Pasti ada suatu kesalahan! Pikirku sambil berlari menuju konsil kedokteran agung di universitas Edinburg, almamaterku. Sebelum kesana, aku telah berusaha menemui Quina, tetapi para prajurit hitam Kinje melarangku masuk. Mereka berkata bahwa teroris seperti Quina tidak layak untuk ditemui siapapun. Apa maksud perkataan mereka itu? Quina seorang teroris? Tidak mungkin.
Kubuka pintu kayu raksasa akademi itu, meskipun mata para mahasiswa dan dosen melihatku bingung, aku tak peduli. Meskipun sekretaris tua menyebalkan itu melarangku untuk masuk ke ruang kepala konsil, aku tak peduli. Sebab aku menginginkan jawaban tentang apa yang terjadi!
Kudobrak pintu dari kepala kantor tersebut dan kutemukan seorang pria paruh baya yang sudah ubanan dan perut buncit sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki Ellwind dengan iris mata merah terang... seorang bangsawan Kinje. Firasatku buruk, sebab, konsil kedokteran seharusnya independen, terpisah dari intervensi keluarga kerajaan.
"Sepertinya Tuan Asherune memiliki tamu. Kalau begitu, saya permisi dulu," kata laki-laki bangsawan itu berdiri dengan congkaknya. Prof. Asherune pun dengan tergagap ikut berdiri dan menunduk hormat, "P-P-Perihal yang pangeran inginkan. Serahkan saja padaku," katanya.
Pangeran?
Ketika "sang pangeran" itu melewatiku, ia berhenti sebentar dan melirikku. Dari balik cadar gelap yang ia kenakan, aku tahu bahwa laki-laki sial itu sedang menyengir, "Untuk konsil kedokteran yang agung menerima Daemon di dalamnya. Sampai serendah apa mereka jatuh seperti ini?" kata Pangeran itu sebelum pergi meninggalkanku.
Ha? Apa yang orang itu katakan? Tetapi, belum aku sempat memanggilnya, Prof. Asherune sudah membentakku, "Hentikan, Claire! Jangan bikin masalah lagi!"
Sosok sialan itu pun menghilang dari ruangan itu, meninggalkanku bersama Prof. Asherune. Aku pun langsung mendekati pria tua itu dan bertanya kepadanya, "Apa maksudnya tadi? Bukankah Profesor bilang sendiri bahwa konsil harus independen, tetapi Profesor sendiri yang tunduk dihadapan para bangsawan itu."
"Berhenti membuat masalah lagi Claire. Kepalaku sudah penuh dengan perkara!" bentak Prof. Asherune.
"Membuat masalah? Aku tidak salah dengar?" kataku tak percaya, lalu mengacak pinggangku berkata, "Mana mungkin aku tinggal diam ketika temanku dituduh menjadi seorang teroris dan konsil kedokteran yang seharusnya melindungi gadis itu, justru menjilat sepatu para bangsawan!"
"Claire, jaga perkataanmu! Meskipun kamu anak dari Magistrat Tao, bukan berarti kamu bisa berkata seenaknya," bentak Prof. Asherune lagi.
Aku pun terdiam ketika nama ibuku disebut. Kenapa pria tua ini mesti menyebutkan nama itu di saat seperti ini. Sempat-sempatnya pria tua itu kemudian duduk di kursinya lagi sambil menyalakan cerutu yang aku yakin dibeli dengan uang haram dari para bangsawan itu.
"Kalau begitu jelaskan kepadaku, Profesor. Apa yang sebenarnya terjadi pada Quina?"
Prof. Asherune mengerutkan keningnya kesal dan menghembuskan nafas penuh asap paksa. Dia berdecak berkali-kali sebelum akhirnya berdehem dan berkata,
"Gadis bodoh itu. Sudah kusurati dia untuk berbalik ke Hilfheim, tetapi dia memutuskan untuk tetap ke Junon. Sekarang lihat apa yang terjadi padanya. Seluruh orang yang seharusnya dia lindungi, mati oleh bandit dijalan dan sekarang, dia dan seluruh keluarganya akan dihukum mati karena pengkhianatan."
"Dengan bodohnya di depan audiensi Raja, gadis itu menjelaskan apa yang terjadi di Hilfheim. Tetapi, sesudah kesaksiannya, tiba-tiba Raja jatuh sakit dan hingga kini masih tak sadarkan diri. Semua orang menuduh Quina meracuni Raja dengan sihir yang sama ia gunakan untuk meracuni semua penduduk Hilfheim. Apa yang bisa kulakukan, jika memang seperti itu adanya? Apalagi membela seekor Daemon."
Aku memperhatikan delikan mata pria tua itu dan juga ketukan jari di tangannya yang gugup. Pria tua itu berusaha mengelabuiku. Dalam sekejap aku tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kutodong dia dengan jariku,
"Daemon-manusia-Daemon-manusia, kamu menjual Quina kepada para bangsawan itu dan menjadikannya kambing hitam karena dia seorang daemon?! Kamu yang mengirim kami kesana, kamu tahu apa yang terjadi disana. Kami menyuratimu setiap hari tentang keadaan Hilfheim, dan kini kamu percaya bahwa Quina meracuni penduduk Hilfheim?"
