Chapter 12 - Bab 12

Saat kami berdua sudah sampai di kantor, aku tidak menyangka kalau Amir sudah datang terlebih dahulu. Dia langsung menyoroti kami berdua yang datang sambil berboncengan.

"Wah, wah, udah jadian ya? Pagi-pagi udah so sweet gini." Kata Amir yang sedang menyapu taman.

"Pak Amir ini bisa aja, kemaren hujannya deras sekali Pak, jadi aku anterin deh Amel sampe rumah, kasian kan anak cantik-cantik kaya gini kehujanan." Kata Tony di sampingku. Aku tersenyum manis saat itu juga, dan tangan Tony seketika menggandeng tanganku.

"Bener Mir, aku udah jadian sama Tony, sekarang kamu udah puas kan?" kataku sembari mengejek Amir.

"Gitu dong Mel, bentar deh, aku lihat-lihat nih ya! Kalian itu cocok serasi banget." Kata Amir. Tony tersenyum lebar saat itu.

"Thank you Mir, doain terus ya supaya awet, entar aku bantuin deh abis ini nyiram tamannya." Kataku.

"Duhh sampe semangat gitu ya kamu Mel, luar biasa." Kata Amir.

"Yaudah Pak, kami berdua masuk ke dalam dulu ya." Kata Tony. Lalu aku dan Tony pun memasuki kantor sambil tetap bergandengan tangan.

Jujur, ternyata rasanya punya pacar itu seperti ini ya? Harus bergandengan tangan kalau hendak mau berjalan, tapi biarlah, mungkin Tony ialah tipe laki-laki yang berusaha untuk jadi romantis.

Kurasa kami datang terlalu pagi, dan aku yakin ini adalah saat-saat yang tidak biasa bagi Tony untuk datang jam segini, biasanya yang kutau dia datang agak terlalu siang.

"Sini biar aku yang natain tas-mu di loker." Kataku, saat kami berdua sudah sampai di ruang pantry, laluTonny melepas tas-nya, dan dia berikan padaku.

"Lagian aku bisa naruh sendiri kok Mel." Katanya.

"Ya gak pa pa, sekalian aja aku tatain punya mu juga." Kataku. dan dia tersenyum.

"Aku gak nyangka banget jam segini ternyata masih sepi ya kantornya!" katanya, dan aku sudah menduganya dari awal.

"Ya-bagus kan! jadi kamu bisa siap-siap dulu lebih awal." kataku.

"Iya, mungkin enaknya aku nemanin kamu nyiramin taman di luar aja ya?" katanya, dan saat itu aku tertawa sedang.

"Ngapain? Kamu ini ada-ada aja deh." Singgungku.

"Emang-nya gak boleh? Kan biar pekerjaanmu jadi ringan kalo aku bantuin juga." Katanya. dan aku mencoba berpikir sejenak, sambil menatap matanya.

"Yaudah deh terserah." Kataku, lalu kami berdua mulai keluar kantor dan menuju ke taman. Tony mengambil selang yang sudah kutunjukkan tepat di rak gudang, lalu dia memasang selang pada kran air untuk bisa kugunakan.

Sebenarnya kantor ini memiliki lahan taman yang cukup luas, serta sebagian besar taman di sini ditumbuhi oleh bunga melati dan bunga anggrek. Saat itu aku mulai menyirami bunga-bunga itu, serta tak luput juga rumput-rumput kecil yang lembut di penjuru taman ini.

Ketika aku sibuk menyiram, sesekali diriku menyempatkan diri untuk melihat Tony yang berada tepat tak jauh dariku, dia nampak tersenyum saat aku meliriknya, dan entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, seketika kran air yang sedang menyala ini dimatikan olehnya.

"Mau coba cari gara-gara?" sahutku saat dia mematikan kran air. Tony terdiam sambil pura-pura tidak dengar. Kemudian saat itu aku hendak menyalakannya kembali. Tapi seketika kran itu dia nyalakan lagi. Aku tak mengira kalau Tony sejahil itu.

