Gemercik air layaknya melodi sumbang dari alat musik menyedihkan. Sebuah baskom kayu yang bocor, air yang berwarna kemerahan oleh darah, dan pula kedua tanganku yang tak henti-hentinya menggosokkan diri. Aku berusaha menghilangkan noda darah itu dari tanganku, tetapi berkali-kali kulihat tanganku, noda itu seakan tak pernah menghilang. Hingga gosokan lembut berubah menjadi kuku jemari dan aku tak tahu lagi darah siapakah di tanganku itu, yang telah bercampur dengan luka baru.
Kekh…! Nyeri tajam menyelimuti tanganku, tetapi tidak sehebat palu yang terus menghantam kepalaku itu. Tiap kali gemercik air itu memekakkan telingaku, begitu pula suara-suara di kepalaku berputar terus menerus, layaknya fonograf yang rusak.
"Kakak adalah penyihir terhebat di Hilfheim, aku percaya kalau Kakak disini, kita semua bisa melihat musim semi tahun depan ."
Suara seorang anak gadis melengking di telingaku, meskipun telah aku berusaha menghilangkannya dengan suara gemercik air dan juga nyeri di tangan. Tetapi percuma, suara itu semakin keras dan semakin keras hingga aku menutup telingaku dengan erat dan mengerang sekeras-kerasnya.
"Kakak telah memberikanku, gadis lemah ini, harapan. Kira-kira, Kak, apakah di musim semi esok, aku dapat melihat padang bunga?"
"Maaf, maaf maaf-maafkan aku!! Maafkan aku!!" teriakku.
Tetapi suara itu tak mengenal kata ampun. Ia melingkari kepalaku, mengerumuniku sehingga aku tak dapat lari. Ingatan dari masa lalu pun bermunculan satu persatu, mendesak kewarasanku hingga diujung tanduk. Mataku kemudian terbuka dan dari air tenang di baskom itu, aku dapat melihat wajahku yang tak karuan perlahan berubah menjadi sosok malaikat itu, yang menatapku dengan penuh tanya,
"Mengapa Kakak meninggalkanku?"
Kutendang langsung baskom itu, hingga aku terpleset dan menyantuk kepalaku di dinding. Tetapi suara itu tak kunjung hilang, sama seperti usahaku sebelumnya. Tanganku gemetar meronggoh sakuku, mengambil sebuah bungkus kertas. Dengan tergopoh-gopoh, aku membuka kertas itu, dan menghirup seluruh serbuk kristal biru di dalamnya.
Perlahan suara itu pun menghilang, namun begitu pula kekuatanku. Aku menyandarkan diri di dinding kamar mandi itu, melihat ke arah lampu pijar biru tak jauh dariku. Berpikir, hingga kapan aku akan hidup seperti ini? Dihantui oleh masa lalu dan mengharapkan obat-obatan penekan otak untuk menekan suara itu, meskipun ia akan membunuhku perlahan…
Entahlah berapa lama aku akan hidup…
Tapi sejujurnya, apa bedanya hidup dan mati bagiku? Aku telah kehilangan cahaya dalam lentera hidupku dan kini, tubuhku mengambang di sungai gelap kehidupan tanpa arah. Menunggu muara akhir yang akan menelanku. Buta, dan tak tahu apa-apa. Tak kemanapun. Dan akhirnya. Mati.
Setelah kekuatanku kembali, perlahan kubangkit berdiri. Melangkah dengan berat, aku membawa tubuhku ke kamar. Di mulut pintunya, aku bersandar memperhatikan laki-laki tentara, yang berbaring tak sadarkan diri di tempat tidurku. Tubuhnya terlilit kain putih yang menutupi lukanya bersama obat. Di tangan kanannya, telah terpasang kanul sihir yang mengalirkan perlahan darahku padanya, yang kebetulan tak bereaksi dengan miliknya.
Burung hantu menyebalkan itu telah mempersilahkan dirinya masuk dan menggantungkan diri dalam jaket dan seragam laki-laki itu yang kugantung. Dengan matanya yang besar, ia memperhatikan gerak-gerikku dengan sangat.
Aku duduk di samping kanan laki-laki tentara, melihat wajahnya yang begitu muda. Belum ada tanda jerawat maupun kumis, kulitnya bersih tanpa noda. Rambutnya yang berwarna perak itu, meskipun sama dengan milikku, namun ia bukanlah suku Muso sepertiku, keturunan iblis rubah dari gunung Brenda. Laki-laki itu adalah seorang manusia dengan ras Ellwind, ras dari Kerajaan manusia Kinje yang sedang berperang dengan Negara Daemon Uni Erites di utara. Aku gemetar memikirkan apa yang telah kulakukan… Menyelamatkan seorang monster yang mungkin saja telah membunuh ratusan Daemon?
Tetapi, seberapa pun akal dan hatiku bertempur, pada akhirnya aku menolongnya. Tapi mengapa? Aku menertawakan diriku sendiri yang mengira masih pantas menolong seseorang... setelah apa yang kulakukan. Apakah tindakanku sebuah empati kepadanya... ataukah hanya dorongan ego dalam diriku, yang hanya ingin membuktikan diri mampu menolong orang lain?
Sadarlah Ecclarista, seberapapun kamu mencoba memperbaiki masa kini... kamu tak mampu mengubah masa lalu.
Menghela nafas, aku pun memperhatikan anak itu. Laki-laki semuda dirinya telah berperang di medan perang Hilfheim yang ganas. Takkan ada yang mengingat maupun merindukannya jika ia yang mati. Tetapi, Laki-laki ini dengan bodohnya pergi menembus medan pertempuran hebat, melewati padang gurun Heimskarr yang mematikan, untuk mencapai Kota Bebas Pei Jin.
Tetapi, untuk apa? Apakah ia sama denganku, yang melarikan diri ke Selatan dan mencoba memulai hidup baru? Ataukah ia, sama dengan ribuan manusia yang mencapai kota ini... berharap untuk menemukan obat mujarab, Bunga Lentera, yang telah hilang bersama sang Daemon bulan?
Luka-luka disekujur tubuh laki-laki ini menunjukkan pertempuran yang sangat hebat. Pastinya, Hwarang, polisi kota bebas Pei Jin takkan membiarkan manusia masuk seenaknya di kota ini. Hanyalah manusia pedagang tertentu dan tenaga spesialis seperti dokter yang boleh tinggal di Pei Jin. Tentara? Jangan harap. Tetapi, laki-laki ini masih dapat menghampiriku meskipun terluka hebat... dengan kata lain, ia telah mengalahkan satu korps Hwarang. Dan dengan kata lain pula... ia adalah seorang buronan yang paling dicari di kota Pei Jin.
Haaaahh... Ecclarista, Ecclarista. Apa yang kamu telah libatkan dirimu sendiri sekarang? Jika tetangga tahu aku menolong seorang buronan Hwarang, apalagi seorang tentara manusia, habislah riwayatku... Untuk apa perjuanganku, melarikan diri dari utara, apabila di Selatan pun, aku diasingkan?
Aku merebahkan kepalaku di samping laki-laki itu. Tak ada gunanya mengira-ngira jawaban itu, solusi mudah adalah menanyakannya pada orang itu sendiri esok. Rasa lelah telah menguasai mataku, atau mungkin saja.. kantuk ini efek samping obat itu.
Mataku terasa berat sekali dan tanpa kusadari…
+ + + + + +