Senin, 2 Maret 2020.
Pagi yang dingin dan sejuk, aku tak punya waktu untuk bersantai-santai di hari senin. Jadwalku sangat padat dan seperti tak ada jeda waktunya, sampai aku mengorbankan kebutuhanku untuk tidak membawa bekal sarapan siang.
Salah satu setasiun Tv berita saat itu mengabarkan berita buruk yang menjadi banyak perbincangan dan perdebatan sebagian banyak orang.
"Indonesia mengumumkan pasien positif covid 19 pertamanya, dan pemerintah meminta masyarakat di seluruh Indonesia agar jangan panik. Dua warga Negara Indonesia tersebut diketahui positif covid 19 usai berinteraksi dengan warga Negara Jepang yang diketahui positif mengidap virus serupa." Bunyi suara dari berita tersebut seolah-olah membuatku ikut merasa khawatir.
"Akhirnya Virus Corona masuk ke Indonesia, dimana tempatnya orang-orang kebal akan virus dan penyakit, haha." Kata Amir di sampingku, lalu aku menghampirinya.
"Sok tau banget si, emangnya kamu udah pernah ngerasain kena virus korona?" tanyaku, lalu Amir tersenyum lebar mendengar perkataanku.
"Coba kamu sadar deh Mel, banyak kok kita-kita yang suka makan dan jajan sembarangan tapi masih sehat-sehat saja." Katanya. "Seperti kamu yang suka minum es, makan masakan pedas, beli pentol sampe pake sambel lima sendok, itu undah menandakan kalo kita ini kuat-kuat lho Mel." Imbuh Amir. Sejenak aku berpikir sambil meletakkan sapu di meja sampingku.
"Sebenernya aku juga punya pikiran kayak gitu sih, tapi kenapa di berita itu mereka pada heboh ya?" kataku, sembari melihat berita tersebut di televisi. Di sana ada Bapak Presiden yang sedang berpidato, mengumunkan pasien positif tersebut, beserta kronologinya dan kejadiannya. Jadi mereka sempat mendatangi di sebuah pesta, dimana penderita disinyalir tak hanya berjumlah dua orang saja, namun keberadaan interaksi kedua warga tersebut harus dilacak oleh pemerintah, dimana kasus positif virus tersebut kemungkinan akan bertambah, seiring semua orang yang berada dalam pesta tersebut dilacak keberadaannya beserta kontak interaksi mereka.
"Sampe sebegitunya ya." Ules-ku, dan jujur saja, didalam hatiku ada rasa khawatir tersendiri yang mulai menghantuiku.
Saat itu kami bekerja normal seperti biasa. Keadaan kantorku sekarang sedikit lebih berbeda dari biasanya. Aku yakin sekali, setelah peristiwa kabar tadi, akan ada kebijakan baru yang akan diterapkan oleh kantor ini.
Kulihat masing-masing karyawan di sini menggunakan stok masker yang kudapatkan dari mama Firly, sungguh berkat beliau seolah-olah nasibku untuk masih tetap bekerja di sini masih terselamatkan. Nyaris mereka yang ada di kantor ini semua memakai masker hasil pencarianku selama ini. Mereka tak bisa mengambil lebih, kuberi kebijakan satu orang satu masker, dan itu cukup digunakan hingga satu hari, dan apabila mereka menghilangkannya, resiko ditanggung sendiri. Saat itu aku juga agak kebingungan apabila ada oknum karyawan yang nakal untuk mengkelabuhi pemberian ini. Selagi ini semua masih langkah, aku harus berani tegas terhadap mereka semua.
Saat aku melintasi ruang kerja Tony, kulihat dia bekerja begitu amat sibuk, dia kudapati sedang tidak memakai masker, sedangkan teman-temannya yang lainnya memakai.
"Ton, ini pakai maskermu." Kataku, saat aku masuk sebentar di ruangannya.
"Aku gak usah Mel, kamu simpan aja gak pa pa." katanya.