"Oke," kataku, dan dia tertawa saat itu juga.

"Serius amat si, lagian ini juga lagi musim hujan kan?" Katanya sambil beralih ke rerumputan.

"Udah lah gak usah banyak komplain." Kataku.

"Ngomong-ngomong ini rumputnya halus banget lho." Katanya.

"Tony, kamu jangan nginjak tanaman yang udah aku siram dong." Kataku.

"Aku tidak menginjak, aku cuman mau mengecek saja." Katanya, lalu saat itu aku sengaja mencipratkan sedikit air ke arahnya lewat selang yang kubawa ini.

"Mel, hati-hati dong kalo nyiram." Katanya dengan ekspresi kaget, lalu aku tertawa sedang.

"Kan aku udah bilang jangan dekat-dekat sama tanaman yang sedang aku siram, jadi ikutan kesiram kan." Kataku. lantas Tony menatapku sambil tersenyum.

"Kamu pasti sengaja ya?" Tanya-nya. Dan aku pura-pura gak dengar. Kemudian seketika itu Tony berlari ke arahku, aku langsung kaget dan dia ingin mencoba merebut selang yang kupegang ini.

Sungguh, saat itu juga kami berdua malah bermain kejar-kejaran sambil ciprat-cipratan air, sesekali kami berebut selang, sampai selang itu copot dari kran, dan aku berlari disaat Tony mengejarku, hingga tanpa kusadari aku terpelesat oleh licinnya rumput taman ini, dan Tony langsung berada tepat diatasku disaat aku tertawa terbahak-bahak.

"Udah stop, selesai," kataku sambil terengah-engah, dan Tony langsung membantuku untuk berdiri. Kemudian setelah itu kami tidak sadar kalau Amir sedang memantau kami berdua, dia menengok, hingga kami merasa seperti kepergok.

"Tuh kan, pagi-pagi udah mesra-mesaraan lagi." Kata Amir yang membuat kami berdua tertawa sedang.

"Maaf ya Mel, jadi kacau kan pekerjaanmu, sini aku bantuin, aku seirus gak bercanda lagi." Katanya, dan kuberikan selang air itu pada-nya, kemudian kami bertiga pun bekerja bersama-sama membersihkan taman ini.

Kami menyelesaikan itu cukup cepat, bekerja dalam tim memang membuat pekerjaan terasa lebih ringan. Lalu ketika jam kerja di kantor sudah dibuka, Tony kembali ke tempat kerjanya, aku sampai tak enak melihatnya dalam kondisi yang lumayan basah akibat siram-siraman tadi, sehingga saat itu dia kukasih sapu tangan, untuk mengeringkan kemeja di lengannya yang basah.

Aku melihat berita pagi ini saat Tv di ruang tunggu para tamu menyala, dan aku seolah dibuat bosan oleh pemberitaan mengenai virus corona yang seakan tak ada matinya itu.

Dalam berita itu mengatakan bahwa virus tersebut mampu bertransmisi dari manusia ke manusia, sehinga bila ada seseorang yang menderita gejala panas, batuk, dan sesak nafas harus menyegerakan diri untuk periksa ke dokter, dan tak luput juga harus memakai masker.

Aku seakan tak habis pikir bahwa WHO saat itu berkata kalau bagi orang yang sehat, tidak memerlukan untuk memakai masker, dan masker hanya diwajibkan untuk yang sakit, hal itu ialah sebagai upaya bentuk antisipasi atas langkanya masker saat ini.

Kemudian pada berita itu juga terdapat bentuk virus korona yang berukuran amat kecil, serta mampu menempel pada benda mati seperti logam, kayu, karet, besi, kaca, dan benda lainnya dalam kurun waktu yang berbeda-beda.

