Ciumannya begitu terasa lembut di bibirku, sampai mebuat hatiku mampu menyatu untuk berseteru dengan angin malam yang dingin ini. Rintik hujan yang mengguyur wajahku mampu memecahkan pandangan mata tepat pada wajah Tony. Dia membekaskan sedikit liur di bibirku, dan aku mengusapnya saat itu juga.
Aku tak bisa berkata apa-apa dalam momen ini, yang ada pada diriku hanya tak menyangka kalau dia melakukannya. Kurasa tubuh-ku akan segera membeku oleh angin malam.
"Maaf," kata Tony, sambil menatap mataku, dan mata sayunya mampu menghipnotis diriku.
"Sejujurnya aku tidak pernah merasakan sebuah ciuman," kataku dengan amat gugup. "Kamulah laki-laki pertama yang pernah mencium bibirku." Imbuh-ku pada akhirnya dengan amat kikuk. Tony sejenak tersenyum, helaian tangannya yang membelai leherku perlahan turun melepasku. Sunyi dan sepi.
"Oh ya? Maaf sekali aku sama sekali tak bisa…." Katanya dan kupegang bibirnya dengan telunjukku supaya dia tak mengucapkan kata maaf lagi.
"Ssstt, udah gak usah minta maaf," kataku. suara rintik hujan mengheningkan suasana ini. kami terdiam tanpa kata selepas Tony mulai merundukkan kepala.
"Sebaiknya kamu pulang, dan langsung istirahat ya." Katanya, lantas aku menjawab perkataannya dengan senyuman.
"Iya, tapi besok kamu jemput aku kan?" tanyaku, lalu Tony mengangguk.
"Tentu, besok kita berangkat pagi-pagi." Katanya. lalu aku perlahan beralih untuk masuk ke dalam rumah, dalam hatiku masih merasa berbunga-bunga sehabis dia mencium-ku. Sejenak diriku menoleh kebelakang untuk melihat kondisinya. Dan dia tetap memantau diriku sampai aku benar-benar masuk ke dalam rumah nenek-ku. Dia tersenyum, dan aku melakukan hal yang sama, lalu dia masuk ke dalam mobil, dan dia pergi.
Aku pulang begitu larut, dan kondisi pintu masuk rumah nenekku sedang dalam keadaan terkunci rapat, bahkan lampu halaman rumah pun sudah dimatikan oleh mereka. Dengan ragu diriku mengetuk pintu tersebut, sampai tak ada sama sekali yang merespon.
Tante Anik dan paman Farid pasti sudah tidur, entah siapa yang akan membukakan pintu untukku, kalau nenek-ku sendiri tidaklah mungkin, indra pendengarannya begitu buruk sekali. Aku masih tetap mengetuk pintu itu, sampai aku tak sadar kalau aku mendengar bunyi suara Nino yang sedang menangis. Kurasa ketukanku berhasil membangunkannya dari tidur. Lalu suara langkah kaki dari dalam terdengar mendekatiku, dan pintu itu akhirnya terbuka oleh orang dalam, rupanya tante Anik yang membukanya untukku.
"Duh pelan-pelan dong kalau ngetuk pintu." Katanya dengan nada kesal. Diriku langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
"Maaf, diluar dingin sekali soalnya." Kataku, lalu tante Anik kembali mengunci pintunya.
"Lho, mana Jojo?" Tanya tante Anik.
"Oh untuk malam ini Jojo ingin belajar bersama Ibu, jadi dia menginap di sana." Kataku, dan tante Anik menghembuskan nafas panjang.
"Jadi gitu, kalau kamu gak jemput Jojo ngapain pulang sampe semalam gini, kenapa gak sekalian aja kamu nginap di sana?" Tanya Tante anik, yang sedikit membuatku mengernyit.
"Ya-kan seragam kerjaku ada di sini semua, sedangkan Jojo punya banyak seragam di rumah Ibu." Jawab diriku.
"Lagian kalo mau pulang malam itu bilang kek, biar nenekmu itu gak bolak-balik nanyak terus." Kata tante Anik sambil mengembalikan kunci rumah di dalam laci.
"Iya maaf, tadi itu Hp-ku lowbat." Ulesku, dan suara tangisan Nino terdengar cukup kencang.
"Tuh kan Nino sampe bangun, kamu itu bener-bener ya bikin orang kerepotan terus." Katanya dan langsung kembali ke kamar untuk menenangkan Nino.
Sungguh, mendengar perkataan tante Anik membuatku merasa mau marah, tapi aku mencoba diam saja sebab kejadian ini juga aku yang salah, sebaiknya tadi aku tidak mencari masker sialan itu malam ini.
Aku mencoba untuk memasuki kamarku, dan melihat jam pada ponsel ini sudah menunjuk pukul sebelas malam. Mungkin malam ini aku akan sulit untuk tidur, bagaimana aku bisa melupakan momen itu? Momen dimana diriku mendapatkan ciuman pertamaku. Tony, entah apa yang ada dipikirannya saat ini? apakah dari awal dia sudah menyukaiku? Apa yang ada dibenaknya? Yatuhan, bila itu memang benar-benar terjadi, bisa dikatakan kalau tahun ini aku bakalan punya pacar, dan itu artinya aku tidak akan kesepian lagi. Coba bagaimana perlakuan Tony besok pagi saat menjemputku! aku seakan tidak sabar kalau malam ini berlalu dengan cepat dan datang pada esok pagi.
