Chereads / Bunga Lentera / Chapter 2 - Manusia di tengah Para Daemon (1)

Chapter 2 - Manusia di tengah Para Daemon (1)

Hari itu, aku bermimpi.

Serbuk bunga menggelitik hidungku, tanganku memegang topi bundar, menghalangi sinar mentari yang terik di lembah bunga tempatku berdiri. Padang Bunga Olivia, nama tempat itu yang memiliki keindahan menandingi surga.

Di depanku, kamu sedang sibuk merangkai sebuah mahkota bunga sambil tertawa kecil. Dengan kaki kecil itu, kamu kemudian berlari kepadaku. Lembut tanganmu memegang tanganku, ketika kamu memberikanku mahkota bunga dengan senyuman yang manis dan mata penuh cahaya harapan.

Kamu, malaikat cilik dengan pakaian serba putih. Malaikatku, Lumina-ku yang selalu kurindukan sepanjang hari, namun kutakuti ketika mimpi datang di terang bulan.

Tetapi, kamu menggenggam tanganku dan berkata bahwa aku memiliki tangan yang begitu indah. Kamu berharap bahwa dengan tangan ini, aku dapat membawa kebaikan ke dunia.

Tangan yang membawa kebaikan? Aku bertanya, namun engkau tak menjawab. Sebab kemudian seluruh bunga di padang itu kering dan mati. Dari tanah mencuat kubur-kubur tanpa nama. Tangan yang kamu bilang indah itu, kini telah penuh dengan luka dan darah yang mengalir dari kubur-kubur itu.

"Mengapa Kakak meninggalkanku?" katamu kepadaku.

Kamu pun berdiri di pemakaman, termangu menatapku dengan mata kecewa. Darah di dadamu yang kosong mengalirkan darah menuju tanganku. Dari balik kegelapan, tangan-tangan sang kematian telah memelukmu dari belakang, menarikmu menjauh dariku.

Seberapa pun aku berlari, seberapapun aku berteriak memanggil namamu... Kamu tak pernah menoleh kepadaku. Hingga akhirnya kamu pun dimakan oleh kegelapan bersama semua dari kubur itu, semua yang dahulu sangat berarti bagiku... Seperti bintang di langit yang hilang kala bulan bersinar terang.

Disana, aku menatap kedua tanganku yang bersimbahkan darah. Oh.. Lumina-ku... Adikku yang paling kusayangi. Bagaikan bulan di langit, seberapapun terang sinarku di langit, melindungi adikku sendiri pun... aku tak mampu melakukannya.

NGIIIINNNGG!!

Huwaah ! Apa itu? Aku membuka paksa mataku, tetapi jantungku langsung terkejut ketika melihat cairan di dalam tabung erlemenyer di depanku, bersinar merah terang dan berbunyi keras. Asap telah mengepul dari tutup tabung. Anjir! Sebentar lagi tabung itu akan meledak dan mengacaukan laboratorium. Tidak-tidak-tidak, aku tidak boleh membiarkannya. Segera tanganku merabanya dan bibirku mengucapkan mantra,

"Glacia!".

Sebuah cahaya biru melingkari tabung merah tersebut dan menghembuskan hawa dingin. Cairan merah di dalamnya pun berhenti bersinar, begitu pula kepulan asap di mulutnya. Aku menghela nafasku lega dan mengacak-ngacak rambutku.

"Hampir sajaa… "

Sekali lagi, nasibku beruntung. Bilasaja semenit aku tak terbangun, hilanglah mata pencaharianku. Padahal hutang masih menumpuk beserta bunganya. Haaahh… Ecclarista, Ecclarista, sampai kapan kamu ceroboh sih? Sudah kepala tiga tapi belum belajar dari kesalahan masa lalu. Kota Pei Jin tempatmu tinggal bukanlah kota yang ramah pada mereka yang tak berduit, tahu?

Setelah menepuk pipiku sendiri dengan keras, aku pun membawa tabung erlemenyer tersebut dan menuangkannya pada tabung labu terbesar diantara deretan tabung besar lainnya. Gruhningen, nama alat itu, sebuah alat transmutasi yang mengubah subtansi sihir yang tidak stabil menjadi kimia yang nyata.

