Chereads / Bunga Lentera / Chapter 9 - Daemon Bulan (1)

Chapter 9 - Daemon Bulan (1)

Ketika aku membuka mata, mendung langit menyambutku dengan sinar malasnya. Dingin angin berhembus mencuri lembab dari kulitku yang mengering. Tambang perak yang ditinggalkan, deretan rumah-rumah kecil dan pabrik kosong ingin menceritakan kepadaku sepi kehidupan di awal musim dingin ini. Ah... aku tak menyangka akan kembali ke kota ini di waktu ini. Mimpi mengantarku kembali pada tujuh tahun lalu di tempat dulu aku mengabdi... Hilfheim, kota para Daemon di ujung utara Kerajaan Kinje.

Dihadapanku, berdiri puluhan Daemon, lengkap dengan karavan yang banyak dan kotak-kotak kayu yang membawa barang mereka. Salah beberapa dari ekor-ekor itu adalah rekan-rekanku di kloter medis yang ikut exodus ke ibukota Kinje, Junon, bersama penduduk Hilfheim lainnya yang masih sehat.

"Claire, kamu yakin tidak mau ikut dengan kami?" tanya Quina, seorang Daemon perempuan dari suku Muso sepertiku. Quina adalah seorang dokter muda seumuran denganku. Kami berdua cepat akrab di Universitas Edinburg, sebab kami sama-sama merasakan diskriminasi para Daemon di lingkungan yang didominasi oleh manusia.

Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak, Quina. Aku akan tinggal disini. Kamu saja yang kembali. Lagipula, sepertinya aku kebal terhadap penyakit Nyght ini... jadi, aku ingin merawat mereka yang tertinggal disini sampai detik akhir. Setelah itu... jika Tuhan berkenan, maka aku akan menyusulmu," kataku tersenyum ingin melegakan kekhawatiran temanku itu.

"Bodoh. Kamu tidak perlu melakukan ini tahu. Dibandingkan orang-orang itu, nyawamu~!"

"Quina!" cegahku memegang erat pundaknya yang dilapisi oleh mantel yang tebal, "Tolonglah."

Quina menatapku dengan kecewa lalu menolak tanganku. Tanpa berkata-kata lagi, gadis itu pergi meninggalkanku bersama rombongan para pengungsi menembus angin dingin menyambut musim salju. Meninggalkanku sendirian bersama mereka yang telah dijamah oleh sang dewi kematian.

Aku menghembuskan nafasku, melihat uap yang muncul kemudian. Kami telah kalah. Dewi Kematian telah mencabik-cabik tubuh kami dengan wabah penyakitnya. Senior kami di kloter bencana telah ditaklukan oleh sang dewi kematian, menyisakanku dan dokter-dokter muda lainnya sendirian memimpin tenaga relawan. Bingung dan tak berpengalaman, tanpa arah dan tujuan, berusaha hari demi hari menahan serangan Nyght. Pada akhirnya, aku dan Quina sepakat untuk mengirim mereka yang belum dijamah oleh Nyght pergi ke kota besar terdekat dan meminta bantuan disana.

Ini adalah jalan yang terbaik bukan? Pikiranku jauh dari tenang. Bagaimana bila mereka akan ditolak? Mengingat Kinje adalah negara yang keji pada mereka yang lemah dan tak berkuasa, apalagi seekor Daemon. Tetapi setelah kupikir lagi, ditolak seperti itu lebih baik daripada harus mati menderita oleh penyakit maksiat ini.

Hari demi hari berlalu, meskipun aku tahu apa yang kulakukan sia-sia, aku tetap merawat orang-orang yang diambang kematian, berdoa kepada Tuhan bahwa ia akan memberikan kesempatan bagi mereka. Pak Toni sang pandai besi, Bu Mega dari toko roti, Risu gadis kecil yang ingin menjadi penyanyi, dan banyak lagi.... salah satunya ialah Lumina, adikku sendiri. Segala cara telah kucoba, cupping, blood-letting, mengasap pasien dengan ramuan khusus, memberikan ramuan-ramuan yang diajarkan di universitas... tak ada yang berhasil.

Keajaiban tak pernah datang, seberapa keras pun aku berdoa. Hari demi hari, tanganku semakin kotor oleh darah dan tanah dari kubur yang kugali untuk mereka yang telah mendahului. Padang Bunga Olivia, tempat paling indah di dunia itu... kini telah berganti menjadi pemakaman masal. Satu di hari pertama, dua di hari kedua, tiga di hari ketiga, hingga kau tak mampu menghitungnya lagi. Tetapi, hingga badai salju datang, kabar maupun bala bantuan tak pernah datang. Bersamaan dengan itu, kota yang penuh dengan teriakan penuh penderitaan itu menjadi sepi.

Di tengah rasa keputusasaan, kewarasanku pun diujung tanduk. Salah satu tugas seorang dokter adalah meringankan penderitaan pasiennya. Kata-kata itu mendorongku masuk ke dalam ingatan terdalam di hatiku.

Aku teringat dahulu... ibuku pernah mengajarkanku sihir-sihir tua dari jaman primordial. Salah satu sihir itu adalah quin esteriaza virtue regis. Sebuah sihir pembunuh tanpa rasa sakit... Euthanasia singkatnya. Ibu berkata... bahwa dengan sihir itu, aku dapat memindahkan jiwa seseorang ke batu sihir, tanpa membuat mereka merasakan sakit.

Ketika aku menyebutkan sihir itu, semua langsung berharap aku melakukannya. Meskipun aku sendiri tak pernah melakukannya dan ragu, apakah arahan dari ingatan ibuku yang buram itu benar bisa diandalkan. Tetapi, semua orang mencakar tanganku, mereka menangis memohonku untuk mengakhiri penderitaan mereka. Meskipun... mereka harus mati demi itu.. yang paling penting, penderitaan itu tak mereka alami lagi.