Seketika itu aku menaiki kasurku, mencoba melihat daftar resolusi tahun 2020-ku, di sana tertulis.
"Di tahun 2020 aku ingin punya kamera, di tahun 2020 aku ingin punya pacar yang serius, di tahun 2020 aku ingin setidaknya bisa beli tanah dan membangun rumah, meskipun itu sangat mustahil, di tahun 2020 aku ingin…. Ohh iya, kalo bisa cepat menikah, di tahun 2020 setidaknya sebulan sekali bisa liburan, dan yang paling penting, di tahun 2020 aku ingin utangku semua lunas."
Begitulah isi dari selembar catatan resolusi-ku di tahun ini, dan atas apa yang kualami sekarang, aku berani dan percaya diri untuk mencoret salah satu dari resolusi itu, sebab kuanggap bahwa saat ini aku sudah mempunyai pacar.
Saat semua sudah beres, aku mulai berbaring di atas kamar tidurku, tidur sendirian tanpa Jojo rupanya sangat menyenangkan, aku berharap malam ini bisa bermimpi bersama Tony, remaja umur 22 tahun, entahlah, umur segitu disebut remaja atau sudah dewasa! yang jelas apa yang diungkapkan Eny dulu padaku itu benar, kalau aku terlalu polos.
Pagi harinya, aku bangun tepat pukul lima pagi, sebenarnya aku bangun agak molor, karena biasanya aku bangun jam empat untuk menyiapkan sarapan Jojo, tapi sekarang Jojo ada dirumah Ibu, jadi aku bangun sesuka haktiku.
Kemudian aku langsung bergegas untuk memakai seragam, merapikan rambut, memakai sedikit makeup diwajahku, dan pada pukul enam aku mendengar bunyi motor yang berderu di depan rumah nenekku, lantas saat itu juga aku menengok halaman nenekku lewat jendela kamarku.
Dan aku tidak menyangka kalau Tony datang menjemputku dengan menaiki sepeda motor. Aku tersenyum lebar menatapnya dan langsung keluar untuk menemuinya.
"Nek aku berangkat dulu ya." Pamit diriku pada Nenek,
"Iya hati-hati ya Mel," kata nenekku, sambil melihatku yang langsung nyelonong keluar rumah.
"Lho tunggu, kok gak bareng Jojo? Kok gak bawa sepeda motor?" toba-tiba Tanya nenek. Aku pun langsung mendekatinya.
"Jojo menginap di rumah ibu karena dia lagi ulangan, terus ini aku berangkat kerja dijemput sama teman aku." Bisikku tepat pada telinga nenek.
"Ohh gitu, yaudah hati-hati ya." Katanya, dan aku membalas perkataan nenek itu dengan senyuman lebar. Aku pun keluar rumah sambil membawa helm dan menemui Tony, nenek-ku pun mengikutiku sampai pada ambang pintu masuk.
"Mel, itu beneran temanmu?" Teriak nenek. Lantas aku menoleh dan sejenak menyenggol Tony.
"Iya nek benar, saya temannya Amel," Jawab Tony kalem. Dan saat itu aku tertawa sedang.
"Nenek-ku gak bakal denger Ton, bentar ya." Ulesku, dan diriku berlari mendekati nenek lagi, dan berbisik padanya.
"Iya nek, namanya Tony, teman sekantor aku." Bisikku. Lantas nenek tertawa sedang.
"Hehe, yaudah gak pa pa, lain kali sering-sering ajak Tony maen ke sini dong Mel, biar nenek bisa ngobrol-ngobrol sama temenmu." Kata nenek.
"Oh iyaah, entar aku bilangin ke anaknya, yaudah aku berangkat ya nek, entar keburu telat lagi." Balasku.
"Iya hati-hati." Tindas-nya.
Saat itu aku dibonceng sama Tony menggunakan sepeda Honda GL yang menurutku itu ialah sepeda jadul anak-anak remaja yang biasa dipake untuk berangkat sekolah. Tony berpamit sama nenek-ku dengan melambaikan tangan.
Kemudian kami berduapun berangkat, aku tak habis pikir kalau pagi ini akan diantar sama Tony menggunakan sepeda motor. Jujur saja, suasana pagi hari ini begitu sejuk dan sepi, kami melewati jalanan yang masih cenderung lengang dengan awan biru redup yang penuh dengan kabut dan embun. Sungguh aku berasa seperti di film Milea yang sedang dibonceng sama Dilan, entahlah, rasanya aku ingin memeluk Tony dari belakang.
"Kamu tadi bilang apa Mel ke nenekmu?" Tanya Tony.
"Ohh, tadi itu dia bilang kalau kamu disuruh maen ke rumahnya." Kataku.
