Gadis muda itu membuka tirai dibalik sebuah rumah gua yang penuh dengan rintihan, tertegun menyaksikan puluhan orang didalamnya berbaring lemas dan berteriak kesakitan. Kulit mereka penuh dengan luka-luka terbuka yang menjalar mengikuti pembuluh darah mereka, dengan nanah bercampur darah mengalir keluar. Aroma busuk bercampur dengan alkohol tercium dimana-mana, membuat hidungnya yang lebih tajam dari seorang manusia, pun sakit.
Pemandangan itu menghancurkan segala mimpi dan angan-angan yang ia miliki. Segala kepercayaan dirinya dihempaskan olehnya.
"Dok, Dokter Claris!" teriak perawat dalam pelatihan, dengan muka panik dan putus asa, "Pa-Pasien bed 7…!"
Sekejap telinganya pun tuli, otaknya seakan terputus dari tubuhnya yang segera berlari menuju kamar tujuh. Di dalam sebuah ruangan isolasi, tangisan langsung pecah darinya. Adiknya sendiri… berteriak kesakitan meminta tolong kepada Tuhan untuk mengambil nyawanya.
Kulit putih gadis muda itu, kini telah bermandikan dengan darah yang keluar dari seluruh luka-luka retakan di sekujur tubuhnya. Tubuhnya kelojotan ingin membebaskan diri dari ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya.
"Sakiittt… Sakiiiitt! Kak Clariiiss, Kak Clariiss…! Aku mohon… lepaskan aku dari sakit ini…" isak tangis gadis muda itu ketika serangan nyeri yang mengkoyak-koyaknya pun reda.
Sang Dokter muda pun datang mendekati gadis tersebut. Tangan Dokter tersebut gemetar menggenggam tangan adiknya sambil mengigit bibirnya hingga berdarah, menahan nyeri dalam dadanya yang tak terkira.
Seorang perawat pun datang kepadanya dan bertanya, "Apa yang kita harus lakukan Dokter…? Segalanya sia-sia… Anak ini sudah tak punya harapan lagi."
"Kak… Aku mohon… hentikan rasa sakit ini…" isak gadis muda itu, sebelum akhirnya berteriak kembali setelah genggaman sang dewi kematian meremas tubuhnya.
Tetapi, perkataan mereka tak dapat terdengar oleh hati sang Dokter yang sedang bergerumuh. Ia tenggelam dan tenggelam dalam perperangan mana yang baik dan buruk. Moralnya menghancurkan segala yang ia bangun selama ini. Gelar lulusan terbaik hanyalah gelar belaka, kesombongan yang membumbungnya tinggi saat muda kini menghempaskannya ke tanah.
Kini ia tersadar… bahwa di hadapan sang Dewi Kematian, ia hanyalah seorang… manusia biasa.
"Dokter Oe! Pasien kamar 3 juga butuh pertolonganmu!"
Teriakan sang perawat menyadarkanku, bersamaan dengan itu nyeri yang sangat hebat di kepala. Dingin menyusup hingga ke jantungku, menembus pakaian tebal yang kugunakan. Sial… Teriakan "Kamar tujuh" membawaku kembali ke nostalgia yang selama duabelas tahun ini telah kupendam dalam-dalam di sudut ingatanku.
"Kenapa Kakak meninggalkanku?"
Kata-kata malaikat itu kini berderu nyata di hatiku. Ia seperti sentuhan lembut daun di atas danau tenang, yang mengguncang seluruh permukaannya, membangunkan tahanan yang bersembunyi dibalik danau tersebut. Seorang pengecut yang lari dari takdir. Pengecut itu adalah aku.
"Astaga Tuhanku, kenapa kayak gini. Pas Dokter Yusa sedang istirahat lagi," teriak dokter Oe kesal. Ia membekap mulutnya, alis matanya berkerut. Wajah seseorang yang sedang bertarung antara logika dan moral.
"Kita menuju kamar tiga. Reisya, ambil troli emergensi. Vania, hubungi keluarga pasien," kata Dokter Oe kemudian.
"Kamu tidak ingin menyelamatkan pasien kamar tujuh?" tanyaku kepada Dokter Oe.
