Chapter 9 - Bab 9

Selasa, 18 February 2020.

Pagi ini rasanya begitu dingin sekali, bahkan temperatur suhu Ac dalam kantorku sudah kuperkecil. Langit terlihat mendung dan dipenuhi oleh kabut, aku rasa pagi ini bakalan turun hujan, dan mulai untuk repot memikirkan kondisi lantai yang kerap becek oleh kaki-kaki pengunjung.

Amir berkata padaku kalau sebaiknya diriku lebih fokus terhadap lantai di depan pintu masuk saja, sebab di area itulah yang kerap kali kotor. Pagi ini rasanya belum ada satupun karyawan yang datang, mungkin diriku datang terlalu pagi.

Namun bila waktu sedikit bertambah siang, kantor ini sudah ramai oleh datangnya pengunjung, sehingga diriku memerlukan setidaknya dua jam untuk semua pekerjaanku ini beres.

Saat diriku mengecek ponsel, aku mendapat notifikasi pesan whatsapp dari Bastian, dia berkata kalau Handsinitizer di tempat temannya itu masih tersedia, namun aku terkejut saat melihat harganya yang mencapai 350 ribu per botol dengan isi 500 ml. Sedangkan untuk masker sendiri, dia mengaku kalau dia tidak bisa menolongku, sebab dia tidak memiliki teman yang menjual barang itu. Aku menjadi ragu dan bimbang untuk membalas pesan darinya, lebih baik aku koordinasi dengan Amir dalam hal ini. Kemudian aku mencari Amir saat itu juga, dan dia kutemui sedang menyalakan televisi sambil memandang lekat-lekat sebuah berita yang menayangkan tentang perkembangan virus korona tersebut. Aku langsung menghampirinya.

"Gara-gara corona, Pak Hamid menyuruhku untuk membeli masker dan handsinitizer, aku udah dikasih uang satu juta sama orang itu." Kataku disampinya yang sedang berdiri melihat Tv.

"Banyak banget? Tapi kamu udah nyari?" Tanya Amir.

"Udah, tapi kamu tau gak si kalau banyak apotik yang gak jual barang-barang itu, kebanyakan stok mereka habis. Tapi ini aku udah nyari ke temenku, dan dia punya teman yang jual handsinitizer harganya 350rb isi 500ml, kemahalan gak si kalo segitu?" tanyaku padanya. Kemudian Amir menatapku.

"Gak masalah Mel, isi segitu udah banyak banget, mending kamu ambil aja mumpung masih ada." Katanya.

"Oke deh, tapi untuk maskernya dia gak bisa bantu." Kataku.

"Tak masalah, nanti kita cari bareng-bareng aja, tapi kamu udah coba nyari di kimia farma?" Tanya Amir.

"Belum sih, pikirku mungkin di sana ada, gimana kalau kita berangkat sekarang saja, mumpung kantor masih sepi?" kataku. Kemudian pada waktu itu kami berdua berangkat menuju ke apotik kimia farma sambil berboncengan menggunakan sepeda motor milik Amir.

Sesampai di sana, aku tak habis pikir kalau ternyata banyak pengunjung yang berdatangan di apotik tersebut di jam-jam pagi seperti ini. Tanpa perlu mengantri, aku langsung bertanya kepada salah satu petugas di apotik itu.

"Bu jual masker?" tanyaku. Petugas itu hanya tersenyum sambil berkata.

"Yaampun mbak, barusan aja udah banyak yang beli, ini udah kosong gak ada sama sekali." Katanya. Kemudian Amir bertanya.

"Tapi untuk stoknya bakal ada lagi kan bu?"

"Kita masih belum tau mas, maaf sekali ya." Kata petugas tersebut, lalu diriku timbul rasa khawatir, barang kali memang stok masker dimana-mana sudah tidak ada. Tak sampai di situ saja, kami berdua mencoba mencari di apotik yang lain, dan semua toko apotik yang kami kunjungi sama sekali tidak ada yang mempunyai stok masker, meskipun itu niat kami mau beli eceran pun, tak ada satu pun apotik yang menjualnya.