"Ehh gak boleh harus pake." Desakku, dan dia dengan cepat langsung memasang masker pemberian dariku, sambil melanjutkan pekerjaannya kembali. Kemudian jam mulai bertambah siang, dan kedatangan para tamu pengunjung semakin membeludak tak karuan.
Mereka sempat ada yang bilang dan juga mengernyit oleh penampilan kami yang serba steril, mulai dari memakai masker sampai memakai sarung tangan. Beberapa dari mereka berpendapat kalau apa yang kami lakukan ini lebay dan alay.
Aku sendiri juga sependapat, mungkin saat ini masih baru terkoreksi sebagai kasus pertama yang tak seberapa menimpa negeri ini. Tapi dalam logika-ku berkata, kita tidak akan pernah tau barang kali salah satu dari mereka yang ada di dalam kantor ini juga ada yang positif, sebab sebenarnya virus ini bisa menyebar luas dikarenakan mereka yang dapat terinfeksi sama sekali banyak yang tak mengalami gejala-gejala penyakitnya.
Aku sebenaranya tak berani mendekat di sana, masker yang kugunakan cukup membuat dadaku lumayan sesak. Tapi apa boleh buat, mau tak mau aku harus ke sana untuk menyapu lantai, menjaga semua tetap dalam keadaan bersih, meskipun hal itu membuatku merasa takut.
Istirahat kali ini aku sama sekali tak membawa bekal sarapan, namun saat itu Tony memesankan makanan bubur ayam lewat gofood untuk kami berdua. Semenjak ada dia, hidupku seakan terbantu olehnya, entah kenapa rasanya aku seperti tak bisa jauh-jauh dengan Tony.
"Kita makan di taman yuk." Katanya, dan menurutku itu ialah ide yang bagus, maka aku menurutinya dan kami berdua memakan bubur ayam ini di taman samping kantor ini.
Suasana yang rindang dan asri menyertai kami berdua, dan rasanya aku saat ini makan dengan begitu lahap, mood-ku sangat bagus berada di dekatnya.
"Mel, jika kamu gak keberatan, kalo berangkat kerja aku anter aja ya?" Tanya Tony.
"Kamu kan tau sendiri kalo aku juga nganterin adikku sekolah, kamu mau mampirin adikku ke sekolahnya dulu?" tanyaku, lalu dia menatapku sambil tersenyum.
"Ya mau lah, aku justru malah penasaran sama adik-mu itu, namanya siapa sih kemaren?"
"Namanya Jojo, dia itu anaknya agak rewel sih, tapi kadang-kadang juga lucu, yahh maklum lah masih anak-anak kelas 4 Sd." Kataku.
"Oke dehh, kalo gitu mulai besok kamu aku anter ya? Sama sekalian aku berkunjung ke rumah nenek-mu untuk nempati janjiku ke beliau." Kata Tony. Sejenak aku berpikir, bahwa Tony semakin lama dia terlihat semakin serius soal hubungan ini. Tapi biarlah, seharusnya aku bahagia atas bentuk kasih sayangnya dan upaya serius darinya, seumur hidupku aku belum pernah kenal dengan sosok cowok sebaik dia dan seperhatian dia. Aku tersenyum sambil menatap indahnya bunga angrek yang tertutup pohon di seberangku.
"Boleh, lain kali kamu aku kenalin ke Ibu-ku juga ya? Btw beliau juga ingin tau kamu lho." Kataku.
"Oh-ya? Aku jadi seneng dengernya Mel, emangnya kamu ngomong apa aja ke Ibu-mu soal aku?" Tanya Tony, dan aku menatapnya.
"Aku bilang ke dia kalo kamu itu anaknya baik, ganteng, tinggi, terus sederhana, dan Ibuku langsung penasaran lho sama kamu." Kataku. "Bener kan apa yang aku omongin ini ke dia? hehe." Imbuhku, dan senyum Tony saat itu terukir indah dimataku, lalu helai tangan kirinya merangkul pundakku yang spontan membuatku bersandar padanya sambil menatap indahnya taman ini.