Dokter Oe mengepalkan tangannya dengan sangat dan berusaha meredam kemarahannya, "Tentu saja aku mau… tapi, sekarang, aku harus memprioritaskan mereka yang lebih bisa hidup," katanya yang kemudian melesat ke kamar tiga.
Ketiga petugas kesehatan itu meninggalkanku sendirian di meja perawat. Tetapi, teriakan anak dari kamar tujuh terdengar jelas di telingaku. Entah kenapa, seperti memanggilku disana.
Melewati deretan kamar yang hanya berbataskan tirai putih saja, aku dapat melihat warna kesengsaraan melukis klinik ini. Aroma yang sama seperti duabelas tahun yang lalu, bau busuk dan alkohol membawaku ke sebuah pos bencana. Dingin menyambut tubuhku, sama seperti badai salju di malam itu. Aku tersihir olehnya, terhanyut oleh waktu ke sebuah malam di desa kecil bernama Hilfheim… duabelas tahun lalu, tempatku bekerja sebelumnya... sebagai seorang Dokter.
Dibalik tirai kamar ketujuh, kontras langsung menyambutku. Ketika pasien lain datang dengan keluarga yang menangis bersamanya, anak perempuan manusia berbaring di kamar tujuh itu berjuang sendirian melawan maut. Kini aku mengerti apa maksud pilihan Dokter Oe. Daripada menolong seorang anak buangan yang sekarat, yang tiada merindukannya jika pun ia mati… lebih baik ia menolong seorang yang memiliki keluarga yang menantikannya.
Sebab aku tahu, penyakit ini menyerang tiada memandang. Kaya, miskin, kuat, lemah, laki-laki perempuan, muda dan tua, dihadapan sang Dewi Kematian semua setara. Penyakit ini bernama... Nyght, wabah misterius yang melanda Hilfheim duabelas tahun yang lalu. Kuraih tangannya dan kuucapkan dengan lembut mantra sihir kecil yang menghilangkan rasa sakitnya, "Diminus."
Sinar putih pun perlahan memenuhi tubuhnya, gadis yang berteriak-teriak itu pun mulai tenang, meskipun darah masih keluar dari seluruh tubuhnya. Perlahan ia membuka matanya dan berkata,
"… Kakak… siapa?" rintih anak itu yang kemudian menatapku dengan mata sayunya, "Apakah kakak… seorang malaikat…? Apakah aku… sudah surga?" rintihnya.
Kuraba tangan itu, memegangnya dengan lembut. Anak perempuan ini… mengingatkanku akan malaikat itu. Ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya di dekapanku… ia pun berusia sebelas.
Takdir sungguh aneh, apa yang ia inginkan sehingga mempertemukan cermin yang membawaku pada masa lalu?
"Kak Malaikat… Aku… belum mau… pergi ke surga," ucapnya lemah.
"Kamu masih ingin hidup?" tanyaku dengan lembut.
Dengan lemah, gadis itu mengangguk. Ia menoleh ke sebuah buku tebal disampingnya.
Aku mengenal buku itu, 'Petualangan Ajaib Olivia sang Ksatria', sebab buku itu adalah kesukaanku pula saat kecil dan pula, adikku. Buku yang menceritakan tentang petualangan Olivia sang Ksatria terakhir mencari keluarga tercintanya ke tiga dunia, menemukan berbagai keindahan dan harta karun dunia… dan akhirnya kembali ke dekapan keluarga.
"Masih… banyak… tempat yang ingin kulihat… Terutama… Kakak tahu… tempat yang paling ingin kulihat?" katanya pelan dan kemudian tersengal-sengal sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku … ingin… melihat…. Padang Bunga Olivia di musim semi…"
"Kakak telah memberikanku, gadis lemah ini, harapan. Kira-kira, Kak, apakah di musim semi esok, aku dapat melihat padang bunga?"
Mataku berkaca-kaca mendengarnya… Ingatan akan adikku memberontak di otak Sebelum adikku jatuh sakit, ia juga berkata demikian. namun, musim semi tak pernah menghampirinya lagi.
