Chapter 10 - Bab 10

Pada gemerlap malam yang cerah ini, aku bergegas pulang meninggalkan kantor bersama Tony untuk langsung menuju ke pusat perbelanjaan hypermart yang terletak di dalam mall Royal plaza. Aku menaiki mobil Tony untuk yang kesekian kalinya, dan jujur saja, duduk di sini membuat diriku terasa mual.

Seharusnya aku menghabiskan makan siangku tadi supaya aku punya stamina, mungkin akibat telat makan kini kepalaku terasa begitu pusing, apalagi berada pada jalanan yang macet disaat jam-jam pulang kerja saat ini. Tapi untungnya letak mall tersebut tak begitu jauh dari kantorku. Sehingga ada waktu sekitar lima belas menit kami berdua bisa sampai di sana.

Suasana ramai dan riuh langsung semerbak di depan mataku. Dari dulu tak peduli hari libur atau hari kerja, mall ini sangat terkenal ramai.

Banyak barang-barang murah yang dijual di sini, serta diskon besar-besaran awal tahun baru lalu yang membuat Eny sempat pernah memborong baju batik di salah satu distro di Royal. Sejenak diriku teringat, tumben Eny dan Andy tidak menelponku untuk sekedar mengajak hang-out diriku! Biasanya di jam-jam pulang kerja seperti ini mereka selalu punya acara dan mengajakku keluar.

Ohh aku ingat kalau Eny sudah punya pacar, "why not." katanya dulu pas live Instagram di hutan mangrove. Oke lah, setidaknya diriku sekarang bersama Tony. Dia terlihat kebingungan mencari letak Hypermart di dalam mall ini.

"Kamu lewat mana?" kataku, saat dia hendak naik eskalator.

"Bukannya tokonya di lantai atas?" katanya.

"No, letaknya di UG, kita ke bawah dulu, yang di atas lantai 3 itu Ace Hardware." Kataku, lalu dia sadar, dan kami berdua turun ke lantai bawah agar langsung menuju ke toko tersebut. Dan ternyata sesuai dengan dugaanku, malam ini Hypermart sungguh ramai bukan main. Padahal kalau hari-hari biasanya tak seramai ini, bahkan ini seperti hari sabtu dan minggu. Aku langsung bertanya pada salah satu petugas yang ada di sana.

"Mas, jual masker?" tanyaku, dan lelaki itu tersenyum dan menjawab.

"Maaf kak, barusan aja maskernya udah abis, sekarang stoknya kosong." Saat mendengar jawaban dari petugas itu, aku langsung mengajak Tony ke lantai atas.

"Makasi yah." Kataku pada petugas itu, lalu aku dan Tony menaiki eskalator sampai ke lantai tiga. Dan di dalam toko tersebut terdapat antrian yang sangat panjang sekali di kasir. Aku penasaran dan langsung mendekat pada keramaian antrian tersebut. Dan kutanyakan pada security yang berjada di luar toko itu.

"Itu antri apa ya Pak?" tanyaku. Lalau bapak Security itu menjawab.

"Ohh itu antrian pembelian masker, tapi belinya dibatasi gak boleh banyak-banyak, dan belinya harus pake KTP." Kata bapak Security tersebut.

"Yaudah Mel, mending langsung ambil antrian saja keburu kehabisan." Usul Tony, aku mengangguk dan langsung ikut bergabung dalam antrian itu. Sungguh rasanya aku ingin pinsan, aku begitu merasa capek dan juga lapar. Rasanya aku perlu makan terlebih dahulu, tapi bagaiamana dengan antrian ini bila kutinggal? Ingin rasanya aku minta tolong kepada Tony untuk membelikan diriku makanan di lantai food court, namun rasanya aku sudah tak kuat lagi untuk menunggu. Rasanya aku ingin pulang saja.

Dan nyatanya saat ketika aku menunggu sudah cukup lama, aku seakan seperti kena prank, rupanya masker tersebut telah habis, dan ungkap salah satu petugas yang ada di toko tersebut berkata kalau stok masker menunggu datangnya kiriman terlebih dahulu dengan waktu yang belum ditentukan. Spontan aku langsung merasa frustasi soal hal ini.

Aku mencoba mencari referensi lain untuk membelinya di toko online, sambil berjalan diriku menghampiri Tony dengan amat lesu. Tony sampai menungguku di samping toko retail yang sedang tutup sambil jongkok.

"Gimana? Udah dapet?" Tanya Tony, aku menggeleng padanya, dan dia menghembuskan nafas panjang seolah ikut merasa letih.

"Udah kehabisan, tapi Ini aku liat di online shop harganya sampe 300rb per pack lho." Kataku sambil melihat-lihat lewat handphone. Tony langsung kaget.

"Haah masa sih?" Tanya-nya. Lalu kutunjukkan semua itu padanya lewat ponselku.

"Astaga, berarti benar nih Mel, kalo stoknya udah bener-bener langka." Katanya, dan diriku merunduk sambil berpikir.

