Chapter 14 - Bab 14

Seharusnya aku tadi tidak membahas soal ayah-nya, lagi pula aku hanya mengikuti pembicaraan ini yang membahas soal keluarga. Aku menatap Tony sejenak, dan mataku melihat ada dinding yang retak tepat di belakang Tony.

"Tante, itu dinding di belakang Tony abis kena apa ya?" tanyaku, Tony dan Mama-nya pun spontan langsung menatap pada dinding retak tersebut.

"Amel, sebenarnya tante gak mau bicara soal ini, tapi kalau memang ini perlu, tante akan mengatakannya, jadi sebenarnya kami memiliki permasalahan keluarga." Kata Mama Tony pada akhirnya. Saat ini aku langsung menaruh rasa sedih.

"Masalah apa tante?" tanyaku.

"Tante, dan ayahnya Tony baru saja bercerai, dan retakan dinding itu, Itu hasil dari beberapa pertikaian saat itu. Maaf ya Mel, seharusnya tante memperbaiki dinding tersebut." Kata Mama Tony, suaranya begitu amat kalem sekali.

"Ohh tante, saya jadi gak enak, saya minta maaf ya kalau menanyakan hal ini, saya juga jadi ikutan sedih, jujur Tony belum pernah bilang kepada saya kalau tante dan suami tante sudah bercerai." Kata ku, dan Mama-nya Tony tersenyum sambil mengangguk.

"Iya Mel, gak pa pa, tante ngerti kok," kata Mama Tony.

"Kita ternyata sama ya Mel, Lagian banyak orang yang kadang baru kenal dan bertanya soal keluarga, selalu mengarah ke situ." Kata Tony, dan aku tersenyum.

"Memangnya keluarga kamu kenapa Mel?" Tanya mama Tony, sambil mengernyit menatapku.

"Itu dulu sih tante, saat saya masih Smp, dan Almarhum ayah saya meninggal, setelah itu keluarga kami udah gak satu rumah lagi. Saya dan adik saya ikut bersama nenek dan paman, sedangkan ibu,_____ dia menikah lagi dan tinggal di rumah kontrakan bersama suami sirih-nya." Kataku.

"Lalu rumah keluargamu dulu dimana Mel?" Tanya mama Tony. Aku sejenak menghembuskan nafas panjang kala itu.

"Di kota Gresik tante, tapi rumah itu sudah dijual waktu aku masih Sd, maka dari itu ketika saya dewasa sekarang, baru merasakan betapa pentingnya rumah tersebut, seakan itu menjadi impian saya, kalau suatu saat hari nanti saya ingin membelikan rumah untuk ibu saya supaya saya dan keluarga saya bisa tinggal satu rumah lagi." Kataku.

"Ohh Amel, kamu yang sabar ya, tante sangat kagum sekali sama kamu Mel, pokoknya tante yakin kamu pasti bakal mendapatkan impianmu itu." Kata Mama Tony.

"Amin, terima kasih ya tante." Kataku, dan wajah Tony nampak tersenyum manis menatapiku. Sungguh, malam ini dia terlihat begitu manis di meja makan ini.

"Oke Mel, kita kembali pada perihal masker yang kamu butuhkan di kantormu itu ya!" Kata Mama Tony.

"Iya, jadinya itu gimana ya Tante?" tanyaku.

"Udah kamu gak usah khawatir, tante punya teman, dia pemilik apotik K24, namanya bu Stefany, dia sudah tante hubungi untuk memesan barang yang dibutuhkan oleh kantormu, semuanya sudah beres, tinggal diambil saja, nanti biar tante suruh Tony aja yang ngambil barangnya, kamu tinggal terima beres aja Mel." Kata Mama Tony.

"Waah makasi banyak lho tante, saya jadi merasa ngerepotin, terus kalau untuk harganya sendiri gimana tante?"

"Semua sudah tante bayarin, udah, sisa uang kantor kamu ambil saja, lumayan kan Mel untuk biaya transport kamu." Kata Mama Tony.

