"Tony, ngomong-ngomong pagi tadi pas kita di taman, hidungmu terluka ya?" Tanyaku pada akhirnya.
"Apa? Terluka gimana?" Tanya Tony,
"Itu aku lihat di hidungmu ada luka bengkak seperti sayatan." Kataku, dan Tony sejenak terdiam, sambil perlahan memegang hidungnya, lalu dia seoalah sadar akan sesuatu.
"Ohh ini!___ iya, cuman luka biasa kok." Katanya.
"Kamu abis jatoh tadi ya?" tanyaku.
"Enggak sih, udah biarin aja gak pa pa." katanya, tapi aku penasaran dengan luka sayatan di hidung Tony tersebut, maka saat itu aku melihatnya lekat-lekat dan sejenak mencoba memegang hidungnya.
"Yaampun, ini sih abis kena sayatan beneran, emang kamu abis jatoh dari motor?" tanyaku, dan Tony sedikit merasa kesakitan saat aku memegang hidungnya.
"Gak pa pa Mel udah biarin aja, entar juga sembuh sendiri."
"Tapi aku penasaran Ton, kamu abis jatoh? Apa pas mau jemput aku tadi pagi itu ya?" tanyaku.
"Oh-enggak, ini luka udah lama kok." Katanya. aku hanya bisa mengernyit mendengar respon dari Tony. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya dengan luka sayatan di hidung seperti itu, jika benar luka itu memang sudah lama, bodohnya diriku baru mengetahuinya hari ini.
"Nanti sepulang di kantor aku obtain ya? Gak pa pa, aku punya salep buat luka di tas-ku." kataku, dan Tony tersenyum tipis mendengar ucapanku.
Saat kami selesai makan siang, kami berdua kembali ke kantor dan menuju ke pantry. Di sana aku mengambil salep anti luka di dalam tas-ku, kemudian kusuruh Tony untuk duduk dan diam di sana, lalu aku meniatkan diriku untuk mengoles salep ini di hidungnya, meskipun perasaanku terselimuti oleh rasa penasaran yang amat mendalam.
Aku rasa Tony seperti menyembunyikan sesuatu dariku, namun saat itu aku diam saja, berusaha untuk membuat dia tidak perlu mencari alasan yang berbelit, walau aku sebenarnya bisa menebak hal yang sedang disembunyikan oleh Tony saat ini, yaitu perihal percakapannya yang ada di ruang arsip dulu. Tapi entahlah, aku berusaha untuk tak mau ikut campur perihal urusannya.
"Sudah selesai, ditunggu saja, kalau bisa jangan dipegang-pegang, entar malah gak sembuh-sembuh." Kataku.
"Makasi ya, sebenarnya luka ini gak pa pa sih Mel, mungkin ini akibat dulu aku kejatoan buku waktu ngambil di rak lemariku." kata Tony, dan saat itu aku mulai meresponnya.
"Ohh, yaudah, kalau tidak diobatin entar malah jadi tambah parah lho, kamu mau hidung mancungmu itu ada noda sayatannya?" tanyaku sambil tersenyum.
"Biarin lah Mel, laki-laki masa takut sama bekas luka di wajah." Katanya. lalu Tony berdiri dan menatapku.
"Kamu tidak usah kepikiran soal masker lagi ya! biar nanti itu aku yang handel." Katanya, dan aku mengangguk. Padahal mencari masker itu adalah tugas pekerjaanku, akibat diriku yang super kepikiran dan bingung tujuh keliling seperti tadi yang mungkin membuatnya ingin untuk turun tangan. Aku tersenyum tipis sambil menatap matanya, lalu seiring berjalannya waktu ini, Tony tiba-tiba memegang tanganku, sambil mengelus jari jemariku. Sungguh aku seketika tersipu malu di hadapannya, dan setelah itu jam istirahat sudah berakhir.
"Aku tinggal kerja dulu ya, kita berangkat bareng-bareng nanti di rumahku." Katanya.
