Chereads / Bunga Lentera / Chapter 8 - Kebaikan yang Menyakitkan (4)

Chapter 8 - Kebaikan yang Menyakitkan (4)

Kini hanya aku dan kamu tersisa dalam ruang gelap ini. Kamu tersenyum kepadaku, dengan tangan gelap menarik sekujur tubuhmu… Oh, Malaikatku, Lumina-ku yang selalu muncul dalam mimpiku….

"Tangan Kakak… begitu indah. Halus dan lembut, seperti sentuhan ibu," katanya tersenyum memegang tanganku, "Dengan tangan ini… Kakak pasti dapat menolong banyak orang," lanjut Lumina, dengan kata-katanya yang tak seperti anak-anak umumnya.

Lumina adalah anak yatim piatu yang hidup menantang maut tiap harinya, tetapi ia juga memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karenanya, ia seringkali menyusup ke perpustakaanku dan membaca di dalamnya. Tak jarang, ia pun mencuri-curi dengar pelajaran di kelas. Saat aku bekerja di Hilfheim anak itu selalu mengikutiku kemana pun ku pergi. Waktuku di Hilfheim diwarnai oleh tingkahnya yang lugu dan kocak, kenangan manis yang kupegang erat dalah hidupku.

Gadis yang telah kuanggap seperti adikku sendiri, kini menyentuh tanganku dengan sinar yang hangat. Sentuhan tangan Lumina yang lembut, mengalir hingga ke ujung jariku. Menemaniku, menghadapi takdir yang ada di depanku. Kembali ke laboratoriumku, dihadapan seorang yang ingin kuselamatkan.

Kutuntun hati-hati belati jariku, perlahan kuiris dada gadis kecil di hadapanku, lapis demi lapis, kulit, lemak dan pun otot. Dibantu oleh sebuah tangan api sihir, ujung jariku menembus tulang belati gadis kecil itu dan menjadi dua. Tangan-tangan api lainnya membuka dada gadis itu, membakarnya dengan api suci, bersih dari segala noda.

Retakan merah memenuhi jantungnya yang membesar menyesakkan paru-parunya. Detaknya tak beraturan, hanya seperti riak air sulit memompa sedikitpun darah.

"Genggaman dewi kematian, Nyght sudah mencapai jantungnya… Sama seperti orang-orang Hilfheim," gumamku mengingat otopsi yang kulakukan pada ratusan mayat Hilfheim. Tak ada seorang pun di muka bumi… yang lebih mengerti sang Dewi Kematian dibandingkan aku.

Ingatan dalam hati merambat di kepalaku, mengembalikanku di hadapan Lumina. Aku melihat diriku duduk di depan Lumina, tubuhnya telah hancur oleh Nyght. Gadis bodoh itu memaksakan diri menjadi asistenku. Seharusnya.. Seharusnya, aku menolaknya lebih keras. Jika ia tidak menjadi asistenku, mungkin, saat ini, ia masih dapat menunjukan senyum gigi ompongnya yang manis itu. Senyuman yang mengalahkan cerah padang bunga Olivia.

Akulah… yang telah membunuh gadis itu…

"Kak Claris… aku, " katanya menyeka air mata di pipiku, "Momen paling membahagiakan dalam hidupku adalah ketika bertemu dengan Kakak. Kakak telah memberikan gadis yang lemah ini, harapan. Jika mereka bertanya, paakah suatu hari nanti, aku dapat melihat padang bunga Olivia kembali~"

"Maafkan aku, Lumina… ! Kakak tidak dapat menepati janji Kakak. Kakak tidak dapat menyelamatkanmu. Kakak gagal sebagai seorang dokter," isakku.

Tetapi, Lumina tersenyum dan mengelus rambutku, selayaknya menenangkan anak kecil yang menangis, "Tenang saja Kak. Kakak telah memenuhi janji Kakak, sebab… Kakaklah padang bunga Olivia-ku."

Belenggu dalam hatiku pun runtuh satu persatu. Ingatan-ingatan salah yang selama ini kutanam di otakku, perlahan menghilang. Malaikat yang selama ini selalu menghantui mimpiku, bukanlah lagi seorang malaikat kematian… melainkan malaikat yang senyumnya membawa terang dalam hatiku.

Kembali di laboratoriumku, dengan gesit aku mengendalikan darahku memenuhi dinding jantung gadis itu. Dibantu oleh tangan api suci, kami melilit untaian rambutku menjadi 4 pipa panjang… dan kemudian menusukkannya ke dadaku. Dipandu oleh darahku, aku pun memasukkan pipa-pipa tersebut ke pembuluh besarnya, dan menggantikan peran jantungnya yang rusak dengan jantungku.