"Makasih banyak lho tante, gimana ya ini! saya jadi gak enak." Kataku yang sungguh amat malu.

"Gak pa pa Mel, mamaku baik kok orangnya, kamu gak usah malu-malu gitu ahh." Ules Tony, dan aku tersenyum kearahnya.

"Ya jelas aku malu lah, tante orangnya baiknya kebangetan sih." Kataku sambil tersenyum.

"Ahh Amel bisa aja, yaudah, abis makan ini tante tinggal dulu ya, soalnya ada pekerjaan yang perlu tante bereskan, kalian berdua kalo mau ngobrol-ngobrol gak pa pa, biar makin mesra." Kata Mama Tony, lalu saat mama Tony hendak beranjak dari kursi meja makannya. Tiba-tiba saja ponsel-ku berdering saat itu juga, hingga membuat Tony dan mamanya menatap ke arahku.

"Sebentar ada telepon bunyi." Kataku, dan kulihat layar di ponselku, ternyata Andy sedang menghubungiku lewat video call. Saat itu jam masih terbilang sore, aku yakin dia menelponku untuk sekedar mengajak hang out, saat itu aku matikan telpon dari Andy.

"Siapa Mel? Kok telponnya gak diangkat?" Tanya Tony.

"Oh, ini dari temenku sih, namanya Andy, biasa, jam-jam segini kalo pulang kerja dia selalu ngajak hang-out." Kataku.

"Seharusnya tadi kamu angkat saja Mel." Kata Tony.

"Gak usah deh, ngganggu momen penting aja, entar aku jawab via wa abis ini," balasku.

"Hmm Amel, yaudah deh, mama tinggal duluan yah." Enyuh mama Tony. Lalu beliau pergi meninggalkan ruang makan ini, dan di sini hanya ada aku dan Tony. Sejenak aku menatapnya, dan dia tersenyum manis kearahku.

"Gimana mama-ku tadi? Baik-kan orangnya?" Tanya Tony.

"Benget, bisa-bisa aku cepat akrab nih sama mama-mu." Kataku, dan Tony tertawa sedang.

"Pastilah,_____ sekarang tinggal aku yang kapan-kapan bakal maen ke rumah nenek-mu." Kata Tony.

"Boleh, silahkan aja,____ ehh tapi kalo mau kesana kabarin dulu yah! Biar aku siapin sajian istimewa buat kamu." Kataku. dan Tony mengangguk, sambil mengeluarkan bulpoint yang masih menempel di saku seragam kerjanya untuk diberikan padaku, dan dia melentangkan lengan kirinya diatas meja sambil berkata.

"Tulis nomor Wa-mu Mel, masa kita udah jadian belum pernah sayang-sayangan lewat telpon." Katanya, sungguh hatiku saat itu merasa terenyuh.

"Oke deh." Desah-ku, dan kutulis nomor ponselku di lengannya dengan amat perlahan supaya dia tidak kesakitan oleh goresan bulpoint ini, dan hatiku berdebar saat itu.

"Dah," kataku, "mulai sekarang, hubungi aku sesuka yang kamu mau, aku akan selalu angkat, aku akan selalu jawab, dan kita akan terus terhungung, kamu janji ya?" Kataku.

"Janji," jawabnya dengan tegas sambil tersenyum. Lalu sejenak aku menghirup nafas panjang, sambil menengok di berbagai sudut ruangan ini.

"Ngomong-ngomong aku penasaran banget Ton sama rumah-mu ini." kataku.

"Kenapa?" Tanya Tony.

"Rumah-mu besar banget." Kataku.

"Kalau kamu penasaran, gimana kalau kamu aku ajak berkeliling di rumah ini?" kata Tony, lantas aku mengangkat alis.

"Ha? Emangnya boleh? aku jadi gak enak." Kataku.

"Ya boleh lah, kamu gak usah malu-malu lah Mel, anggap aja ini dirumah sendiri, lagian yang tinggal di rumah ini hanya aku, mama, dan bi Khusnul saja kok." Kata Tony.

