Chereads / Bunga Lentera / Chapter 6 - Kebaikan yang menyakitkan (2)

Chapter 6 - Kebaikan yang menyakitkan (2)

"Kamu gila?" teriak seorang laki-laki berkulit gelap, menatapku dengan garang. Xalis, nama manusia tersebut, ia seorang mandor pabrik auto-maki, mesin bertenaga aether yang menjalankan seluruh aktivitas industri kota Pei Jin. Dilemparnya papan terima yang sudah ditandatangani itu sambil berteriak lagi, "Kamu gak belajar dari kesalahan Viola? Gak. Aku gak mau meledakkan kotaku!"

"Ta-tapi~"

"Ga ada tapi-tapian," teriak laki-laki tua itu membelakangiku dan pergi masuk ke pabriknya lagi.

Haaahh… Ditolak lagi, ditolak lagi. Seharusnya aku lebih tahu, tak ada orang di Pei Jin ingin memesan kimia sihir lagi. Mereka semua takut untuk terlalu menekanku dengan orderan bejibun, karena tak ingin mengulangi tragedi 20 tahun lalu.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika perang pecah antara Kinje dan Uni Erites, impor kimia sihir mendadak berhenti. Alhasil dunia perindustrian di Pei Jin pun terhenti dan ribuan orang terancam di-PHK. Para pemilik pabrik pun datang ke satu-satunya Chemoi-Ika saat itu, Viola, dan memintanya untuk memenuhi kebutuhan kimia sihir. Tentu saja itu permintaan yang gila, tetapi Viola yang baik hati itu, tak tega menolak permintaan tolong mereka. Ia pun menerima semua pesanan dan bekerja keras siang malam untuk itu. Satu minggu kemudian aktivitas Pei Jin pun sudah dapat berjalan normal, tetapi tragedi baru muncul setelah 1 bulan berlalu.

Pada suatu malam, kelelahan mengalahkan Viola. Chemoi-ika itu membuat kesalahan yang memicu ledakan yang melenyapkan suatu distrik. Api dari ledakan tersebut meluasruah dan melahap seperempat kota selama 3 hari 3 malam. Dan sang Chemo-Ika, tak satupun sisa tubuhnya ditemukan. Karena itulah, selama duapuluh tahun, kota ini tak memiliki Chemo-ika hingga akhirnya aku datang. Bahkan, meskipun kehadiranku membawa keuntungan bagi mereka, masyarakat Pei Jin masih was-was denganku.

"Terus darimana lagi aku bisa dapat duit lebih?" gumamku bingung sambil kembali ke gerobakku. Gerobak yang tadi penuh, kini kosong lompong.

"Apa aku mesti menjual mesiu sihir?" tanyaku lagi. Tetapi segera kutepis pikiran itu.

Mungkin, ada dua jalan bagiku saat ini. Pertama, menjual dari rumah ke rumah. Jika aku dapat menghabiskan stok tokoku, keuntungan yang kudapatkan bisa menutupi hutangku. Tetapi mataku kini disambut oleh warna-warni bunga lentera jalan yang mulai menyala ketika matahari terbenam. Dan bersamaan itu, aku menggelengkan kepala, ide yang buruk. Di pagi hari, tokoku penuh dan di siang hingga malam hari, aku sudah sibuk mengirimkan barang. Belum lagi, aku mesti menyiapkan kiriman untuk esok hari.

Masih ada jalan kedua yaitu membuka jaringan kerjasama baru. Hanya saja semua industri telah menolakku meskipun membeli jasaku dapat memotong pengeluaran mereka. Mungkin, masih ada satu tempat yang mau memesan. Klinik dokter Oe, tetapi… aku jujur enggan kesana.

Klinik sebenarnya hanya nama familiar saja bagi penduduk Pei Jin, sebab fasilitas pusat kesehatan tersebut dapat dibilang setingkat rumah sakit. Belakangan ini aku mendengar pasien klinik Oe meledak dan kebutuhan obat-obatan meningkat. Para Apoteker tidak mampu mengikuti peningkatan kebutuhan tersebut, sehingga seringkali persediaan obat habis dan mereka terpaksa merujuk pasien ke tempat lain, salah satunya tokoku yang menjual beberapa obat sihir.

Obat sihir tidak terlalu sulit dibuat dan tidak memakan waktu yang lama pula, sebab dengan peralatan labku, mereka dapat diproduksi secara massal. Keuntungannya pun cukup menarik. Hanya saja… hubunganku dengan para apoteker memburuk, sebab mereka tak menerima aku juga dapat membuat obat sihir. Bahkan, hubunganku dengan para dokter juga memburuk… sebab beberapa pasien mereka akhirnya lebih memilih langsung membeli obat dariku.

Rempong, pokoknya, hubunganku dengan para petugas kesehatan seperti berdiri di atas es yang tipis. Salah-salah bertindak, hancur mina semuanya. Selain itu ada alasan pribadi yang membuatku enggan kembali ke sebuah rumah sakit.

Uuggh, kepalaku nyeri sekali! Kugaruk kepalaku kesal dan akhirnya, kupecut kudaku menuju tempat terakhir yang ingin kuhadiri. Terpaksa, karena wajah murka Danius terbayang dipikiranku!

+ + + + + +

Semerbak aroma obat menyambutku ketika mendorong pintu itu, bersamaan dengan eluh sakit pasien yang memenuhi klinik tersebut. Para perawat berlalu lalang, mendorong gerobak mereka terburu-buru menjawab pasien yang berteriak meminta tolong. Tak seorang pun mempedulikanku datang dan meja perawat pun terlihat kosong. Disudut manapun, aku tak dapat menemukan dr. Oe maupun dr. Yusa.