"Benar kok, aku juga cerita ke mamaku kalu kamu itu anaknya cantik, sopan, pinter, mandiri, dan baik." Kata Tony, sesekali aku merasakan detak jantung Tony yang berhasil membuatku mendaratkan telapak tanganku di sana, sembari aku menjawab.
"Emang aku ini anaknya pintar ya Ton?" tanyaku.
"Pinter lah, aku bilang ke mama-ku kalo kamu itu pinter masak, dan masakannya enak sekali seperti masakan calon istri idaman." Kata Tony. Seketika perutku menghangat mendengar jawaban Tony tersebut, tiada henti perasaanku hanyut dibuat olehnya.
"Bisa aja kamu Ton, aku bener-bener gak sabar kamu bisa ketemu sama orang tua ku, dia pasti juga menyukaimu, tapi kamu jangan kecewa ya? Di sana juga ada ayahku, maksudku ayah tiriku." Kataku, lalu Tony menatapku.
"Kenapa aku kecewa Mel? Aku sama sekali gak ada rasa kecewanya sejak kenal sama kamu, masalah keluargamu juga terjadi pada keluargaku, kita sama-sama punya masalah itu kok." Katanya, lalu aku tersenyum membalas senyuman darinya. Aku tak habis pikir seberapa besarnya dia tau soal diriku, bahkan lebih dari sekedar teman baik, dia sangat sempurna, dan kurasa aku tidak akan bisa berhenti untuk mencintainya.
Ketika waktu sore telah tiba, kami semua hendak membereskan semua peralatan-peralatan kami untuk disimpan dan dilanjutkan pada pekerjaan esok hari. Aku bergegas untuk pulang, begitu pula dengan Tony. Ketika aku hendak mengambil tasku di loker, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lagi-lagi telpon dari Andy.
"Hallo, iya ada apa An?" tanyaku. Suara dari telpon Andy seketika berubah menjadi suara Eny.
"Hey Mel, kamu itu akhir-akhir ini dihubungi susah banget ya!" kata Eny dengan nada yang cukup keras, sampe Tony pun kedengaran. "Mel kalo gak sibuk kita ke Royal yukk, mampir makan-makan sambil belanja di hypermart, ini sekarang infonya lagi rame lho Mel, aku sama Andy juga mau ke sana," Imbuh Eny. Lalu seketika itu aku agak kebingungan untuk menjawab ajakan dari Eny itu.
"Duhh En, gimana ya! Bukannya aku gak mau nihh, tapi kebetulan aja aku hari ini capek banget, sumpah." Kataku.
"Halah, alesan aja deh kamu Mel, dulu kamu pernah bilang kalo kamu ngerasa capek, pas kumpul sama kita-kita rasa capekmu hilang, berarti itu boong ya?" kata Eny. Lantas saat itu Tony mengernyit di sampingku.
"Bukan gitu En, tapi emang beneran aku bener-bener butuh istirahat untuk hari ini, mungkin lain hari aku bakal mau deh belanja sama kalian di Royal." Kataku. lalu seketika itu Tony pun berbisik di dekatku.
"Itu teman-mu yang kemaren telpon itu ya?" Tanya-nya. Dan aku mengangguk iya.
"Tumben Mel kamu gak uwu saat ini." kata Eny, lalu telpon seketika dia putus. Sumpah saat itu aku merasa bersalah sama Eny dan Andy, pikirku mereka pasti membutuhkanku, aku yakin mereka berdua pasti kecewa dengan diriku. Dengan cepat aku langsung menghubungi Andy, secepat kilat telpon dari Andy langsung dia angkat.
"Apa Mel?"
"Yaudah deh aku ke sana, tungguin ya? Di tempat biasa kan?" kataku.
"Gitu dong Mel, unhappy kalo gak ada kamu, sampai ketemu ya." Kata Eny.
