Chapter 19 - Bab 19

Jum'at, 06 Maret 2020.

Sebuah berita menyiarkan Update khasus Virus Corona yang saat itu telah terjadi di 84 Negara sebanyak 97.885 dengan total kematian 3.348 jiwa, sementara untuk khasus sembuh telah mencapai 50 persen dari jumlah khasus sekitar 53.795.

Italia menjadi Negara di luar China yang memiliki tingkat kematian tertinggi akibat covid 19, dan disusul dengan Iran, sedangkan Inggris telah mengumumkan khasus kematian pertamanya akibat wabah Virus tersebut.

Indonesia sendiri ada sekitar 156 pasien dalam pengawasan Virus Corona yang tersebar di beberapa rumah sakit di 23 provinsi, dan 2 diantaranya telah dinyatakan positif.

Banyak berita membahas topik tersebut, yang seakan telah menjadi perbincangan hangat banyak media, bahkan virus ini berdampak penuh pada kesetabilan ekonomi. Berbagai kebijakan lockdown pun juga telah terlaksana di beberapa Negara, panic buying juga masih terjadi di banyak tempat, kebutuhan mulai terasa mahal, penimbunan dan pemborongan seakan menjadi musuh bersama.

Perlengkapan medis saat itu mulai amat begitu langkah, beberapa diantaranya yaitu masker, sarung tangan medis, hand sanitizer, dan juga obat multivitamin yang disinyalir cocok sebagai bentuk daya tahan tubuh. Kebutuhan itu juga merambat pada persediaan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, yang biasa dibuat untuk jamuan minuman penambah stamina.

Meskipun begitu banyak masyarakat yang membelinya walau dengan harga yang sudah naik, dan di pagi ini aku kebetulan sedang berada di pasar untuk membeli bahan makanan yang bisa kumasak sore ini. Tony memintaiku untuk membuatkannya jamu, tapi aku sangat kerepotan bila mencari bahan yang saat ini kondisinya sangat sedikit. Maka saat itu juga kuganti dengan buah belewah untuk kubuat es.

Aku sebenarnya teringat oleh rencanaku kelak yang ingin menjual salad buah, tapi jujur saja kalau saat ini aku memang belum siap untuk memulainya.

"Kayaknya dari dulu gak pernah masak ikan, tumben." Kata Tony saat aku telah selesai belanja bahan makanan. Kami terpaksa berbelanja dengan berjalan kaki dari rumah nenek yang letaknya kebetulan tak jauh dari pasar, jaraknya sekitar kurang lebih 200 meter, dan itu terlalu dekat bila kami pergi menggunakan motor.

Sore ini nampak begitu ramai, banyak pembeli yang masih ingin berbelanja, aku dan Tony masih tetap memakai masker, dan kami berdua berjalan pulang ke rumah nenek selagi aku sudah selesai berbelanja.

Sepanjang perjalanan itu kami melihat ada beberapa pihak yang bertugas untuk memasangkan washtafel portable di dekat-dekat keramain pasar ini. Mereka juga ada yang memasang alat penyemprotan disinfektan untuk dipasang di jalan-jalan.

Sebenarnya sore ini kami ada jadwal untuk pergi ke Wtc, yaitu pusat perbelanjaan elektronik di kotaku, sebab Tony ingin menempati janjinya kepada Jojo untuk membelikannya Handphone, dan tentu saja adik semata wayangku itu nanti juga harus ikut dengan kami berdua.

Kutahu Tony berniat ingin membuat adikku senang, sebenarnya aku juga udah lama tidak mengajak Jojo berpergian. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri dan membahagiakan diri sendiri bersama Eny dan Andy. Ku harap Jojo bakal senang bila diajak oleh Tony, dia adalah pria yang suka dengan anak kecil, dan Jojo juga merasa nyaman dengan orang yang ramah seperti Tony.