Hmm, sepertinya aku datang disaat yang buruk.

Sebuah buku merah tergeletak di meja perawat. Semua orang tahu bahwa buku merah itu merupakan jurnal seorang dokter. Chronostoria namanya, mereka bilang buku ini adalah esensi hidup dari seorang dokter. Melihat tak ada seorang pun yang melihatku, rasa penasaran membuatku membaca buku itu.

"Apa yang terjadi disini?"

Catatan itu menceritakan bahwa sekitar 1 bulan yang lalu, seorang dari Kerajaan Kinje datang dalam kondisi sekarat. Kulitnya penuh dengan luka-luka terbuka yang menjalar mengikuti pembuluh darah mereka, dengan nanah bercampur darah mengalir keluar. Kadang, pasien itu berteriak di malam hari dengan badan melengkung ke depan dan otot rahang yang mengeras, kadang ia seperti kerasukan dan kehilangan kesadaran. Metode pengobatan yang diberikan oleh dokter Oe tak berhasil, hingga akhirnya pasien itu meninggal.

Oe mengira bahwa penyakit itu adalah varian dari histeria, mengingat pasien tersebut adalah seorang wanita. Tetapi, 2 minggu kemudian, orang dengan keluhan sama tiba-tiba membanjiri klinik hingga hari ini… tak ada yang selamat.

"Hoi! Siapa kamu?"

Anjir, secepat kilat kututup buku itu dan kuletakkan di atas meja kembali. Dengan ragu-ragu, aku menoleh kepada laki-laki yang menegurku. Matanya yang tajam dan menakutkan, taring-taring giginya yang tajam membuatku merinding. Di ekor yang sekaligus menjadi kakinya tersebut, ia menarik sebuah troli dorong penuh terisi peralatan penyelamatan jiwa. Usianya masih muda, mungkin 5 tahun lebih muda dariku. Dari perawakannya yang seperti ular tersebut, aku yakin ia berasal dari suku Lamish, keturunan dari Lamia di laut selatan.

"N-Namaku Ecclarista, Chemo-ika kota ini," jawabku.

Wajah laki-laki itu basah dan bintik air memenuhi kacamatanya, tetapi darah yang menodai jas dokter putihnya menceritakan hal yang lain. Tentang hal mengerikan yang sedang terjadi di klinik ini. Cerita tersebut diwarnai oleh kantung matanya yang tebal, serta pucat pasi wajahnya, patah arang.

"Oh. Kamu yang namanya Claris, rupanya. Percuma baca buku itu, kamu takkan mengerti karena cuma seorang dokter saja yang bisa," kata Oe yang segera merebut buku itu dan memasukkannya ke jas dokternya, "Aku Oe. Sori ya, tapi kami lagi sibuk jadi enggak bisa ngobrol. Kamu datang kesini mau complain tentang pasien yang kukirim ke tokomu bukan?" kata dokter tersebut menggaruk-garuk kepalanya.

Aku menggeleng, "Tidak. Aku datang setelah mendengar klinikmu sedang kehabisan stok obat,"

Dengan ekornya, Oe segera mengambil kursi dan duduk malas disana, menghela nafas seribu tahun lelah. "Habis-bis-bis. Tapi pasien terus datang membludak. Hadeh, mau mati saja aku, tapi kalau aku mati, siapa yang merawat mereka? Duh, kenapa sih hidup ini berat banget," eluhnya yang kemudian meregangkan tubuhnya kesal,

"Semalam, voluntir dari Kinje pake acara terjebak kerusuhan lagi. Haiish, bukannya nambah tenaga dokter, malah jadi pasien sekarang," eluhnya lagi.

Canggung aku sejadi-jadinya. Aku tak mengenal orang ini, tapi dia tiba-tiba langsung curhat kepadaku. Apalagi niatanku kemari bukan untuk menolong, tapi mencari duit. Hah, bodo amatlah. Seratus orang telah menolakku hari ini, tambah satu penolakan bukan hal yang berarti.

"Jika kamu mau, aku bisa membantu menyuplai obat-obatan untuk klinik ini dengan harga miring. Bagaimana?" tawarku berusaha menahan perasaan ngebet yang dari tadi membom dadaku.

"Eh, sungguh?!"

Cahaya harapan kembali memenuhi matanya, laki-laki ular itu segera mengambil tanganku dan mengayunkannya dengan semangat, bahkan matanya sampai berair,

"Huwaaaah, makasiih bangeett, Claris!! Apotekerku sudah kewalahan membuat obat, sampai-sampai sihir di tubuh mereka habis. Kalau seorang Chemo-ika dari Kinje membantu, pasti kami bisa melewati masa sulit ini!" katanya.

"Hahaha… aku nggak sehebat itu," balasku canggung.

"Omong kosong, Claris. Semua orang di negeri tahu, bahwa hanya seorang dengan tingkat pengendalian sihir tertinggi yang dapat menjadi Chemo-ika. Para apotekerku dari seminggu yang lalu sudah mau meminta bantuanmu, tapi mereka merasa tak enak,"

"Masa lalu tinggal masa lalu, ehem," kataku memotong pujiannya yang mulai membuat telingaku panas, "Kalau begitu, kita bahas mengenai duit?" tanyaku ngebet.

Tetapi, sebelum O sepakat, seorang perawat dengan baju terciprat darah mendatangi kami dengan panik.

"Dok, Dokter Oe… Pasien kamar tujuh…!"