Sore itu aku berangkat ke Royal, namun kali ini aku datang ke sana tidak sendirian. Tony seketika ingin menemaniku untuk pergi menemui mereka. Tony berkata kalau sekalian dia juga ingin kenal dengan teman-temanku. Dalam bayanganku aku pasti jadi bulan-bulanan mereka apabila Tony sampai ku-perkenalkan dengan mereka. Sungguh sepanjang perjalanan itu aku merasa tidak nyaman, antara kepikiran, senang, dan juga grogi, karena pada dasarnya aku tidak pernah jalan bersama teman-temanku sambil membawa pacar, yang memang kenyataannya selama itu aku belum pernah punya pacar.
Saat kami sudah tiba di istana es tepat di food court-nya Royal, aku melihat Eny dan Andy sudah stand by di sana, lalu aku dan Tony menghampiri mereka.
"Heeeeyyy Guyssss." Sambutku di hadapan mereka yang sedang sibuk main Hp.
"Heeyy Mel, tumben kamu cepet banget si!" kata Eny, dan Tony pun tersenyum mendengar itu.
"Aku bawa seseorang lho." Kataku, dan aku melihat mata Eny dan Andy langsung menatap ke-arah Tony.
"Siapa itu Mel?" kata Eny.
"Hayoo coba tebak?" kataku, lantas Andy langsung menjawab.
"Pasti yang kamu ceritain dulu itu ya Mel? Tony ya? kamu Tony kan?" kata Andy sambil menunjuk kearah Tony, seketika itu Tony langsung terperangah.
"Kok bisa tau Mel? Kamu udah cerita ke mereka ya?" kata Tony. Aku tersenyum sambil mengangguk.
"Wahh selamat ya Mel, jadi ceritanya kalian berdua ini udah jadian nih?" kata Eny.
"Iyaah, hehe." Jawabku dengan amat grogi. Lalu Tony berkenalan dengan mereka berdua sambil bersalaman.
"Ayo duduk-duduk, aduhh barusan Eny yang jadian sama Bastian, sekarang giliran Amel yang udah jadian sama Tony, giliran akunya kapan nihh, jadi iri dehh." Kata Andy. Aku dan Tony pun duduk di meja makan tersebut bersama mereka.
"Sabar An. Entar juga bakal dipertemukan kok." Kataku.
"Rupanya Tony-mu ini tinggi dan ganteng ya Mel! Bener kan apa kataku kalau anak secantik kamu itu bakal dapet cowok ganteng." Ules Eny, lantas Tony tersenyum-senyum di sampingku, jujur aku agak merasa malu saat ini.
"Oh-iya Btw, kamu gak ngajak Bastian juga?" kataku yang berusaha untuk mengalihkan topik.
"Bastian lagi suspect ketemuan sama klient-nya, jadi dia gak bisa datang." Kata Eny.
"Ngomong-ngomong nih Mel, sekarang itu trend-nya lagi panic buying lho, kamu gak punya niatan buat belanja-belanja untuk stok makanan kamu di rumah? entar keburu ludes lho, makanya itu aku ngajak kamu sekalian." Kata Eny.
"Jangan gitu, lagian juga pemerintah menyuruh kita untuk tidak panik kan!" Tiba-tiba jawab Tony.
"Iya sih ka Tony, tapi setidaknya kita kan buat jaga-jaga belanja dari awal, keburu stok-nya entar kehabisan, lagian kita-kita juga bakal belanja secukupnya kok." Kata Eny.
Kemudian aku dan Tony pun saling menatap satu sama lain, dan setelah kami makan-makan, akhirnya kami berempat menyempatkan diri untuk berbelanja di Hypermart. Memang disana kondisinya saat ini sangat ramai, persis saat aku mencari masker sama Tony dulu. Di sana Tony hanya melihat-lihat saja sambil menemaniku, dan di saat aku memilih untuk mengambil barang yang hendak aku beli, sesekali dia juga tersenyum karena aku dinilainya cocok bakal jadi ibu rumah tangga.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 17..