itu ketakutan dan terjatuh, mereka berteriak, "I-I-I-Iblis!!"

"Sungguh cantik sekali! " teriak sang Raja berdiri dari takhtanya bertepuk tangan penuh takjub, "Sungguh kau benar-benar cerminan dari ibumu sendiri. Keganasan ini, kekuatan ini. Aaah! Sungguh, inilah yang membuatku mencintai Tao! Sungguh beruntung aku dapat melihatnya kembali sebelum aku mati, hahahaa!"

Pikiranku semakin kacau, darah yang mendidih membuatku haus akan kehidupan. Semakin lama aku semakin tergoda untuk mencabik-cabik semua manusia di tempat ini dan meminum darah mereka. Tetapi.. tidak, tidak! Teriakan Quina menyadarkanku akan tujuan sebenarnya.

Aku pun melesat, berusaha menyelamatkan Quina dari amukan masa.