"Boleh deh." Kataku. kemudian saat itu kami berdua meninggalkan ruang makan, dan Tony mengajakku untuk berkeliling di dalam rumahnya. Ternyata di dalam rumah ini terdapat taman indoor yang cukup cantik, di tengah-tengah taman sana ada kursi yang dibuat untuk bersantai.

"Tepat di kursi sana, kalau hari libur, aku suka baca-baca buku di situ." Kata Tony saat kami berada di taman indoor dalam rumahnya.

"Di sini kalo siang kamu gak kepanasan?" tanyaku.

"Ya kepanasan sih, tapi terkadang aku orangnya juga suka berjemur. Kalo hujan ya tinggal masuk ke dalam." Kata Tony.

"Ngomong-ngomong kamu hobi baca ya?" tanyaku.

"Enggak juga, hobiku malah berenang dan bermain voli." Katanya, dan itu membuatku tertawa sedang.

"Pantesan kamu anaknya tinggi banget, emangnya di rumah ini juga ada kolam renangnya?" tanyaku.

"Gak ada Mel, dulu sepat pernah diusulin sama Papa-ku buat bikin, tapi mama-ku takut kalau bakal kejadian apa-apa, soalnya saat itu aku masih kecil banget." Kata Tony, dan aku mengangguk memahami itu.

"Kalau hobi-mu sendiri apa?" Tanya Tony.

"Ohh,, kalo aku! Apa ya? Bikin vlog, dengerin musik, yah, mungkin hobi-ku cuman itu saja." kataku.

"Kalau kamu suka musik, aku punya piringan hitam bagus-bagus di kamarku, akan aku tunjukin ke kamu kalau kamu mau lihat." Kata Tony, dan aku sejenak mengangkat alis.

"Boleh." Balasku. Kemudian kami berdua berjalan hingga sampai di suatu tempat yang cukup terang dan juga sederhana. Kami ada di dalam kamar Tony yang menurutku mirip seperti kamar anak remaja pada umumnya. Pada dinding-dindingnya dipenuhi oleh tempelan-tempelan gambar, poster, dan stiker. Aku nyaris tertawa melihat poster di dalam kamar Tony yang kebanyakan bergambar super hero Marvel.

"Kamu suka super hero ya?" tanyaku.

"Hehe, iya, penggemar berat Marvel." Katanya.

"Kamarmu cukup amburadul ya Ton." Kataku.

"Masa sih? Padahal aku udah merapikannya tiap hari lho." Kata Tony, dan dia berjalan menuju pada rak kaset piringan hitam itu, aku sesekali melihati isi foto-foto dalam meja kamarnya, di sana juga masih terdapat meja belajar yang menurutku sudah terpasang sejak Tony sekolah dulu.

Saat aku melihat salah satu foto, aku melihat ada foto keluarga Tony di situ. Ada ayah Tony yang memakai seragam angkatan, lalu ibu Tony yang memakai seragam perawat, dan Tony yang berada di tengah dan masih anak-anak, sudah kuduga, saat aku melihat isi dompet Tony dulu, wajahnya mirip dengan ayahnya.

"Penyanyi yang kamu suka apa Mel?" tiba-tiba Tanya Tony saat aku mengamati foto keluarga itu. Lantas aku berpikir sejenak, sambil mengingat.

"Emm,______ Ed Sheeran!" Kataku, dan Tony mencari suatu kaset di rak lemarinya. Kemudian tak lama itu musik pun berbunyi merdu di dalam ruangan ini.

"Kamu suka enggak sama lagu yang diputer ini?" Tanya Tony sambil mendekat ke diriku.

"How would you feel, itu adalah lagu favorit ku dulu di tahun 2017," kataku, kemudian Tony memegang tanganku, aku pun juga memegang tangannya, lantunan musik piano dan petikan gitar menyatu membuat jantungku bergetar sesuai ritmenya. Tony mengajakku berdansa.

"Kamu orangnya romantis ya Ton, dan gayamu juga sederhana banget." Kataku sambil menatap wajahnya. Dia tersenyum.