"Jadi nanti kita makan dulu ya sebelum berangkat, aku masakin di rumah nenek." Kataku.

"Iya, semenjak kita jadian aku sama sekali tidak kebingungan soal makanan, kamu mulu yang selalu handel masalah itu." Kata Tony.

"Masa sih? Dulu kadang juga kamu kan yang suka traktir aku makanan, ya kita sama-sama saling membantu lah." Kataku, dan kami berdua berjalan di pinggir jalan, dan di sana kami menelusuri perumahan yang masih dalam tahap pembangunan. Di sana terdapat tanah kosong yang luas dan rindang oleh pepohonan, serta ada kursi umum di sepanjang trotoar itu. Di sepanjang kursi tersebut juga diberi penanda pada bagian tengahnya supaya ada jarak diatara kami yang hendak ingin duduk di sana.

Pikirku pasti akan ada kebijakan baru yang akan diterapkan oleh pemerintah tentang wabah ini, yang kutahu hal itu tak akan separah yang kami bayangkan nanti. Tapi entahlah, aku hanya disini berjalan bersama Tony menatap langit di depan kami, yang terasa lembut, dan terselimuti oleh senja, ungu dan kebiruan.

"Warna kesukaanmu apa Ton?" tanyaku.

"Biru, kalau kamu?" Tanya Tony.

"Mungkin hijau." Kataku.

"Alasannya kenapa kok suka hijau?" Tanya Tony.

"Karena hijau indentik dengan tumbuhan, sehingga bila melihatnya aku seperti menyatu dengan alam." Kataku. "Kalau kamu? Kenapa kok suka biru?" tanyaku.

"Aku suka dengan warna langit, dulu waktu kecil aku suka melihat awan berjalan yang terasa begitu pelan, dan bagiku itu sangat menenangkan." Katanya, dan aku mengangguk sambil menatap Tony.

"Besok hari sabtu, apa kita gak punya jadwal untuk berpergian?" kataku.

"Sekarang itu banyak tempat wisata yang ditutup karena wabah, aku gak mau entar kita kenapa-napa." Katanya.

"Jadi kalau gak kemana-mana, ada dua hari lho kita tidak bertemu." Kataku, jujur saja, rasanya berada di dekat Tony seakan aku tak ingin moment tersebut berakhir.

"Entar aku tunjukin ke kamu tempat yang enak buat nongkrong, cuman buat kita berdua." Katanya, dan aku tersenyum sambil merunduk.

Saat kami sudah sampai di rumah nenek, kami semua makan bersama di dalam ruang makan. Tante Anik dan paman Farid pun juga ada di sana, aku memasak penyetan dengan ikan lele yang telah kubeli di pasar tadi.

Semenjak aku kenal dengan Tony, sikap tante Anik kepadaku mulai baik, dia juga menyukai Tony dan menginginkan supaya hubunganku dengannya lancar. Terkadang sikap tante Anik kepadaku tak seutuhnya penuh kebencian. Ada saat-saat tertentu yang membuat kami saling bermusuhan, terlebih saat di jam-jam longgar yang penuh dengan kejenuhan. Terkadang masalah sedikit saja bisa jadi besar dan kami saling menyalahkan, tapi hal semacam itu tak selalu berangsur lama. Rasa saling sapa dan saling membutuhkan itu selalu terjadi di segala situasi, sehingga kami selalu kembali membaik seperti semula seiring kehidupan dirumah ini tetap berjalan. Tapi sejujurnya di lubuk hatiku paling dalam aku sama sekali tidak suka berada di ruang lingkup kehidupan rumah ini. Tapi kondisi yang membuatku untuk masih tetap bertahan dan diselimuti oleh kepura-puraan.

Maka dari itu aku sebenarnya ingin punya rumah sendiri supaya aku dan Jojo bisa bebas melakukan segala hal tanpa harus ada pertikaian dan perdebatan. Aku juga masih belum menceritakan rencanaku yang ingin memulai buka usaha salad buah kepada mereka semua. Andai saja aku berbica soal itu, mereka pasti banyak yang menyinggungku.