Kala itu bulan purnama, badai salju telah tiada. Sendirian di jalan sepi, aku menyalakan lentera minyak di berbagai sudut kota... membentuk sebuah lingkar sihir besar melukiskan mata besar yang menatap bulan. Kudatangi satu persatu rumah tempat mereka yang terjamah Nyght dan berdoa bersama mereka. Semua tersenyum kepadaku dan mengucapkan terima kasih, sebelum kutidurkan dengan sihir Zenitus.

Mulutku bergetar, kutahan air mata di pelupuk mataku setiap kali aku mendengar kata itu.

Terima kasih.

Kenapa kalian megnatakan itu kepada seseorang yang seharusnya menyelamatkan kalian, namun kini justru.. akan mencabut nyawa kalian? Aku... tak mampu menerima kata-kata itu.

Tetapi, waktu terus berdetak, dan bersamaan itu pula penderitaan mereka yang tak terukur. Rumah demi rumah kudatangi, lilin demi lilin kumatikan hingga kota itu hanya terang oleh lingkar sihir yang kubuat. Dan rumah terakhir yang kudatangi adalah milikku sendiri... dengan Lumina disana, terbaring lemah di kasur yang bersimbah darah.

Lumina tersenyum lemah dan berkata, "Semua sudah tidur, Kak?"

Aku tak menjawab, hanya bergumam sambil mengangguk. Kuambil kursi dan duduk disampingnya, lalu memegang tangan adikku itu.

"Kakak.. ini semua bukan salah Kakak... Ini adalah keinginan kami," kata Lumina tiba-tiba, mengelus tanganku dengan lembut, "Tangan Kakak... begitu indah. Halus dan lembut. Seperti sentuhan ibu.... Aku yakin, dengan tangan ini... Kakak bisa menolong banyak orang.. Sekarang, maupun berikutnya."

"Kakak minta maaf dek.... Kalau saja Kakak lebih belajar lagi, lebih cepat lagi, lebih pintar lagi... semua pasti takkan berakhir seperti ini," balasku.

Lumina menggeleng, "Kakak... sudah melakukan segalanya. Ketika semua orang meninggalkan kami, Kakak selalu ada disini. Justru... kami yang harusnya meminta maaf kepada Kakak. Karena kami... Kakak akan membawa beban yang sangat berat."

Air mata tak mampu kubendung lagi. Aku memeluk adikku, selagi aku masih dapat. Kuucapkan terus menerus maaf tetapi gadis itu membelai rambutku, kemudian menyeka air mataku lalu berkata, "Kak Claris... sebenarnya aku... Momen paling membahagiakan dalam hidupku adalah ketika bertemu dengan Kakak. Kakak memberikan gadis lemah ini harapan. Jika mereka bertanya, apakah suatu saat nanti aku akan melihat padang Olivia kembali... aku akan berkata.."

"Kakaklah... padang Oliviaku."

Lonceng gereja berbunyi... tanda bahwa tengah malam telah tiba dan ritual quin esteriaza virtue regis telah dimulai. Untuk terakhir kalinya kucium dahi Lumina dan kuucapkan sihir yang membuatnya tertidur. Kubelai rambutnya, pipinya dan sampai akhir... aku selalu berada di sisinya.

Lingkar sihir mulai meluas dari lonceng gereja hingga melingkupi semua lentera yang kunyalakan. Darah mulai mengalir ke batu sihir yang kubawa... termasuk dari jantung adikku sendiri. Batu itu menelan semua darah itu dengan rakus, seakan tak pernah puas. Dari warna yang awalnya merah terang lama kelamaan menjadi merah kelam, bersamaan dengan itu.. tubuh Lumina pun semakin kurus dan mengering.

Hingga akhirnya, ketika ritual itu selesai, tubuh Lumina pun hancur seperti debu. Tak ada yang tersisa darinya lagi.

Buku kuno itu mengatakan bahwa... keajaiban terjadi ketika Quartz terbentuk. Tapi, omong kosong apa itu? Berat kurasa saat menanggung ratusan jiwa orang-orang yang kusayangi dalam batu ini. Mereka yang menerima dokter muda sepertiku selama 4 tahun dan menganggapku seperti keluarga.

Aku mengalungkan batu Quartz di leherku, sebagai tanda akan kegagalanku menyelamatkan Hilgheim. Saat melihat kota Hilfheim terakhir kalinya, ingatan-ingatan masa lalu bergema dari batu itu, membuatku menghirup nafas dalam. Aku telah memutuskannya.. bahwa nyawa-nyawa orang yang tak bersalah ini akan kubawa selalu dalam hidupku.

Aku takkan membiarkan satu pun akan menderita oleh sang Dewi Kematian. Aku bersumpah akan mengalahkan penyakit ini dan melenyapkannya dari muka bumi, meskipun butuh 100 tahun lamanya, meskipun aku harus mengorbankan seluruh hidupku untuk itu.

Dengan tekad bulat aku pun meninggalkan hilfheim... menyusul Quina.

Tetapi, apa yang kutemukan menghempas segala keyakinanku. Disana, aku menemukan alasan mengapa bala bantuan tak pernah datang, sebab tepat disaat Quina meninjakkan kaki di kota Junon, dia... dipenjara dengan hukuman mati. Dan yang paling buruk dari semua itu... semua Daemon yang pergi dari kota Hilfheim... tak ada yang selamat.

Rasa bersalah langsung menghantui pikiranku, bersamaan dengan marah dan dengki, kecewa dan sedih, semua bercampur aduk seperti badai tanpa henti. .. Aku tidak mengerti... mengapa Tuhan memberikan takdir begitu keji seperti ini?