"Entar aku bilang aja ke Pak Hamid dehh soal ini, kita cari makan dulu yuk? Perutku laper banget sampe mau pinsan." Kataku.

"Ayo, kita makan di Solaria aja yah, takut-nya food  court rame." Katanya, lantas aku berpikir lagi, kira-kira mahal gak ya makan di sana? Batinku, tapi entah lah, semoga saja Tony yang mentraktirku lagi.

Lalu sesampai di sana, aku memesan menu yang sama seperti menu-nya Tony, yaitu nasi goreng. Beruntungnya kami di sini keadaannya tak begitu ramai, jadi masih ada meja yang kosong untuk kami duduki.

"Maaf ya kalo udah ngerepotin, gara-gara ikut nyari masker jadi sampe ikutan ngantri." Kataku.

"Sama sekali gak ngerepotin kok, lagian aku sendiri kan yang minta nganterin kamu, udah lah santai aja." Katanya. Dan sepanjang kami menunggu makanan itu datang, aku sibuk mengecek harga-harga masker yang ada di online shop, memang beberapa ada yang murah, tapi aku masih bimbang kalau hendak memesannya lewat online.

"Masih mikirin masker?" Tanya Tony. Dia menyeruput lemon juice sambil menatapku.

"Iya nih, abis gimana lagi, pasti besok Pak Hamid bakal ngambek kalo aku masih belum nemuin barang itu." Kataku.

"Gak bakal ngambek, dia pasti juga tau kok kalo stoknya emang sedang langka." Kata Tony.

"Kamu tau gak caranya bikin washtafel portable?" tanyaku, yang seketika teringat soal washtafel.

"Buat apa pake washtafel segalak?" Tanya Tony.

"Ya kemaren itu Pak Hamid nyuruhnya gitu, buat dipasang di depan kantor. Duhh jadi bingung kan aku." Kataku.

"Gak usah bingung, kan ada pak Amir nanti yang juga bakal ikutan bikin washtafel potabelnya, paling juga pakek tungku air dan di bawahnya di kasih bak." Kata Tony. Lalu tak lama itu makanannya sudah datang dengan diantar di meja kami, kemudian saat itu diriku makan makanan itu dengan lahap. Setelah semua itu selesai, Tony membayar makanan ini di kasir, dan aku menunggunya untuk kembali. Saat aku melihat dia berdiri sambil mengantri di kejauhan sana. Aku rasa Tony orangnya cukup tinggi, dia begitu ideal, entahlah. Terkadang aku punya persepsi tersendiri terhadapnya, terutama dalam hal kecerobohannya.

"Ayo, udah selesai, terus ini gimana? Apa kita cari lagi maskernya?" Tanya Tony saat selesai mengantri di kasir. Aku terdiam dan tak bisa berpikir. Jujur saat ini aku sangat amat capek, dan kali ini aku merasa kekenyangan.

"Terserah deh, tapi ini udah malem banget lho." Kataku. Sambil melihat jam di ponselku.

"Ya gak pa pa, kalau masih mau nyari aku temenin, kalau udah, aku antar pulang." Katanya.  Lantas aku berpikir.

"Kita nyari dulu aja yah sebentar, entar kalo emang bener-bener gak ada kita pulang." Kataku, dia membalasnya dengan senyuman. Saat itu tujuan kami mampir di retail-retail yang sebenarnya menjual alat-alat kecantikan dan juga medis, dan aku bertanya di sana dengan penjualnya, namun jawaban mereka yaitu tidak menjual masker. Kemudian kami juga mengunjungi toko Century, toko yang menjual obat-obatan dan alat kebersihan, tapi di sana mereka juga tak menjual masker. Sepertinya tujuan kami sudah mentok. Waktu juga berjalan begitu cepat hingga tak terasa sudah nyaris pukul 10 malam.

"Oke deh kita pulang aja yah! kayaknya udah gak ada lagi toko yang perlu disamperin." Kataku.

"Yakin udah gak ada lagi?" Tanya Tony.

"Iya gak ada, lagian ini udah malem, biar besok aku bilang ke Pak Hamid kalo masker sekarang udah langka." Kataku.

"Oke deh, ngomong-ngomong kamu berani enggak? Bilang ke Pak Hamid seperti itu?" katanya.

"Ngapain gak berani? kenyataannya memang gitu kok." Kataku, dan Tony pun tertawa sedang.

"Yaudah kalo memang berani gak usah dipikir teralalu serius." Katanya.

"Ya-enggak lah, lagian corona juga gak bakal masuk di Indonesia kan." Kataku. "Mereka itu cuman lebay aja, seolah-olah berita itu digede-gedein sampe bikin banyak orang yang ketakutan." Imbuh-ku, dan kami berdua melanjutkan perjalanan untuk keluar area mall menuju ke parkiran mobil.

Sesampai di lantai dasar, aku mendengar seperti ada suara gemuruh di luar sana, dan itu membuat diriku penasan untuk melihat area luar yang berpapasan langsung oleh kami berdua.