"Iya." Jawabku, lalu Tony mulai beralih untuk kembali ke tempat kerjanya. Sebenarnya aku masih penasaran soal luka sayatan itu, alasan Tony tadi cukup aneh, entahlah, yang jelas aku benar-benar sudah tidak sabar untuk mengakhiri pekerjaan ini, dan kembali untuk pulang, namun rupanya waktu tidak secepat yang kukira. Saat itu aku melihat Amir berhasil membuat washtafel portable di depan pintu masuk kantor untuk dipergunakan oleh para tamu-tamu yang hendak datang ke kantor ini.
Sebelumnya aku seperti merasa bersalah pada Amir sebab aku yang seharian ini tak membantu pekerjaannya sama sekali. Saat jam kerja telah selesai, aku disuruh olehnya untuk menyimpan nota barang-barang yang telah dia beli untuk membuat washtafel tersebut. Jumlah nota itulah yang akan ku berikan ke Pak Hamid. Dan aku tak habis pikir semua biaya itu menghabiskan uang 400rb rupiah, uang yang telah kuberikan padanya itu ternyata pas tak ada yang kembali.
"Mir, kamu udah ambil berapa emanganya?" Tanyaku padanya saat telah melihat semua nota pembeliannya itu.
"Astaga Mel, aku kecewa banget, itu aja aku sama sekali gak dapet apa-apa, dan aku pun malah terpaksa memakai barang-barang yang murah." Katanya.
"Duhh, kalo duitnya tinggal segini takutnya gak nyampe buat beli masker, yaudah deh Mir, maaf ya bukannya aku nuduh yang enggak-enggak lho." Kataku pada Amir. Kemudian saat jam kerja sudah selesai, aku mendapati Pak Hamid sedang berbicara dengan Tony, sedikit diriku merasa penasaran saat itu, dan aku pun juga berpamit pada Pak Hamid untuk pulang saat itu juga. Kemudian saat kami berjalan bersama, entah kenapa secara tiba-tiba Tony selalu sering menggandeng tanganku.
"Ton, kamu tadi bilang apa ke Pak Hamid?" tanyaku.
"Oh tadi? aku udah bilangin ke Pak Hamid soal masker, kalo besok bakal beres." Katanya.
"Hmm, sebenarnya gak usah dibilangin dulu deh Ton, takutnya kalau besok masih belum dapet." Kataku.
"Udah, percaya dehh, pasti dapet, aku ngelakuin ini supaya kamu gak kepikiran terus, udah nurut saja sama aku." Katanya. dan entah kenapa aku seketika merasa gak enak pada Tony, ternyata apa yang ada di pikirannya saat ini itu juga memikirkan soal keadaanku. Akhirnya tanpa aku sadari bahwa ada orang lain yang mengerti soal keadaanku, yang tau persis letak kekhawatiranku serta masalahku, dan orang itu ialah Tony. Orang yang masih baru aku kenal beberapa hari, dan aku tidak tau entar seperti apa yang akan terjadi.
Saat kami telah sampai di depan rumah Tony, aku tidak menyangka kalau rumah Tony ternyata cukup besar. diriku sampai bertanya-tanya kalau barang kali itu ialah rumah tetangganya, aku tak habis pikir kenapa Tony bekerja di kantor itu kalau dia memang betul anak orang kaya? Dan kenapa juga aku sampai punya pemikiran sejauh itu!
Pagar rumah tony sendiri juga begitu besar, lebar memanjang dan menjulang tinggi. Di sana terdapat security-nya, dan saat Tony memencet bel, Pagar tersebut dibuka oleh petugas security yang menjaga rumah tersebut.
"Ini beneran rumahmu?" tanyaku padanya.
"Kenapa? Kaget ya?" katanya. sungguh aku tak bisa berkata apa-apa saat itu. Kami berdua pun akhirnya masuk, dan petugas security itu menatapku dan menyapaku dengan senyum lebar. Aku pun membalasnya serupa. Tony dan aku kemudian masuk ke dalam rumah besar tersebut. Pintu masuk itu Tony buka dan langsung memperlihatkan isi ruang tamu dalam rumah tersebut.
