"Buka pintunya, dazholina!!"
Sebuah gedoran pintu membuat telingaku langsung berdiri, begitu juga semua bulu kudukku ketika mengenali suara itu. Anjir, tak salah lagi, suara itu milik si gembrot Danius! Lintah darat tempatku meminjam uang untuk usahaku.
Haiissh, bagaimana bisa aku lupa! Hari ini adalah tenggat waktu aku membayar hutangku beserta bunga-bunganya. Secepat kilat aku berlari ke bawah, membuka kasir dengan cepat dan menghitung uang lebih cepat dari mesin bank, tapi dengan teriakan di luar rumah itu, membuatku gopoh dan menjatuhkan semua uangku ke lantai.
JEBRAK!!
Sinar matahari segera menyerang mataku, dari pintu toko yang didobrak oleh para babi pink nan kekar dengan muka yang sangar. Mereka kemudian masuk dan mengerumuniku, menutupi jalan untuk kabur.
Seorang cebol gendut mendorong mereka, menatapku dengan matanya yang besar dan merah. Ia menarik kerah bajuku. Nafasnya memburu, bau seperti nafas naga. Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu, persis seekor kucing berwarna abu-abu. Mata kuningnya yang tajam itu menatapku dengan bengis, dan taring-taringnya pun mencuat ketika berkata kepadaku,
"Oi betina! Aku datang untuk menagih uangku, yang telah kau tunda 1 bulan yang lalu!"
"I-I-I-Iya," kataku ketakutan.
Dengan gesit tanganku mengumpulkan semua duit itu, kemudian memberikannya ke Danius dan berkata,
"I-Ini, Tuan."
Danius merampas uang di tanganku, lalu menghitungnya dengan cepat meskipun memiliki jari-jari pendek nan gendut. Tiba-tiba ia terhenti dan alis menekuk heran, "Bunganya mana?!" teriak kucing besar itu marah.
Aku langsung bersembah sujud dan berkata, "A-Ampun Tuan Danius. Karena perang, harga bahan baku meningkat, sehingga aku tak dapat memenuhi bunga yang Tuan minta."
"Pembohong!" teriak Danius yang menghentakan tangannya ke rak jualku, sehingga salah satu toples itu pun terjatuh dan pecah. "Lu kira bisa nipu gua, Danius yang Hebat, penguasa distrik Pariyastra ini!? Gue tau sehari-hari Chemoi-ika ngejual mesiu sihir untuk perang di utara. Sekarang, dimana semua uang itu?!"
"A-Ampun Tuan. Sungguh, aku tak mengerti maksud Tuan!"
Danius menggeram lalu memerintahkan anak buahnya mengobrak-abrik tokoku, mencari-cari dimana aku menyembunyikan uang itu. Mereka bengis dan sembrono, dengan mudahnya mereka memporak-porandakan tokoku itu. Satu persatu toples kacaku mereka pecahkan. Lemari dan laci mereka bongkar dan ketika kesal tak menemukan apapun mereka merusaknya.
Pada akhirnya, mereka kembali dengan tangan hampa sehingga Danius menarik rambutku dan membentak, "Katakan dimana semua uang itu, Betina!"
Tak mendengar jawaban, Danius kemudian menghempaskan kepalaku hingga membentur meja. Menghela nafas geram ia menunjuk mukaku,
"Satu minggu. Jika dalam satu minggu lu nggak bisa ngasih uang gua, ucapkan selamat tinggal pada kebebasan lu. Gua bakal ngejual lu ke pedagang babu," teriaknya.
Sebelum pergi, Danius tiba-tiba mengendus-endus tokoku dengan curiga. Ia memicingkan matanya dan mengikuti bau itu, menggeram, "Bau ini... Manusia! Betina, lu menyembunyikan manusia bersamamu?"
Adrenalinku langsung memuncak dan secepat kilat aku mengambil toples Heidaron, sebuah serbuk berwarna coklat dan memecahkannya ke lantai. Bersamaan dengan pecahnya toples itu, sebuah aroma pun muncul dan membuat Danius memegang hidungnya dengan sangat, "Bau ini, tak salah lagi , manusia."
"T-Tidak Tuan, ini adalah Heidaron, serbuk sihir yang digunakan para daemon jika ingin menyamar menjadi manusia di utara," kataku berusaha meyakinkannya. Aku tahu Danius mengenal serbuk sihir ini, sebab sebelum menjadi lintah darah, kucing tua itu adalah seorang tentara yang berperang di utara.
Ayolah! Percaya denganku, kucing gembrot. Kutelan ludahku sendiri, menantang takdir. Apabila kucing tua ini tahu ada manusia buronan di kamarku, maka tamatlah riwayatku. Tak hanya menjadi babu, mungkin aku bisa dipenjara!
Danius menatapku dengan curiga sambil mengelus kumisnya, sebelum akhirnya menyengir, "Aroma yang menyebalkan. Ingat, lu cuma punya waktu 1 minggu! " katanya yang kemudian pergi dari tokoku, bagaikan badai petir.
Bersandar di tepian meja, adrenalinku turun bersamaan dengan helaan nafas yang panjang. Untung aja, dia percaya denganku. Kalau tidak, bisa berabe. Kini, rasa sakit di kepala yang menyambutku. Satu minggu, kah? Haaahh... Darimana aku bisa mendapat uang sebanyak itu dalam seminggu? Tapi, bagaimana pun caranya, aku harus mendapatkan uang itu jika aku masih ingin mempertahankan kebebasanku dan juga.. tokoku yang berharga ini.