"Yaaahhhh hujan, gimana nihhh?" kataku, saat mengetahui kalau diluar sana ternyata hujan sangat deras sekali.

"Gimana kamu Mel? Di jok bawa jas hujan kan?" Tanya Tony. Aku seketika teringat dan langsung panik.

"Oh Astaga, enggak Ton, aku gak bawa jas hujan, duhh gimana nihh." Resah diriku, kemudian Tony sejenak menenangkanku.

"Udah gak pa pa, kita tunggu hujannya sampe terang gimana?" kata Tony.

"Tapi hujannya ini pasti bakalan lama deh," kataku.

"Semoga aja cuman sebentar, dari pada sampai rumah kamu kehujanan!" katanya, kami tetap berdiri pada ruang lobby yang kini ramai oleh pengunjung yang mau keluar masuk. Kami semua seakan seperti tertahan di sini, dan tak tau harus berani keluar atau tidak ditengah hujan yang begitu deras ini.

"Mel, kita duduk di sana saja yuk." Kata Tony saat melihat ada tempat duduk pengunjung kosong yang difungsikan untuk menunggu keberadaan taksi atau mobil jemputan lainnya. Aku dan Tony duduk di kursi tersebut bersama, dan menatap hujan dari luar yang terhembus-hembus oleh angin malam.

Nampaknya dia terlihat tak begitu keberatan meskipun kami dalam keadaan terdampar seperti ini.

"Ini pasti bakal sampe malam deh Mel, kamu gak dicariin sama nenek-mu kalau pulang malam-malam?" Tanya Tony.

"Kayaknya bakal dicariin, tapi di sana ada paman sama tanteku kok, mereka berdua yang menemani nenekku saat aku masih belum pulang saat ini." kataku.

"Apa gak sebaiknya kamu telpon dulu aja, biar orang rumah gak kepikiran sama kamu?" Kata Tony.

"Nenek dan adikku tidak punya Hp, lagian kalau aku nelpon tante dan pamanku saat ini, yang ada mereka itu gak peduli sama sekali." Balas-ku.

"Kok bisa gitu?" Tanya Tony. Lalu aku menatap wajahnya.

"Aku gak cocok sama mereka berdua, mending gak usah dibahas deh." Kataku, dan Tony nampak mengernyit penasaran.

"Pasti masalah keluarga yah?" Tanya Tony, lalu aku menatap wajahnya, dan merasa kalau Tony terlihat begitu letih.

"Hmm, maaf ya udah bikin kamu kerepotan hari ini." kataku saat menatap wajahnya, dia mulai menatap wajahku. Seiring dengan senyumannya itu, jantungku mulai berdetak sesuai ritmenya.

"Aku tidak kerepotan kok, sama sekali tidak, lagian kalau di rumah juga gak ada yang nyariin." Katanya.

"Bukannya kamu juga tinggal di rumah orang tuamu?" tanyaku.

"Iya sih, tapi lebih tepatnya aku Cuma tinggal sama ibuku saja, sedangkan ayahku sudah tidak satu rumah lagi." Katanya.

"Oh ya? Kenapa?" Tanyaku sambil mengernyit.

"Kayaknya gak perlu diceritain juga deh." Katanya sambil tertawa kecil, yang menurutku terdengar seperti suara rintihan.

"Pasti itu ada hubungannya sama percakapanmu tadi di ruang arsip itu yah?" tanyaku, dan dia langsung mengangkat alis.

"Emang kamu mendengar semua percakapanku saat di ruang arsip sana?" Tanya Tony dengan nada serius.

"Enggak, aku cuman mendengar suaramu saja yang lagi marah-marah." Jawab diriku, dan Tony sedikit menghembuskan nafas panjang.

"Yah begitulah kalau orang sedang marah, tapi aku selalu mudah untuk mengontrol semua emosi itu." Katanya. dan setelah itu kami beruda terdiam sambil menatap hujan yang amat deras di luar sana, dengan balutan udara dingin dan suara gemuruh yang membuat hati terasa membeku

"Gimana kalau aku antar saja kamu sampai ke rumahmu? Biar sepeda motormu tinggal di kantor, dan besok paginya aku jemput dirimu untuk berangkat bekerja?" katanya. Aku sejenak berpikir, kalau Jojo perlu menginap di rumah Ibu untuk malam ini saja, sehingga besok paginya ibu yang mengantarkannya pergi ke sekolah. Untuk urusan nenek, aku mungkin bisa bilang padanya kalau Jojo perlu belajar sama ibunya. Yahh, dan pada malam itu, Tony mengantarkanku sampai di rumah nenekku, dan saat tepat berada di depan rumah, dia membukakan pintu mobil untukku. Saat itu suasana begitu sepi, dan kami menatap satu sama lain dalam beberapa waktu yang cukup lama, hingga tak terpikir oleh banakku, kalau Tony menciumku dimalam ini.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 11...