Aku pun memasukinya dengan tatapan lebar menghadap keatas menatap segala penjuru ruang tamu rumah ini. Sungguh interior rumah yang begitu amat modern, desainnya menyerupai rumah-rumah Amerika klasik yang dikemas dengan cukup mewah. Dinding wallpaper dengan hiasan lukisa-likisan handmade dalam vigora yang unik. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan ada rasa sedikit minder dari keluarga Tony nanti apabila menemuiku. Sungguh rumah impian, rumah impianku ialah seperti ini, gumamku dalam hati.
"Duduk mel." Kata Tony, dia kemudian langsung nyelonong masuk ke dalam. Aku pun duduk pada salah satu kursi sofa ruang tamunya. Dan kursi itu pun sungguh empuk-nya bukan main, dan bahan kainnya pun juga lembut, cerah berwarna putih.
"Ma, mama? Sini Ma, aku bawa seseorang, tamu spesial." Teriak Tony yang kudengar dari ruang tamu ini, lantas aku tersenyum medengar itu. Kemudian suara langkah kaki mendekat ke diriku, pikirku itu pasti Tony beserta Mama-nya.
"Heeyyy, Hallo," seketika sapa hangat dari Mama Tony yang saat itu menghampiriku.
"Ehh Tante, selamat sore." Kataku yang sejenak bediri dan kami pun sejenak berpeluk sapa.
"Selamat sore juga, kamu Amel ya? Duhh cantik ya ternyata." Kata Mama Tony dengan senyuman lebar. Sungguh mendengar pujian itu aku begitu malu bukan main. Mama-nya Tony ternyata memiliki wajah yang kalem, mata sayu sipit, rambut terumbai panjang sepundak dan terlihat seperti keturunan orang China, bagiku beliau terlihat amat sederhana dan rapi.
"Hehehee." Endusku.
"Ehh Mel, ngomong-ngomong tante undah masakin banyak lho untuk kamu, yukk kita sekalian diner di dalam yukk." Katanya, sambil memegang pundakku, dan Tony pun ketawa-ketawa saat melihat ekspresiku. Entahlah aku sangat kikuk saat ini.
Ketika kami masuk ke dalam, tepat di ruang makan, dan di ruangan itu terdapat meja panjang dan kursi makan yang terukir seperti maha karya. Entah aku memasuki rumah ini seperti memasuki sebuah galeri di dalam pusat seni budaya, karena aku menemui banyak lukisan-lukisan handmade yang terpajang di setiap dinding wallpaper itu.
Aku juga kehabisan kata-kata saat ini, bahwa Mama Tony juga memasak masakan yang cukup bermacam-macam, entah aku harus merasa kagum atau terkejut, yang ada di benakku hanyalah apakah aku ini tamu se-spesial yang mereka kira? Akankah aku ini se-spesial ini sampai dibuatkan dan disajikan dinner yang membuatku terharu seperti ini?
"Waahhh, banyak sekali makanannya." Kataku.
"Ayo Amel duduk, jangan malu-malu ya." Kata Mama Tony. Aku pun duduk pada salah satu kursi tersebut, dan Tony duduk di samping meja tepat berhadapan antara aku dan Mama Tony, sedangkan Mama Tony duduk tepat berada di seberangku.
"Ini tante yang masak semua lho." Kata Mama Tony.
"Oh-ya? Saya gak nyangka sekali kalau tante bakal menyediakan dinner sebanyak ini, padahal saya ke sini cuman mau Tanya soal masker," kataku dengan amat malu-malu.
"Halah, kita sarapan dulu gihh, itu sih masalah gampang." Kata Mama Tony.
"Iya tante, maaf banget kalau kedatangan saya merepotkan." Kataku.
"Merepotkan apanya? Justru Tante sangat senang sekali kamu bisa makan malam di sini." Kata Mama Tony.
"Silahkan di makan Mel, gak usah malu-malu, anggap aja ini di rumah sendiri, mau aku ambilin ya?" kata Tony.