Rasa nyeri kepala dan nyeri dada bertubi-tubi menyerangku. Retakan demi retakan merah muncul di kulitku. Reaksi penolakan. Tch, aku tak punya waktu banyak…!

Dengan hati-hati aku menyebutkan mantra, "Glazia minimus." pada darahku yang menggenangi dada anak tersebut. Sinar-sinar biru pun muncul dari serbuk Aether yang larut dalam darahku, mengeluarkan hawa dingin yang merayap masuk ke tubuh anak tersebut… mendinginkannya dan menjaga metabolisme tubuhnya rendah. Detak jantungnya pun perlahan-lahan melambat dan akhirnya menghilang.

Dan tanpa beristirahat, bersama 8 tangan suci, aku membersihkan jaringan-jaringan ikat yang membelenggu jantung gadis itu dan memotong tiap pembuluh yang mengikatnya pada tubuh gadis itu. hingga akhirnya, jantung itu kupisahkan dari tubuh gadis itu… sebelum akhirnya, BUS! sinar merah menghancurkan jantung gadis itu menjadi gumpalan cairan berwarna merah yang hangus oleh api suci yang membakar tanganku.

Manifestasi akhir, ketika sang Dewi Kematian ingin merenggut nyawa. Ia akan meremas jantung orang tersebut, hingga hancur tak tersisa. Pada detik kematiannya, sang malang akan merasakan rasa sakit yang tak dapat dideskripsikan.

Aku memendekkan kukuku kembali dan mengambil kalung yang melingkar di leherku, yang sedari dulu tak pernah meninggalkanku. Sebuah permata berwarna merah kelam menjadi mata liontinya. Quartz yang kuciptakan tujuh tahun lalu… dengan darah penduduk Hilfheim.

Untaian-untaian rambutku yang tersisa, kutenun dengan sihir menjadi rangka sebuah rangka jantung. Kuambil jaringan otot dari tulang rusuk gadis itu, sedikit saja di keempat titik dan kemudian membasahinya dengan darahku. "Vampiris regenum," ucapku sambil mengendalikan darahku menari di sekitar jaringan otot tersebut.

Perlahan jaringan otot itu semakin besar dan banyak, memenuhi rangka tersebut menjadi sebuah elips berwarna coklat, tersekat pada 4 ruang. Di tengahnya, kupotong otot-otot itu dengan darahku, menciptakan sebuah ruangan yang cocok kuletakan Quartz. Ujung-ujung otot pun menusuk permata tersebut di segala sisi, memeluknya dan tak ingin lepas. Retakan sihir berwarna hijau toska memenuhi elips itu, bersinar terang dan kemudian menyatu dengan otot-otot disana. Tidak sempurna, tetapi harapanku… kontrasepsi tersebut menirukan jantung yang asli. Cordia golmi, nama alat tersebut, sebuah sihir kuno dari abad primordial.

Kuletakan jantung tersebut ke dada gadis kecil itu, kemudian menyambung 4 pembuluh besar kepada jantung tersebut dengan tarian untaian helai rambut yang tersisa. Erat dan takkan terputus lagi.

Pandanganku semakin buram, waktuku hampir tiba. Sentuhan terakhir… hanyalah mengejutkan inti Quartz alat tersebut, dengan fokus listrik di kedua telunjukku. Segera, aku mengejutkan jantung buatan itu, 2 kali, 3 kali, 4 kali dan setiap kali aku mengejutkannya… ingatan hari itu kembali padaku. Bagaimana aku mendapatkan Quartz tersebut.

Aku menatap diriku sendiri sendiri, menangis tanpa henti di hadapan tubuh adikku yang tak bernyawa lagi. Tanganku saat itu mencengkram sebuah batu sihir hingga berdarah. Darah dalam tubuh adikku, keluar dari dadanya dan mengalir masuk ke dalam batu tersebut mewarnainya dengan merah kelam.

"Maafkan aku… ! Maafkan aku, Lumina…! Hanya ini… yang dapat kulakukan bagimu…," kataku.

Quin esteriaza virtue regis. Sebuah sihir sangat tua yagn diciptakan pada peradaban manusia sebelumnya… untuk memindahkan nyawa para Daemon ke sebuah batu sihir. Tak ada rasa sakit, tak ada teriakan. Sihir tersebut membuat seseorang tenggelam dalam tidur yang dalam, sembari darah mereka diserap dalam batu sihir Quartz.

Cara ini lebih baik daripada Lumina harus merasakan nyeri yang tak kuasa saat jantungnya meledak. Dengan sihir kuno ini, setidaknya, ia dapat pergi ke alam sana tanpa merasakan rasa sakit. Tapi… siapa yang aku bohongi?

Sebab, aku lebih paham dari siapapun, bahwa aku adalah orang yang mencabut nyawa adikku sendiri.