"Oh-ya? Oke deh, kalau ada waktu aku maen ke rumah nenek-mu." Kata Tony. Lantas aku mengangkat alis.
"Ha! Serius?" tanyaku.
"Iya, sekalian sama nemuin kamu." Katanya. aku pun tersenyum mendengar ucapan Tony.
"Kamu kemaren sampe rumah jam berapa?" tanyaku.
"Selisih setengah jam dari rumah nenek-mu, kebetulan jalanan gak macet karena udah malem banget kan kemaren itu." Katanya.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu bawa sepeda motor sih? Kenapa gak bawa mobil aja?" tanyaku.
"Katanya kamu gak suka mobil, makanya itu aku bawa motor." Kata Tony.
"Astaga Ton, kalau berangkatnya super pagi kayak gini kan jalanan gak mungkin macet, toh alasan-ku gak suka mobil juga karena sering terjebak macet." Kataku.
"Gak pa pa, lagian sekali-sekali motor-ku ini aku pake, soalnya udah lama banget gak kepake." Katanya.
"Oh, ini motor kamu pas kuliah ya?" tanyaku.
"Iya bener, mudah di tebak banget ya?" kata Tony, dan aku tertawa sedang.
"Iya, soalnya dulu pas masih sekolah kebanyakan teman-teman cowok di sana sepeda motornya semerek kayak punyamu." Kataku.
"Entar jangan-jangan kamu dulu sering di bonceng pake sepeda motor ini ya Mel?' Tanya Tony.
"Ya enggak juga sih, aku dulu pas sekolah malah sering naik bus." Kataku.
"Naik bus? Kenapa gak pake sepeda motor matic-mu itu?" Tanya Tony.
"Dulu aku pas sekolah belum punya motor Ton, bahkan naik sepeda motor aja saat itu aku gak bisa, baru saat aku lulus dan kerja di tempat magangku aku bisa membeli shine." Kataku.
"Shine? Apa itu?" Tanya Tony.
"Iya Shine, nama sepeda motorku adalah Shine." Jawabku, lantas Tony tertawa saat itu juga.
"Astaga, kamu itu anaknya unik ya ternyata!" ules Tony, dan aku meresponnya dengan senyuman tipis.
"Oh-iya, Hari ini kamu bawa bekal gak?" Tanya Tony.
"Bawa sih, tapi cuman untuk sarapan pagi aja, entar siangnya beli, emangnya kenapa?" kataku.
"Oke-sip, entar siang kita istirahat cari makan bareng ya." Kata Tony, dan diriku sejenak tersenyum.
"Boleh, tapi liat entar dulu deh, soalnya aku juga masih kepikiran soal masker, haha." Kataku.
"Kalau kamu mau, entar aku bantu bilang ke Pak Hamid aja, pasti orangnya juga ngerti kok." Kata Tony.
"Eh gak usah deh Ton, biar aku aja yang bilang, yang disuruh beli kan aku." Kataku.
"Yakin kamu berani ngomong ke Pak Hamid sendiri?"
"Ya berani lah, entar aku remkomendasikan untuk beli lewat online aja, biarin meskipun harganya selangit," kataku.
"Bagus deh, lagian perusahaan kita kan kaya raya, pasti gak bakal nyesel kalo cuman buat beli masker saja." Kata Tony.
"Iya juga sih." Enyahku, lalu percakapan antara kami berdua sejenak terhenti. Aku sangat menikmati pagi ini, dan berada di belakang pundak Tony seakan diriku tak punya beban hidup, entahlah, kuharap perjalanan ini masih panjang.
"Amel." Tiba-tiba Tony menyapaku, aku membalasnya sambil menikmati pemandangan kota pagi hari.
"Sekali lagi aku minta maaf ya soal semalam." Katanya.
"Udah deh gak usah dibahas," kataku.
"Ya harus dibahas lah, aku rasa momen semalam itu bagiku sangat penting sekali." Kata Tony, dan seketika jantungku berdebar sesuai ritmenya.
"Jadi kamu mau bahas seperti apa?" tanyaku.
"Mau ku sih,…." katanya, yang tersendat entah kenapa.
"Bilang aja Ton." Tanyaku, yang sangat amat penasaran.
"Mau ku sih kita jadi pacaran Mel." Katanya, dan saat itu juga seperti apa yang aku duga semalam, kalau hal ini terjadi.
"Oke." Jawabku yang terdengar amat kikuk. Lantas laju sepeda motor Tony sejenak menjadi agak pelan. Dan entah kenapa itu membuat sekujur tanganku jadi merinding.
"Mel, kalau kamu masih ngantuk, bersandar aja di belakangku." Kata Tony. Sebenarnya udara dingin ini sama sekali tak membuatku ngantuk, bahkan kabut pagi yang tebal ini tak membuat diriku mengigil, tapi atas dasar keinginanku saja, saat itu aku memeluk tubuh Tony dari belakang, sambil kupejamkan mataku, dan anehnya aku malah jadi merasa ngantuk.
Bersambung...
Lanjut ke Chapter 12...