Ada kata-kata yang menarik, kudengar saat menonton pertunjukan teater dua minggu yang lalu. "Kesengsaraan bukanlah hal yang menarik bagi orang lain." Kata-kata itu menarik sebab begitu benar dan sekaligus begitu ironi. Sebab, meskipun tahu bahwa kesengsaraan tak ingin didengar orang lain, dalam diri ada dorongan batin untuk menceritakannya. Entah lewat apa yang dituturkan, gerak-gerik yang canggung, ataupun apa yang dikenakan. Melihat fenomena ini, terbesit dipikiranku, inikah esensi dari hidup sebagai manusia sosial… atau hanyalah ego untuk mendapatkan belas kasih?
Tapi, aku ingin bertanya kepada ketika mendengar kesengsaraan. Kenapa, ketika seseorang membagikan kesengsaraannya, ada dorongan dari sang pendengar untuk memberikan belas kasih padanya? Bukankah terlalu sombong bagi kita untuk berbelas kasih kepada mereka yang menderita, ketika diri kita sendiri juga membutuhkan belas kasih?
Dan siapakah kita, berani untuk menjalankan keegoisan kita... untuk menolong orang lain?
Pertanyaan itu ditembakkan lagi ke mukaku, ketika menghadapi pelanggan yang hadir bagai badai pada siang hari.
"Gurenge? Nong, kamu sedang hamil?" tanyaku kepada seorang remaja muda di depanku.
Perempuan itu tinggi dan langsing, dengan bulu abu-abu memenuhi tangan dan kakinya. Ekor lebat dan terlihat empuk, menggodaku selalu untuk mengelusnya. Ia adalah seorang Husskar, keturunan dari Serigala agung di timur. Jubah coklat yang ia kenakan, gagal menutupi gaun pelayan dan pula raut mukanya yang terkejut.
"Ng-Nggak kok, Dame," bantahnya cepat.
"Terus kenapa kamu meminta obat ini?"
Gadis muda itu mendelik dan menggigit bibirnya, tak mampu menjawab. Tingkah lauknya membuatku curiga. Ada yang disembunyikan oleh gadis ini. Kecurigaanku berakar dari kimia yang ia pesan, Gurenge, sebuah obat yang dulu digunakan untuk pelancar haid, namun sekarang dipakai untuk menghentikan perdarahan saat kelahiran. Tetapi dengan dosis tinggi, obat ini bisa digunakan untuk menggugurkan kandungan.
"Kalau begitu, aku boleh meminta resep dokternya?"
Dengan tangan gemetar, gadis muda itu memberikan sebuah amplop berwarna merah. Semerbak aroma obat yang kucium jelas dari amplop itu segera menceritakan asal muasal surat tersebut. Klinik Dokter Oe, satu-satunya klinik di Pei Jin yang mau mengobati baik Daemon maupun manusia.
Alis mataku menekuk, bukan karena oretan balita lebih baik dari tulisan resep tersebut, melainkan jumlah tablet yang diminta. Dosis yang persis, seperti di textbook kedokteran Universitas Kinje. Dosis menggugurkan janin kurang dari 1 bulan… Masalahnya, dosis itu untuk manusia.
Sang Gadis muda menaruh dengan pelan, amplop lain yang tebal. Dari baunya, aku tahu, di dalam amplop itu adalah uang yang sangat besar jumlahnya. Dengan ragu-ragu, gadis itu berkata, "B-Bisa aku mendapatkan obat itu?"
Menghela nafas dalam, aku menatap kembali ke gadis muda itu. Kuendus dalam mencari bau manusia, tetapi tak kutemukan. Hebat juga dia, untuk ukuran manusia. Tergoda hatiku untuk menyirami gadis itu dengan Heidaron, yang dapat menunjukan wujud asli gadis manusia yang menyamar menjadi Daemon itu. Jika Hwarang mendengar aku menolong seorang manusia yang menyamar menjadi Daemon, aku mungkin bisa diadili karena membantu seorang kriminal. Atau mungkin.. gadis ini hanyalah pesuruh biasa. Namun, bau feromon khas yang memancar darinya... sepertinya hipotesis kedua tidak mungkin.
Haaah, bayaran yang gadis ini siapkan, sudah bisa membayar 1/2 dari hutangku ke Danius. Pilihan yang sulit. Tapi, sebenarnya siapakah aku dapat menghakimi orang lain? Kriminal sebenarnya adalah Oe, yang selalu mengirimkanku pasien-pasiennya yang bermasalah.
Berdiri melangkah, aku mencari toples berisi tablet-tablet berwarna hitam. Dengan sumpit kuambil dengan hati-hati 20 butir jumlahnya, ke atas sebuah kertas putih yang kemudian kulipat dan selipkan ke amplop merah dari Dokter Oe.
Aku memberikan amplop itu kepada sang gadis muda, tetapi ketika ia mau mengambilnya, aku berkata, "Ini ambil, tapi ingat. Memutuskan mengambil sebuah hidup tidaklah segampang meminum obat. Kalau semisalnya, ada orang dengan perdarahan tanpa henti dan orang itu tak bisa berobat ke dokter karena tak mampu mempertahankan sihir berubah wujudnya… suruh dia kesini lagi. Mengerti kau, Nong?"