Lumina… Lumina-ku! Kenapa… takdir merenggut hidupmu.. begitu cepat…. Kenapa, kenapa... takdir mengambil jiwamu... Mengapa aku memutus harapanmu itu... ketika kamu masih berharap melihat hamparan damainya bunga putih itu, disinari oleh mentari musim semi?
Aku menghirup nafas yang dalam dan menyeka air mataku. Tersenyum, kudekatkan wajahku dan berbisik padanya, "Tenang, percayakan semua pada Kakak, ya. Ketika kamu bangun, kamu akan melihatnya, padang bunga itu… Zenitus" kataku, membisikkan mantra penidur untuknya.
Gadis itu pun mengangguk dan matanya pun menutup. Perlahan kuangkat tubuh ringkih yang ringan itu, menyadari betapa kurusnya gadis itu. Tak lupa kubawa pula, buku favoritnya. Diantara mereka yang bersedih dan menderita, tak ada seorang pun yang memperhatikanku. Dan bagaikan angin malam, aku membawa gadis itu pergi tanpa siapapun menyadarinya.
Kesengsaraan seseorang memang bukanlah hal yang menarik bagi orang lain. Meskipun demikian, ketika melihat kesengsaraan, hatiku tersentuh dan mataku mulai menitikkan air mata. Bukan menangisi takdir yang menyedihkan, ataupun membagi rasa melainkan sebuah kelegaan. Kelegaan bahwa seseorang tak hanya sendirian menderita oleh takdir kejam yang menindas hidup. Kelegaan bahwa waktu telah terulang kembali, dan takdir yang sama telah berputar kembali di hidupku....
Biarlah mereka mengatakan bahwa keegoisankulah yang mendorongku untuk menolong gadis ini. Biarlah mereka mengatakan bahwa aku ialah seorang yang munafik yang melakukan hal yang sia-sia.
Sebab... diriku yang sekarang, berbeda dari masa lalu. Semua perjuangan itu, duabelas tahun ini, semua kulakukan untuk bisa menolong gadis ini... Hanya gadis ini seorang. Kesempatan yang Tuhan berikan ini... ingin kuambil. Aku ingin menolong gadis ini, aku ingin membuatnya tetap hidup. Meskipun aku tahu masa lalu takkan terhapuskan, aku ingin mempersembahkan masa kini kepada kepada Lumina... sebagai penebusan seorang Kakak yang gagal melindungi adiknya sendiri...
Dan mungkin... cahaya dalam lentera hidupku, akan kembali menyala.
Aku membawa anak itu ke dalam labku. Segera kusingkirkan segala alat kimia di atas meja dan kuletakkan gadis itu. Kuku-kuku jariku, kupanjangkan dengan sihir untuk memotong salah satu tabung Gruhningen menjadi dua. Toples-toples yang berisi Aether segera kutumpahkan memenuhi setengah belahan tabung labu tersebut, kemudian sisanya dengan darah yang mengalir dari nadi tanganku.
Serangan sakit kepala membuatku oleng. Kepala terasa ringan dan bumi seolah bergoyang. Sepertinya aku terlalu tamak, sebab semalam, cukup banyak darah yang kugunakan untuk menolong bocah tentara itu. Tetapi… aku telah berjanji pada gadis kecil ini dan janji itu membuatku mampu melanjutkan apa yang telah kumulai.
Kubenamkan anak tersebut dalam genangan darah bercampur Aether, karena tak ada kertas disana… dengan darahku sendiri kugambar mantra sihir disekujur tanganku, dan seusainya membacakan mantra panjang, "Eloi, Eloi, sabad maharani. Devanus Claris quinos Noctis. Kupersembahkan segala ragaku dalam tanganmu, Tuhan. Ulurkanlah 8 tangan sucimu dalam takdirku. Hachimanus Deimos."
Relief mantra sihir tersebut membakar tanganku, nyeri yang hebat hampir membuatku pingsan, namun sebagai gantinya, 8 tangan yang terbuat dari api pun muncul mengikuti perintahku. Dan sebagai persiapan terakhir, kupotong rambut panjangku dan meminta tangan api tersebut mensterilkannya dengan api suci.
"Semoga Tuhan mengijinkanku menenun takdir hidupmu," bisikku sebelum memulai operasi gila itu.