Mereka juga memberitakan perihal jumlah kasus virus tersebut yang kian meningkat drastis, namun berita baiknya kala itu bahwa Indonesia masih nol kasus, disinyalir oleh beberapa pengamat kalau virus korona sangat berpengaruh pada suhu udara. Oleh karenanya Indonesia sebagai Negara tropis cukup sulit untuk terpapar virus tersebut, namun kala itu juga banyak kalangan yang menganggap bahwa persepsi tersebut tidaklah efektif apabila Indonesia akan terbebas dari virus korona.

Sebagian pada chanel berita lain mengabarkan kalau hubungan perdagangan Indonesia dan China masih terus berjalan, hanya saja untuk komoditas impor dan ekspor antar kedua Negara tersebut mulai diadakan pembatasan kuota. Namun pada sektor pariwisata saat itu diberitakan, bahwa pemerintah mengucurkan dana stimulus untuk meningkatkan kunjungan turis mancanegara dengan mengadakan diskon besar-besaran. Ketika itu aku sedikit merasa khawatir akan ada dampak dari kebijakan tersebut, namun entahlah, aku saat ini fokus pada pekerjaanku yang menurutku masih banyak yang belum selesai.

Sejenak aku mengingat masker, hal itu seakan menggiringku pada perintah Pak Hamid. Entah bagaimana respon beliau kalau dia melihat berita soal perkataan WHO tadi! tapi lagi-lagi aku tak mengerti, yang hanya bisa kulakukan hanya mencari alasan pada beliau agar aku tak terkena omelannya.

Pagi sudah berlalu, dan siang ini Amir tiba-tiba menghampiriku saat aku hendak menuju ke pantry,

"Mel, Kamu dipanggil Pak Hamid, disuruh langsung ke kantornya sekarang." Katanya. dan sudah kutebak.

"Oke, aku akan kesana." Balasku. Dan aku berjalan menuju ke ruangan Pak Hamid bersama Amir di sampingku.

"Permisi Pak.." salam-ku saat aku berada pada ambang pintu ruangannya.

"Masuk aja Mel, iya, gimana akhirnya kabar masker itu, udah dapat?" Tanya beliau yang langsung to the point.

"Belum Pak, saya sudah cari di toko-toko besar mana pun, bahkan di apotik-apotik besar pun juga habis dan kosong." Balas diriku.

"Duhh Mel, masa dari dulu nyari gitu aja belum dapet-dapet sih! kantor saya ini harus memenuhi syarat keselamatan yang bagus lho, pokoknya hari ini kamu harus cari lagi sampai dapet." Katanya.

"Iya Pak, maaf sebelumnya tapi emang saya sadari sendiri kalau di pasaran stoknya sekarang udah bener-bener langka banget Pak." Ujar Amir.

"Iya saya tau, tapi kita gak bisa terima gitu aja dong, dengan alasan stok langka terus kita gak pakai alat pengaman sama sekali." Kata Pak Hamid.

"Pak, Gimana kalau belinya di online aja, entar biar saya pesankan hari ini." usul diriku.

"Terserah, pokoknya saya mau hari ini harus ada barangnya, ya-maksimal besok lah, pokonya besok pagi saya gak mau tau kantor ini harus punya masker." Kata Pak Hamid, dan tenggorokanku saat itu merasa tersekat.

"Iya Pak, saya usahakan." Balasku.

"Untuk yang washtafel portable-nya saya minta kamu Mir, belikan tungku air yang besar ya, sama sekalian diisi air bersih sampe penuh, sama pasangin meja kecil di depan kantor, dan jangan lupa juga beli sabun cuci tangan yang cair, uangnya ada di Amel, dia udah aku kasih satu juta." Kata Pak Hamid, dan aku tak habis pikir apakah uang pemberiannya itu bisa mengcover semua persediaan itu? Mengingat masker sendiri yang kulihat lewat online shop kemarin haranya nyaris membuatku menjerit.

"Iya Pak, biar kami berdua yang akan mengatur semuanya, saya jamin besok udah beres." Jawab Amir, kemudian Pak Hamid sedikit tersenyum tipis sambil mengangguk.