Gadis itu menggangguk pelan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengetatkan tudung jubahnya, menutupi wajah. Ia pun pergi, hilang dalam lautan hiruk pikuk manusia.
Kupijit keningku dengan sangat, memikirkan permasalahan yang telah mengikatku didalamnya. Mungkin, aku terlalu sombong sehingga berbelas kasih kepada gadis muda itu, padahal, menolong gadis itu justru menggali lubang mautku sendiri. Jika gadis itu mati dan Hwarang memutuskan untuk menyelidikinya lebih lanjut dan menemukan aku memberikannya obat itu, habislah sudah.
Meskipun aku tahu semua resiko, tetapi aku tetap saja menolongnya. Aku tidak mengerti kenapa ketika menolong gadis itu, aku merasa seperti menolong diriku sendiri? Apakah perbuatanku hanya ingin memuaskan egoku.. ataukah sebenarnya, hatiku ingin keluar dari penjara masa lalu?
... Tidak, aku melakukan itu untuk mendapatkan duit.
Kulirik duit tebal lagi itu dan haiissh, mengutuk diriku sendiri. Duit-duit-duit, haissh, dasar sumber masalah. Aku hanya berdoa, semoga gadis itu batal menggunakan obat itu.
Waktu telah menunjukkan pukul 12.00, aku pun menutup pintu toko dan memasang tanda "Sedang Antar Pesanan" di depan, bersiap untuk mengantar kimia pesanan dari orang-orang.
Setelah makan siang, sambil membawa makanan aku melihat laki-laki tentara di kamarku. Tertidur di bawah cahaya matahari, laki-laki itu terbalut oleh selimut putih. Sambil menaruh makanan di atas meja, aku memperhatikan kondisinya. Damai wajahnya, mulai memerah sebab darahku mulai memperbaiki tubuhnya dari dalam. Mungkin, ketika mentari telah terbenam, iris merah itu pun akan terbit.
"Haiish, apa yang kulakukan sebenarnya," gumamku mengacak rambut, pusing dengan pilihanku yang selalu ingin menolong orang lain. Padahal, masih banyak masalahku sendiri yang belum terselesaikan.
Beberapa saat kemudian, di depan gudang toko, setelah menaruh tong terakhir gerobak kayu tua segera diriku melompat dan membangunkan kudaku. Tanpa ampun, aku menendang bokong seksi kudaku yang pemalas, membangunkannya dari tidur siang yang nikmat. Kuraba punggungnya dan kupasang sebuah lingkar sihir yang membuatnya mengerti apa yang kukatakan. "Gooo!! Kuruma!" teriakku. Tanpa harus dipacut, kuda itu terhipnotis untuk segera melaju menembus keramaian jalan Pei Jin.
Sinar matahari terik tepat di atas kepalaku, menyinari kota kawah besar tempatku bernaung. Kota tua yang berusia lebih dari dua ribu tahun, lahir dari sebuah tempat peristirahatan bagi pedagang dari tiga dunia. Dilindungi oleh bumi sendiri dan dialiri oleh sungai besar Arisia yang bermuara di laut Venesia, para pedagang berhenti berkelana dan tinggal disini, sekedar beristirahat hingga menetap. Hasilnya, sebuah kota besar pun muncul, dengan berbagai budaya, bahasa, orang dan juga cerita bercampur aduk di dalamnya.
Kota itu kemudian mereka namakan Pei Jin yang berarti Kota Kebebasan. Hanya di kota inilah dari seluruh muka bumi, manusia dan Daemon hidup berdampingan, setara tanpa adanya tuan dan babu. Meskipun diskriminasi masih ditemukan disana-disini, tapi manusia dan Daemon dapat hidup berdampingan adalah keajaiban di dunia ini.
Jalan Pariyastra penuh oleh huru-hara orang-orang dengan berbagai ras dan pula barang dagangan. Mulai seorang tikus yang kecil yang mencari keju untuk keluarga, kucing gendut yang sedang menagih hutang, manusia yang sedang berunding dengan para Daemon, hingga badak dan gajah yang membuat macet jalanan. Ada yang berlari memanggul barang di punggungnya, ada pula menarik gerobak barang sepertiku dan tentu ada yang sedang sibuk tawar-menawar sampai suaranya terdengar sepanjang jalan. Semuanya sibuk mencari uang di tengah kesempitan.
Kota yang tiada mati.
Di tengah terik matahari, aku mengirimkan pesanan-pesanan bagi mereka yang tak sempat atau tak mampu datang ke tokoku. Beberapa pesanan tersebut adalah obat yang diresepkan oleh 2 dokter yang bekerja di kota ini, yaitu dr. Oe dan juga dr. Yusa. Para apoteker juga telah kewalahan memenuhi permintaan pasar, sehingga akupun turut mereka andalkan. Mereka meminta tolong kepadaku untuk membuatkan obat dan mengirimnya ke pasien yang tidak terjangkau oleh klinik. Begitu banyak daftar pesanan itu, membuat kepalaku pusing sendiri sebab hanya aku Chemo-ika di kota ini.
"Haiissh, kenapa sih sulit sekali untuk menolak?" gumamku mengutuk diri dan kerepotan yang kubawa bersama hidupku.