Aku menggeprak meja pak tua itu dan berkata, "Aku yakin Profesor hanya ingin mempertahankan kedudukan dan kekayaanmu, menutupi kegagalan Profesor dalam menanggapi bencana yang terjadi di Hilfheim. Demi Tuhan! Aku baru tahu bahwa konsil kedokteran tempatku mengabdi, ternyata borok hingga ke akarnya seperti ini."
Asherune berdiri dan menunjuk ke arah pintu, awajahnya merah padam dan matanya merah tajam, "Keluar kamu sekarang dari sini! Mulai detik ini juga, kamu bukan lagi seorang dokter."
Aku tersenyum, mengambil lencana perisai emas di jubahku, lencana Avalon, dan melemparnya ke Pak Tua sial itu, "Dengan senang hati. Mulai hari ini, aku adalah seorang penyihir, bebas dari kode etik omong kosong yang kamu tulis itu."
Sebelum meninggalkan kantor itu, aku pun berkata kepada Pak Tua yang melotot tak percaya itu, "Permasalahannya hanya karena Raja tak bangun bukan? Kubuat dia bangun."
Pada malam hari, dengan sayap darah di punggungku aku pun melesat mengkoyakkan langit dan menembus perisai sihir yang melindungi istana Ishtarin, kediaman Raja. Lonceng darurat berdentum dimana-mana dan sekejap puluhan prajurit hitam Kinje pun mengepungku. Tetapi api kemarahanku tak tertahankan lagi, dengan bantuan batu Quarzt yang kumiliki aku berkata,
"Bow before The King!"
Semua prajurit itu pun merasakan beban yang sangat hebat di tubuh mereka, menyebabkan semua di istana itu langsung bertekuk lutut di hadapanku. Sebuah sihir yang seharusnya hanya bisa dilakukan oleh anggota Keluarga Kerajaan, namun berkat sihir luar biasa dari Quarzt aku dapat menulis ulang hukum yang menjalankan algoritma sihir di dunia ini. Dengan mudah aku melangkah masuk ke kediaman Raja, di arak-arak oleh prajurit yang bertekuk lutut ketika menatap mataku.
Bersamaan dengan langkah kakiku, kereta pikiranku berputar dengan jelas. Tentang para penduduk Hilfheim yang dibunuh oleh para prajurit Kinje alih-alih bandit. Bantuan yang tak pernah datang ke kota Hilfheim yang tak lain adalah pemukiman Daemon di kerajaan ini. Dan juga, diskriminasi yang mereka lakukan kepada Quina, mengambinghitamkan dia meracuni sang Raja dan tak mendengarkan kesaksiannya, hanya karena ia seekor Daemon. Dan yang paling penting... tentang kematian adikku dan korban wabah yang ingin mereka tutupi sebagai kasus terorisme. Aku sudah muak dengan kegilaan ini.
Ketika di depan pintu kamar Raja, aku dapat melihat pangeran sombong tadi, bertekuk lutut dihadapanku. Matanya menatapku penuh rasa jijik dan dengki, tetapi tatapan itu tak kubalas sebab balas dendam bukanlah tujuan utamaku. Aku hanya ingin Quina dan segenap apa yang terjadi di Hilfheim tidak hanya dianggap kejadian terorisme palsu.
Kudobrak pintu kamar itu dan kututup rapat. Di kamar yang gelap itu, hanya ada aku dan sang Raja yang terbaring lemah di kasurnya yang luas. Aku mendekati sosok tua itu dan menyadari bahwa tubuh sang Raja baik-baik saja. Pria tua itu tidaklah jatuh sakit.
"Aura ini... Kamu akhirnya datang kemari, Magistrat Tao," kata sang Raja, tak mampu membuka matanya bahkan menggerakkan bibirnya saja sudah sekuat tenaga.
"Aku bukan ibuku, baginda Raja, " jawabku hormat kemudian mendekati sang Raja. Aku menaruh telunjukku di dekat nadinya dan membisikan mantra sihir untuk segera meledakkan kepalanya, jika Raja yang berpura-pura sakit itu macam-macam.
"Namaku adalah Eclair Cadenza Noctis. Anak angkat dari mendiang Magistrat Tao," jawabku.
Sang Raja tersenyum, "Kalau begitu sayang. Sebab itu artinya... aku benar-benar akan mati," katanya menyadari ancaman panas yang terpancar dari telunjukku. Setelah terbatuk-batuk, sang Raja berkata, "Tetapi... mati dihadapan adikku sendiri... Bukanlah hal yang buruk."
Adik? Apa maksud orang tua ini?
"Kamu pasti bingung... ," kata sang Raja yang membuka matanya dengan susah payah dan bangkit duduk menatapku dengan matanya yang merah darah. Pria itu kemudian membuka bajunya dan menunjukan luka jahit di dadanya..
"Aku sama sepertimu. Kamu adalah aku. Dan kita adalah satu... Putra-Putri Malaakh... atau lebih jelasnya, percobaan Magistrat Tao yang gagal."
Tak percaya dengan omong kosong sang Raja itu, aku tetap mengarahkan telunjukku yang siap menembaknya dengan sihir api, "Dengan hormat, baginda Raja berharap aku percaya dengan omong kosong itu?"
Sang Raja hanya tersenyum dan bertanya, "Dan kamu berharap aku akan mengatakan hal sesungguhnya dengan kematian di dekat nadiku?"