Becek lantai yang bersimbah darah menyadarkanku akan hal itu, ketika darah-darah tersebut mengalir masuk ke Quartz di tanganku. Darah dari semua penduduk Hilfheim… yang menjadi korban Nyght.

Tangan yang dapat menolong banyak orang? Padang bunga Olivia yang membawa terang harapan? … Tidak.. aku, hanyalah seorang dengan tangan berdarah, mementingkan keegoisan diriku sendiri. Aku tidak ingin seseorang menderita, tapi.. aku tidak menyadari bahwa tindakanku tersebut merebut kebebasan mereka untuk memilih hidup yang akan mereka jalani… atau hak mereka untuk mati.

Meskipun aku tahu tentang itu… aku, tak dapat melawan diri untuk menyelamatkan anak ini…. Lucu sekali, apakah dengan menyelamatkan anak ini, dosaku akan diampuni? Apakah dengan menyelamatkan anak ini, sejarah dapat dihapuskan?

Katakan… Hai, Malaikat.. Aku yang telah meninggalkanku, aku yang telah merebut semua pengharapanmu… Pantaskah aku… dengan tangan berdarah ini… mendapatkan penebusan?

BSST!

Hentakan listrik terakhir kukirim ke jantung itu. Terakhir, karena aku tak memiliki sihir lagi dalam tubuhku yang cukup untuk mengejutkan jantung itu lagi. Tetapi jantung itu tetap terdiam dan tak berdetak.

"Inikah… jawabanmu, Lumina…" gumamku.

Tidak, aku tak ingin semuanya berakhir disini! Kuraih jantung tersebut dan kuremas berkali-kali, api suci pun membantuku menghangatkan kembali tubuh anak itu. Keringat pun menetes langsung menguap oleh api suci, bersamaan dengan harapan. Sedemikian hauskah aku akan pengampunan? Bikin tertawa saja… Mungkin Tuhan sendiri telah memutuskan untuk mengurungku selalu dalam penjara masa lalu dan kesempatan yang ia berikan kepadaku sekarang hanyalah pengingat akan dosaku di masa lalu.

Mataku melihat wajah anak kecil ini. Wajahnya saat di Klinik hidup bukanlah wajah seorang yang ingin mati. Anak ini, di detik terakhir hidupnya, masih memiliki harapan hidup. Ia masih ingin menjelajahi dunia ini. Ia belum menyerah.. Oleh karena itu…

Kusalurkan seluruh sihirku yang tersisa ke jari telunjukku. Dengan pelan dan presisi, kutepatkan telunjuk itu pada titik pusat energi sihir Quartz. Menelan ludahku aku berteriak sambil mengirimkan kejutan terakhir,

"Berdetaklah!"

BSST!

Terdiam beberapa saat… akhirnya, jantung buatan itu pun berdetak. Pelan-pelan awalnya, kemudian semakin kencang dan kencang. Limapuluh, enampuluh, delapan puluh, seratus denyut dalam semenit, jantung yang berwarna coklat itu perlahan menjadi merah kembali.

Kucabut pipa sihir yang menyambung jantungku dengan tubuh gadis itu dan merapikan seluruh kekacauan yang kulakukan. Membersihkan tiap sudut rongga dadanya dari darahku, menutup area operasi dan menjahitnya dengan untaian rambut terakhirku, kemudian menutup tabung labu tersebut dengan pasangannya mengurung sang gadis dalam sebuah ruang vakum digenangi oleh darahku.

"Hestia," ucapku memerintahkan 8 tangan suci itu melesat mengitari tabung labu tersebut, membentuk kompleks lingkar sihir bercahaya yang mengangkatnya dari tanah. Sebuah model ruang vakum sihir yang ideal untuk tubuh penyembuhan.

Luka sayat di tangan kananku sudah lama sembuh tanpa tersisa, dan 4 lubang di dadaku pun telah tertutup. Tetapi, tungkai bawahku melemah dan aku pun terjatuh. Bersamaan dengan air mata yang menetes dari mataku.

Aku tertawa... menertawai diriku sendiri dan takdir. Aku berhasil. Sebuah keajaiban telah lahir… namun, bukan rasa senang yang kurasakan… Aku tidak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Tetapi.. di dalam hatiku, terasa belenggu masa lalu perlahan lepas...

Mataku pun… semakin gelap. Di tepi mataku, aku dapat melihat seorang laki-laki berdiri dengan wajah pucat pasi, terkejut setengah mati… lalu mendatangiku dan mengguncang tubuhku, memanggilku berkali-kali tapi percuma... telingaku telah tuli.

Sebelum dapat bertanya siapakah dia, mataku melihat Lumina menatapku... tersenyum dan berkata dengan pelan, "Sampai jumpa, Kak."