Sore ini terasa begitu hangat, aku memasak makanan buat mereka, sedangkan tante Anik membuat es Belewah dengan syrup-nya yang nampak segar untuk jamuan kami semua.

Ini seperti patungan bagiku, jarang sekali moment ini terjadi di dalam rumah Nenek, mungkin ini berkat atsmosfer dari kedatangan Tony, aku terlalu hanyut dan kagum oleh pria itu.

"Terasa seperti mau bulan puasa aja yah Mel." Kata tante Anik. Aku tersenyum sambil menyiapkan piring untuk kuletakkan diatas meja.

"Haha iya nih, beberapa bulan kedepan kita udah puasa lho." Sahutku, dan Tony membantuku menyiapkan sendok dan garpu untuk diletakkan di atas meja.

"Kalau Tony sendiri lebaran besok mau mudik kemana?" Tanya Tante Anik.

"Oh masih lama tante, mungkin dirumah aja lah." Balas Tony.

"Iya mas, mending gak usah kemana-mana, Korona ini kayaknya bakal banyak yang kena." Sahut Paman Farid.

"Eh kamu sendiri gimana nanti kerjanya? Apa gak lockdown?" Tanya tante Anik pada paman Farid.

"Ya gak lah, kalo lockdown gak bisa cari duit dong." Jawab paman Farid.

"Bener sih, yang ada malah mati kelaparan, gak mati karena korona, iya kan?" singgung Nenek. Dan aku sejenak berpikir soal situasi di dalam kantorku kelak, yang kusadari sendiri tiap harinya banyak pengunjung yang berdatangan, tapi aku menepisnya.

"Ambil yang banyak ya nasi-nya, Tony kalo mau nambah 2 piring gak pa pa, tapi awas aja kalo sampe gemuk, aku gak suka." Kataku, dan mereka semua tertawa sedang.

"Iya dehh, aku kan rajin olahraga, kalo seimbang pasti gak bakal gemuk kok." Katanya, sembari mengambil makanan.

"Jojo sama Nino ibu ambilkan ya?" kata Tante Anik, dan sejenak aku merasakan bentuk keluarga yang sesunggunya. Entah ada apa dengan sore ini yang bagiku begitu menenangkan.

"Aku mau tapi gak usah pake sambel ya tante." Kata Jojo.

"Iya sama aku juga gak pake sambel." Sahut Nino sambil sibuk bermain game.

"Nino, game-nya dimatiin dulu dong sayang, kan lagi makan." Kataku, dan Nino masih tetap tidak mendengarkan.

"Kebiasaan anak itu kalo main Hp gak ada henti-hentinya." Kata Tante Anik.

"Mel, awas lho ya entar kalo Jojo dibelikan Hp, kelakuannya malah kayak Nino." Kata Paman Farid.

"Iya, Jojo entar kalo udah dibelikan Hp dibuat belajar aja ya! Kalo sampe dibuat game terus entar Hp-nya dijual sama kak Tony." Tegur diriku pada Jojo saat dia sedang makan.

"Iya Kak, tenang aja, Jojo mengerti kok." Katanya.

"Emang kalian nanti keluar cari Hp kemana?" Tanya nenek.

"Iya Nek kita pergi sebentar aja nanti di Wtc, kita gak usah lama-lama ya Mel, abis beli langsung kuantar pulang aja, ada korona entar malah kenapa-napa." Katanya, lantas aku tersenyum kearahnya.

"Iya, sekarang dimana-mana sudah pada dibatasi gak boleh kamana-mana gak boleh berwisata dan nongkrong-nongrong, entar kalo udah beli langsung balik aja ya." Ucap tante Anik. Aku dan Tony pun mengangguk.