"Oh-ya? Justru aku anaknya kurang humoris sih, kalau kamu menanyakan itu, mungkin aku jarang bakin kamu ketawa kan?" Kata Tony.

"Humoris sama romantis itu beda Ton, tapi melihat wajahmu saja itu sudah humoris kok." Balasku, dan Tony tertawa sedang.

"Aku cinta banget Mel sama kamu." Katanya, sambil merunduk.

"Iya, aku juga." Balasku, dan kupegang pundaknya. Saat lantunan reff pada lagu itu berbunyi, aku menyandarkan kepalaku tepat pada dada Tony, dan aku memejamkan mata di sana. Hingga tak sengaja aku mendengar bunyi detak jantung Tony, yang berdenyut begitu cepat. Mungkin itu sama persis seperti apa yang kurasakan saat ini, dan aku berharap kalau lagu beserta momen ini tak kan berakhir.

"Aku minta maaf soal ayahmu tadi, seharusnya aku tidak bertanya soal beliau." Kataku.

"Tidak usah minta maaf, kamu sama sekali gak salah kok," jawab Tony. Entah kenapa pelukannya begitu hangat sekali, aku seakan tak ingin lepas darinya, serta aromanya.

"Ngomong-ngomong kamu itu mirip lho sama ayahmu, matanya sama-sama sayu." Kataku sambil sedikit tersenyum di pundaknya.

"Iya, kedua orang tuaku memang ada keturunan china-nya sedikit, kamu tau dari mana Mel?." Katanya, dan itu sudah kuduga dari awal.

"Aku lihat di foto meja kamarmu barusan." Kataku.

"Kalau kamu mau, kapan-kapan aku ajak kamu kenalan sama papaku ya, dia pasti suka banget liat kamu Mel." Kata Tony, lantas aku terdiam saat itu juga, sambil aku berpikir soal perceraian orang tua Tony.

"Dan dia pasti akan menganggapmu seperti anak sendiri, karena dari dulu papaku juga ingin mempunyai anak perempuan." Katanya, sungguh mendengar perkataan itu aku nyarsi meneteskan air mata.

"Aku hanyalah anak laki-laki semata wayang, yang mungkin entah kenapa akan jadi sulit bagiku untuk memilih tinggal bersama mama atau papaku." Katanya, aku hanya bisa terdiam.

"Itu semua gara-gara mereka yang tinggal berjauhan, putus hubungan berbulan-bulan, bahkan mereka seolah sibuk dengan urusan pekerjaan mereka masing-masing, dan ibuku tak mau hal itu untuk dipertahankan, meskipun aku berusaha untuk tak ingin mereka untuk berpisah," Kata Tony. Dan saat ini aku nyaris syok.

"Kamu tau luka di hidung-ku ini kan Mel? Ini adalah bentuk dari______" saat itu aku langsung melepaskan pelukan Tony.

"Udahh Hussssttt," ucapku sambil membungkam mulutnya dengan jemari telunjukku. Jarak wajah kami begitu dekat.

"Jangan diteruskan ya!" kataku, "tidak usah dibahas lagi." Lalu Tony tersenyum sambil memegang pergelangan tanganku.

"Oke, aku tidak akan membahasnya lagi." Katanya. dan kulihat sayatan luka itu di hidungnya, sungguh aku tidak tega melihat luka itu.

"Seharusnya aku ada di sana saat kamu mengalami peristiwa itu." Kataku.

"Gak pa pa, tapi sekarang kamu sudah ada di sini, betapa pentingnya sebuah jarak diantara kita, dan aku janji aku tidak akan jauh-jauh darimu Mel." Kata Tony, dan aku mengernyitkan dahi.

"Kamu gak perlu bikin janji yang masih belum tentu kamu tepati seutuhnya Ton." Kataku, dan dia tertawa sedang.

"Aku janji Mel, abis ini aku akan coret salah satu resolusi-ku di tahun ini, bahwa aku sudah memilikimu." Katanya, dan dalam hatiku berkata

"Andai dia tau, bahwa aku mencoret salah satu resolusi punya-ku lebih awal saat dia menciumku dimalam itu."

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 15...