"Ohh-aku bisa ambil sendiri kok Ton, hehe." Kataku. kemudian aku mencicipi salah satu masakan sup daging di saat itu, dan rasanya pun begitu enak.
"Hmm, sup-nya enak, tante pinter masak ya!" kataku.
"Sebenernya ini tante masaknya dibantu sama Bibi Khusnul sih tadi di dapur, hehe." Jawab Mama Tony.
"Ngomong-ngomong terima kasih lho Mel udah muji masakan tante." Imbuhnya.
"Sama-sama tante." Kataku.
"Mama gak tau? Amel ini juga pintar masak lho Ma, maka dari itu kalo kerja dia gak pernah beli, soalnya dia bisa masak sendiri." Kata Tony.
"Waahh apa benar itu Mel? Bagus dong kalau begitu, kapan-kapan tante ajarin masak ya Mel?" Tanya Mama Tony.
"Pasti tante, nanti saya ajarin, khusus buat tante." Kataku.
"Siip, tante jadi seneng dengernya Mel, Oh iya, kalau boleh tau nihh ya, ngomong-ngomong kalian udah jadian yaa?" Tanya Mama Tony, seketika itu jantungku berdebar tak karuan.
"Iya Ma, kita udah jadian kok." Tiba-tiba kata Tony. Aku pun tersenyum lebar, sungguh selebar-lebarnya aku tersenyum saat itu. " Iya Tante, ucapan Tony benar." Jawabku. Seketika respon dari Mama Tony semringah bahagia bukan main.
"Senang tante dengernya, dulu nihh ngomong-ngomong tante itu pingin banget kalo Tony bisa punya pacar, yang baik, sopan, catik, seperti kamu Mel, dan doa tante di kabulkan sama tuhan." Kata Mama Tony, saat itu aku benar-benar nyaris berlinang air mata sangking bahagianya.
"Terima kasih tante, saya jadi amat terharu," kataku.
"Jujur sih sebelumnya Tony itu gak pernah punya pacar Mel, dulu sempet punya, tapi kebanyakan mereka itu perempuan-perempuan yang gak bener, tapi kalau tante melihat kamu, tante yakin sekali kalau kamu itu wanita yang baik dan sopan, tante sudah dengar semua curhatan Tony, dan dugaan tante benar, kamu memang wanita yang cantik dan baik." Kata Mama Tony.
"Hmm___ hayo kamu cerita apa aja tentang aku ke mama kamu?" Tanya-ku pada Tony, lantas Tony tertawa sambil angkat tangan, sungguh saat itu dia terlihat sangat manis.
"Tony emang orang-nya gitu Mel, dia itu selalu terbuka soal perasaannya kepada Tante." Kata Mama Tony.
"Oh pantesan, Tony orangnya sangat perhatian sekali." Kataku, dan Mama Tony tertawa sedang.
"Harus itu, ngomong-ngomong kalau tante boleh tau, Amel sekarang umur berapa?" Tanya Mama Tony.
"Umur saya 19 tahun tante." Kataku.
"Hmm pantesan muda dan cantik, kalau rumah Amel dimana?" Tanya Mama Tony.
"Di jalan Gersik tante, saya dan orang tua saya juga asli orang Surabaya." Jawab diriku.
"Iya Mel, kita juga asli orang Surabaya kok," jawab Mama Tony, sejenak diriku tersenyum sambil sedikit mengingat.
"Iya tante, Tony juga sudah cerita kok, cuman ayah Tony sendiri kan yang berasal dari Jogja?" tanyaku, dan saat itu juga aku melihat wajah dari Mama Tony seketika berangsur-angsur berubah, seakan yang tadinya bahagia perlahan menjadi agak merenung, entahlah, diriku tidak mengerti.
"Iya Mel, kamu benar kok." Jawab Mama Tony dengan helai senyum manis yang dipaksakan. Saat itu aku mulai merasa sedikit curiga. Memangnya ada apa dengan Ayah Tony?
Bersambung…
Lanjut ke Chapter 14...