"Oke, saya minta jangan molor lagi, kalau sampai besok ada yang belum beres, kalian berdua akan saya hukum." Katanya.

Saat itu aku mulai bingung, keluar dari ruangan Pak Hamid membuatku ingin cepat-cepat untuk menyelesaikan semua itu. Amir kuberi uang agar dia bisa pergi untuk membeli tungku dan sabun cair. Sedangkan diriku berusaha melihat-lihat harga masker di toko online yang hendak kubeli, dan harganya sangat mahal-mahal, aku mencoba menghubungi kontak online tersebut, dan untuk pengiriman sendiri tak bisa dilakukan dalam waktu cepat, sedangkan Pak Hamid sendiri memintaiku supaya sekarang atau besok barang tersebut harus sudah tersedia di kantor ini.

Hari yang sial, saat ini aku benar-benar amat kerepotan. Aku meninggalkan separuh jam istirahatku untuk memikirkan hal ini, hingga aku tak sadar sampai Tony datang menghampiriku, dan dia berkata.

"Mel, yuk kita pergi cari makan siang?" katanya.

"Kayaknya gak jadi deh, maaf, aku sibuk banget soalnya." Jawabku.

"Sibuk apa si?" Tanya Tony, dan sungguh, mendengar perkatannya itu sejenak membuatku kesal.

"Udah dulu lah Mel, gak usah serius-serius amat, ini kan waktunya jam istirahat, kita makan dulu yuk?" katanya, dan aku rasa ucapannya itu benar. suara kalemnya itu membuat diriku seketika menatapnya.

"Ditaruh dulu hp-nya, kita istirahat dulu yuk." Kata Tony. dan entah kenapa saat aku menatap wajahnya dari dekat, aku mulai sadar kalau pada wajah Tony nampak ada luka sayatan kecil di hidungnya, namun saat itu aku menepis.

"Iya deh, maaf." Kataku, sambil mengacuhkan ponselku dan kutaruh ponsel itu kedalam saku celanaku. Dia membantuku untuk berdiri, dan kedua tangannya memegang tanganku, kami berdua pun berjalan.

"Kita cari makan dimana?" tanyaku.

"Kita makan di food court-nya cito aja ya!" katanya, dan aku hanya merunduk, merasa sangat tidak mood siang ini.

Sesampai di sana, food court cito cukup ramai. Kami memesan penyetan ayam yang terkenal super pedas di area makan tersebut. Saat itu Tony nampak melihatiku yang sedang super sibuk melihat Hp.

"Taruh dulu dong Mel, entar baru maen Hp lagi." Katanya, dan perintahnya itu seolah membuatku seperti anak kecil.

"Baiklah, aku nyerah." Kataku. dan dia tersenyum.

"Emangnya tadi Pak Hamid bilang gimana?" Tanya Tony.

"Besok aku harus bisa ngedapetin masker, kalo enggak, dia bakal ngasih hukuman buat aku." Jawabku, lantas Tony sedikit berpikir sejenak.

"Hmm, yaudah gini aja, kayaknya mama-ku bisa bantu kamu deh Mel. Kebetulan mama-ku itu seorang petugas admin di rumah sakit, coba nanti kutanyakan ya. " Katanya, lalu aku sejenak mengangkat alis.

"Oh ya? Tapi ini maksimal besok harus ada." Kataku.

"Kalau kamu gak sabar, sekalian nanti sore pulang kerja kita ke sana, biar kamu bisa ngomong sama mamaku langsung." Katanya, spontan aku langsung bernapas lega.

"Boleh," balasku sambil tersenyum.

"Tapi aku nanti berangkat naik motorku sendiri aja ya?"

"Terserah, boncengan sama aku juga gak masalah."

"Gak usah deh, kasian kamu udah bolak-balik aku repotin terus." Kataku, yang sekaligus membuat mood makan siangku kembali membaik. 

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 13..