Kulihat lagi seluruh tokoku yang kini porak-poranda. Aku mengais-ngais sisa daganganku yang masih dapat dijual, tetapi aku menyadari bahwa semua sia-sia. Setelah kimia sihir mencium bumi, kandungan sihir di dalamnya pun lenyap dan kini ia hanyalah bubuk biasa yang tiada guna… Selain untuk membuat mesiu sihir. Apakah aku mesti membuat mesiu sihir untuk melunasi hutangku?
Tanganku gemetar begitu hebat, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang kan terjadi. Berapa banyak darah akan tertumpah dengan mesiu itu? Berapa banyak anak yang harus meninggalkan keluarganya, berapa banyak anak yang akan kehilangan ayahnya, berapa banyak adik kehilangan kakaknya, di tangan mesiu sihir itu?
"Aku… tidak ingin dengan tangan ini, aku menyakiti orang. Tidak lagi..." Kata-kata itu sendiri terdengar seperti kemunafikan egoku, namun, untuk mengarungi kehidupan ini... aku tak punya pilihan lain selain memegang perkataan itu.
"P-Pertama, toko harus buka dulu, seadanya," gumamku yang tertatih beridiri, mulai membersihkan kekacauan itu.
Jam telah menunjukan 15 menit sebelum jam 8, ketika aku berhasil membereskan kembali toko. Aku segera bergegas mandi dan bersiap-siap, namun sebelumnya, melihat keadaan anak semalam di atas. Anak laki-laki itu belum terbangun. Dengan damainya ia tertidur tak menyadari kegaduhan yang terjadi di bawah. Menghela nafas lega aku, mengetahui bahwa ia pulih dengan baik.
"Jangan khawatir. Tidurlah dan sembuhlah. Aku… akan menyelesaikan semua ini," gumamku sambil mengusap kepalanya.
Mataku pun melihat liontin kristal milik anak laki-laki itu, yang terbaring di meja di samping tempat tidur. Bertahun-tahun aku mempelajari mineral dan ilmu sihir, sehingga mataku lebih tajam dari orang lain ketika menilai sebuah batu.
Bulu-buluku langsung merinding setelah meraba batu liontin itu. Demi Tuhan, begitu besar sihir yang terkandung di dalamnya! Hanya sekali seumur hidup, aku meraba sihir sebesar ini dalam sebuah konsentrat sihir. Batu liontin ini persis seperti yang kukenakan sebagai kalung. Terbesit di pikiranku, bahwa batu ini mungkin bernilai lebih dari satu juta di pasar gelap. Uang yang sangat-sangat-sangat cukup untuk melunasi hutangku bahkan membuka banyak cabang di kota lain.
"Bagaimana benda ini bisa di tangan anak laki-laki ini?" gumamku bingung, terbelenggu oleh misteri yang kutemukan.
Ingatan masa sekolah menyapaku. Seorang Profesor pernah menceritakan pengalamannya setelah ekskavasi reruntuhan kota kuno. Dahulu, leluhur manusia pernah melakukan sebuah percobaan gila untuk menciptakan sumber energi tak terbatas; mereka ingin menciptakan suatu entitas yang memiliki tarikan gravitasi melebihi dunia. Untuk itu, mereka membutuhkan sumber sihir yang begitu besar dan mudah dibuat. Beruntung sekali bagi manusia menemukan para Daemon, yang saat itu mereka anggap tak lebih dari seekor ternak dengan sihir. Kegilaan dan kesadisan pun terjadi dan hidup ratusan juta Daemon melayang demi percobaan gila yang tak masuk akal.
"Tetapi, percobaan itu meninggalkan jejak," kataku memperhatikan batu berwarna merah darah itu. Ketika aku menerawangnya di bawah cahaya matahari, tiada cahaya yang berhasil menembusnya.
Meskipun akhirnya, percobaan itu gagal dan membuat peradaban leluhur manusia sirna dalam satu malam, sebuah keajaiban lahir.
Quartz, nama batu ini. Konsentrat sihir dari ratusan juta Daemon, atau dengan kata lain, essensi dari jiwa mereka sendiri. Akumulasi dendam yang ada di dalam batu ini, bila jatuh di tangan yang salah, dapat digunakan untuk menghancurkan sebuah peradaban dengan jentikan tangan. Atau… memberikan kekayaan tiada batas bagi orang yang menjualnya.
Aku menelan ludahku. Kepalaku membayangkan berapa banyak uang yang kudapatkan jika aku menjual batu ini ke Kerajaan Kinje ataupun Uni Erites yang sedang berperang di utara…
Tapi aku menggelengkan kepalaku, mengusir pikiran jahat ini. Lalu tertawa kecil dan menaruh kembali batu itu ke tangan anak laki-laki itu.
"Aku yang menabur masalahku, maka akulah yang harus menyelesaikannya," gumamku.
TING-TING
Bunyi bel toko terdengar di bawah, tanda seorang pelanggan telah masuk ke dalam toko. Minatku telah pakem. Yosh! Semangat Ecclarista, satu-satu cara untuk melunasi hutangku adalah bekerja dengan keras! Aku pun tersenyum dan segera turun ke bawah, menyambut pelanggan tersebut.