"Mel, ngomong-ngomong kerjaanmu disana gimana? apa gak ada masalah?" Tanya paman Farid, seberanya beliau tak pernah menanyaiku perihal pekerjaanku atau semacam privasiku. Mungkin karena kebersamaan ini menjadikan apa saja layak untuk dibicarakan. Aku tersenyum dan membalas.

"Syukur gak ada masalah kok, cuman kemaren aja aku sempat kerepotan waktu disuruh nyari masker sama handsanitizer buat stok kantor, tapi untungnya udah nemu sih, barangnya langka banget soalnya." Kataku, sejenak aku teringat oleh mama Firly selaku ibu Tony yang bertugas sebagai anggota medis, sepertinya aku tak perlu membahas beliau di sini.

"Akhirnya kamu dapet-nya di mana Mel?" Tanya paman Farid, sejenak aku berpikir, dan saat itu Tony menatapku dengan mata yang sedikit mengernyit.

"Kalo kamu tau tempat yang masih jual masker tante titip dong Mel." Sahut tante Anik, dan aku menyampingkan helai rambut pony-ku ke belakang telinga, sambil berpikir.

"Emm, iya, kemaren aku dapetnya di apotik K24, tapi itu minggu kemaren sih, gak tau kalau sekarang masih ada apa enggak." Kataku, sambil sedikit mengarang soal pernyataan mama Firly dulu kalau beliau mendapatkannya di apotik itu.

"Kalo kamu ada waktu ke sana lagi tante titip ya Mel, buat persediaan di rumah." Kata-nya, dan diriku mengangguk.

"Iya tante, kalo aku ke sana aku beliin." Sahut Tony. Lantas aku menatapnya, dan tante Anik seketika langsung semringah.

"Wahh makasih ya Ton, Mel, pacarmu ini selain ganteng ternyata baik banget yah." Kata tante Anik, kami semua pun tertawa sedang.

"Jadi kalian ini satu kantor atau gimana sih?" Tanya paman Farid. Dan aku tersenyum.

"Satu kantor paman." Kataku, aku dan Tony saling bertatapan.

"Mereka ini cinta lokasi, gak pa pa lahh, yang penting cocok." Kata Nenek.

"Wahh keren nenek, usia gini tau aja soal cinta lokasi." Kata Tante Anik, dan aku tertawa sedang sambil melihat tawa Tony yang seakan membuatku tak ingin lepas untuk menatapnya. Mungkin sepertinya perlu ada jadwal harian untuk mengudang Tony makan bersama di rumah ini, sungguh dia mampu melengkapi kebersamaan keluargaku. Andaikan ibu juga ada di sini, pasti suasananya akan lebih hangat.

Sore itu saat kami sudah makan bersama, kami bertiga mulai berpamit dan memasuki mobil Tony untuk berangkat ke Wtc. Jojo amat antusias sekali untuk diajak pergi jalan-jalan. Sebenarnya tadi Nino juga mau ikut, namun dilarang oleh tante Anik sebab perihal korona, tapi untungnya Nino tidak menangis histeris.

Helai tanganku memasangkan masker ke wajah Tony, lalu kepada Jojo, kami harus tetap steril sesampai di sana, dan kuharap tak ada masalah apa-apa.

Sepanjang perjalanan itu aku tiada henti untuk tersenyum, mungkin begitu pula dengan Tony. Jojo malah asyik melihat pemandangan kota sore hari lewat kaca ventilasi mobil. Dia seakan menikmati momen ini.

Sesampai di sana, rupanya Wtc tak sesepi yang aku bayangkan, di sana masih tetap ramai oleh pengunjung. Kami bertiga mencoba betanya-tanya ke salah satu retail yang menjual smartphone, dan tangan Jojo selalu jahil untuk memegang-megang smartphone yang terpajang di atas etalase untuk dipamerkan. Dia nampak kagum saat melihat ada smartphone yang menampilkan video gameplay mobile legend, dan dia langsung teriak memanggi Tony.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 20..