Cairan merah itu mengalir dalam pembuluh Gruhningen yang berbelit-belit, melewati satu tabung ke tabung lainnya. Setiap kali masuk dalam sebuah tabung, dentuman-letupan pun muncul. Tabung satu pun saling sahut menyahut dentuman tabung lainnya, menciptakan sebuah musik yang membangkitkan semangatku. Uniknya, karena perbedaan ukuran masing-masing tabung, dentuman itu pun memiliki nada yang memancing imajinasiku bermain. Kadang, dentuman-dentuman itu menciptakan melodi lagu pop yang sering kudengar di jalanan Pei Jin, kadang nadanya tidak masuk akal dan aneh. Tidak dapat diprediksi, tetapi aku menikmatinya sambil mengetuk-ngetuk kakiku.

Sambil menunggu, tato naga merah di telapak tanganku membuatku termenung. Duabelas tahun lalu, aku tak pernah berpikir menjadi seorang Chemoi-ika, atau seorang penyihir yang menjual kimia sihir sebagai pencahariannya. Malah, aku membenci menjadi seorang pedagang yang kuanggap licik dan opportunis. Tetapi, layaknya seorang tahanan takdir, ombak nasib membawaku ke pekerjaan yang kubenci dan kini ternyata... cukup nikmat dan menguntungkan... yaaa, jika tiada utang melilit.

Seorang Chemoi-ika bukan hanya dituntut memiliki ketelitian yang sangat, tetapi juga imajinasi dan intuisi dalam meracik subtansi dasar. Perbedaan 1 gram dapat menciptakan kimia sihir baru yang berbeda fungsinya. Profesi ini tergolong baru dan langka sebab permintaan terhadap kimia sihir melonjak tinggi sejak revolusi industri. Juga, tak sembarang orang dapat menjadi Chemoi-ika, karena mereka harus memiliki potensi dan keuletan sihir setara Arcwizard, kelas penyihir tertinggi.

Tetapi... Modal yang dibutuhkan untuk mendirikan toko ini sangat besar sehingga aku harus berhutang banyak. Meskipun begitu, kondisiku lebih baik dibandingkan puluhan ribu lainnya, yang harus bekerja siang malam sebagai buruh di pabrik dengan upah yang hanya cukup membiayai makan sehari-hari.

TING! Ah, suara marching band itu akhirnya berhenti. Dengan hati-hati kulepas pembuluh pada tabung terakhir yang lebih kecil darit tabung lainnya. Perlahan kuangkat tabung kecil itu dengan dua tang besi dan menumpahkan serbuk merah bersinar di dalamnya ke atas koran. Senyuman merekah di bibirk. Satu set Aether pun telah jadi dan langsung kutaruh di toples gelas bertutup mantra sihir.

Aku membawa toples gelas itu ke tokoku yang kecil dan sederhana. Seluruh sisi toko terdapat rak-rak yang berisikan berbagai produk kimia sihir dengan berbagai aneka ragam warna dan bentuk. Sebagian besar berbentuk serbuk, tapi ada juga yang berbentuk kristal menyala yang cantik dengan cahaya-cahaya kecil bermunculan di dalamnya.

Aether, serbuk merah yang hampir membuat lab-ku meledak itu merupakan medium sihir yang baik. Ia seringkali digunakan sebagai bahan bakar lampu pemanas rumah ataupun bahan baku obat-obatan lain. Produk lainnnya yang nge-hits di kalangan ibu rumah tangga adalah Myrine's flute, sebuah cairan sihir pembersih serbaguna yang dapat menghilangkan noda paling bandel sekalipun. Black cats juga populer di kalangan orang tua, sebab rambut ubanan itu bisa berubah kembali menjadi hitam gemilang tanpa reaksi alergi. Dan masih banyak lagi kimia sihir di tokoku.

Di meja kasir, berbagai pot bunga kecil menjadi hiasan manis di toko itu. "Bunga Lentera" namanya, sebuah bunga dengan mahkota yang transparan yang memunculkan sinar terang dari pembuluhnya ketika diberikan sihir. Berkat bunga tersebut, malam di kota Pei Jin menjadi terang oleh keindahan warnanya.

Melihat puluhan produk di kounter tokoku, aku termenung kembali, membayangkan seseorang dari masa lalu. Entah, apa yang ia katakan kepadaku, jika ia tahu kini aku telah menjadi seorang pedagang. Entah sampai kapan aku melakukan semua ini… Tapi, aku tahu, seberapa lamapun aku melakukan semua itu, bau itu tak pernah menghilang dari kedua tanganku. Bau amis besi bercampur protein dan lemak, yang begitu khas dari bau subtansi lainnya. Darah manusia.

Namun, seberapa kuat pun bau darah itu di tanganku. Aku tak dapat kembali ke masa lalu, ke pekerjaan yang dulu pernah menjadi lentera hidupku.

Tidak lagi.

Hari telah larut, dan mentari kini digantikan oleh tiang-tiang lampu besar berisi bunga lentera yang bersinar terang dan hangat. Lapar merajai perutku, seperti monster yang terus mengaung-ngaung minta perhatian. Aku pun pergi keluar dari toko untuk mencari makan.

Angin musim gugur memaksaku untuk mengetatkan jaket kulitku. Setiap nafasku, mulai menghembuskan embun yang terlihat. "Musim dingin akan segera tiba, hmm. Duh, kira-kira pelanggan bakal menurun nggak ya?" gumamku menghangatkan tangan.

Setelah mengunci pintu toko itu, tiba-tiba seekor burung hantu mematuk kepalaku. Kesal aku pun berusaha menangkap burung hantu itu hingga seseorang tiba-tiba berbicara padaku,

"… T-Tolong aku, siapapun,"

Aku menoleh dan melihat laki-laki muda berambut hitam, lebih muda dariku, dengan seragam militer asing penuh dengan koyakan disana sini. Dari pelipisnya, mengalir darah segar dan nafasnya terengah-engah. Di tangannya, ia memegang sebuah kalung perak dengan liontin berwarna merah darah.

Nafasku tertahan ketika menyadari bahwa laki-laki itu adalah seorang manusia dan lebih parah lagi, seorang tentara. Semua ekor yang lewat disana, hanya menatap laki-laki itu dengan takut dan berlalu saja. Hatiku terenyuh melihatnya, tetapi akal sehatku berkata lain. Tinggalkan saja orang itu, tak ada sesuatu yang baik muncul dari seorang manusia! Itu yang akal sehatku serukan, layaknya sebuah insting. Tetapi, rasa gusar segera memenuhi dadaku.

"T-Tolong aku… aku... belum boleh mati... Masih banyak yang membutuhkanku..." kata bocah laki-laki yang kemudian mendekatiku dan menggapai tanganku. Laki-laki itu menatapku dengan matanya yang merah bersinar seolah memandang pada sebuah harapan. Kekuatan tubuhnya mengkhianati bocah itu, ia pun terjatuh.

"O-O-Oi! Kamu kenapa?" tanyaku, namun sia-sia. Ia tak dapat mendengarku lagi, seberapa keras pun aku mengguncang pundaknya.

Menghela nafas dalam, mengutuk diriku sendiri. Sial, aku melihat matanya. Aku pun segera membuka pintu tokoku lagi dan segera menyeret laki-laki itu ke kamar tidurku. Kubongkar isi lemariku, dengan gopoh mencari-cari benda yang telah kusembunyikan dari pandangku selama bertahun-tahun. Hingga di antara tumpukan gaun tua tak terpakai, aku menemukan benda usang itu. Sebuah koper kulit berwarna coklat gelap dengan pengunci yang sudah karatan.

Tanganku gemetar ketika menyentuh koper itu, bersamaan dengan ingatan-ingatan yang ingin kulupakan seakan tertembak masuk kembali di otakku. Namun, erangan dari laki-laki itu membuatku menyingsingkan lengan dan membuka koper tua itu, yang segera menyambutku dengan peralatan medis sihir yang begitu lengkap.

Kuambil semua barang itu dan segera melompat ke anak itu, meskipun rantai di masa lalu berusaha menarikku. Manusia maupun Daemon, aku tak peduli sebab di dalam hatiku aku hanya berdoa, kiranya waktu mengijinkanku untuk tidak menjadi saksi kematian lagi.