Lalu saat waktu sudah semakin siang, kami berdua kembali ke kantor dengan tangan kosong, yang kami dapatkan malah nota parkir yang cukup banyak. Aku ingin menginfokan hal ini kepada Pak Hamid, dan saat itu juga aku langsung menuju ke kantornya.

"Permisi Pak," salam-ku saat diriku memasuki ruangannya.

"Oh silahkan Mel, gimana? Udah dapat barangnya?" Tanya beliau.

"Gini pak, saya sudah cari di apotik mana pun, tapi disana semua habis tidak ada yang menjual masker, handsinitaser, dan juga sarung tangan. Untuk handsinitazer-nya saya punya teman, dan dia jual barang itu seharga 350 rb sebanyak 500ml." kataku. Lalu Pak Hadi sejenak garuk-garuk kepala.

"Gak pa pa Mel ambil aja, tapi saya betul-betul minta sama kamu ya Mel, pokonya di sini harus ada persediaan masker dan sarung tangan lengkap. Kamu bawa aja uangnya dulu semuanya, dan kalau bisa kamu cukup-cukupin ya Mel! Saya benar-benar minta tolong banget, gak masalah kamu cari di temenmu asalkan barangnya ada." Kata Pak Hamid panjang lebar, lantas diriku hanya bisa terdiam sambil mengangguk, dan berpikir dalam benakku aku harus mencari barang itu dimana lagi?

"Baik Pak, saya akan cari lagi." Balas diriku.

"Oh iya Mel, satu lagi," sahut beliau.

"Aku minta kamu nyarinya yang cepet ya! sama tolong cari tau caranya masang washtafel portable di depan kantor ini gimana, sudah itu aja" kata beliau.

"Baik Pak, saya akan cari tau, permisi ya pak." Kataku, dan langsung pergi meninggalkan ruangannya.

Sepertinya aku sudah tidak tau lagi untuk mecari barang sialan itu dimana! yang jelas saat ini kepalaku terasa pusing. Aku mengirim pesan pada Bastian saat itu juga, meminta tolong untuk mencarikan masker dan sarung tangan padanya, meskipun itu tidak menjamin sama sekali.

Sejenak diriku memasuki ruang pantry untuk hendak makan siang. Namun aku seketika mendengar suara seseorang seperti sedang bertengkar, aku langsung mengernyit merasa penasaran dan mencoba mendekat pada sumber suara tersebut, dan sepertinya itu berasal dari dalam ruang arsip. Jujur, aku tidak berani membuka ruangan tersebut sebab tertulis dilarang masuk kecuali karyawan pegawai. Aku hanya berdiri di luar ruangan itu dan tak sengaja mendengar suara pertikaian dari dalam. Aku merasa bahwa suara orang itu mirip seperti suara Tony.

"Aku tidak mau memihak kepada siapapun itu, dan sampai kapan aku harus berada dalam permasalahan kalian?" kata seseorang tersebut. Yang sepertinya berbicara lewat telepon.

"Aku tidak tau, aku tidak bisa menjawab pertanyaan Papa, yang jelas aku berhak memilih keputusanku sendiri." Bunyi perkataan orang tersebut yang terdengar jelas di telingaku.

"Oke, aku tidak akan tinggal di rumah itu meskipun Papa memaksaku untuk tinggal di sana." Teriak orang itu sekali lagi yang terdengar jelas seperti suara Tony.

"Siapa yang bilang begitu? Aku tidak pernah memihak kalian berdua, justru menurutku kalian berdua sama-sama egois." Bunyi-nya.

"Sudah cukup, jangan ganggu aku lagi, aku sekarang sudah punya pekerjaan, aku ingin cari uang sendiri dan tidak akan bergantung pada papa mama lagi, sudah ya Pa! tolong jangan paksa aku untuk menjawab pertanyaan itu lagi." Katanya, lalu seketika bunyi telepon itu terputus dan terhenti, suara sekejap kembali hening dan sunyi. Dengan begitu cepatnya pintu ruang arsip tiba-tiba terbuka, dan aku melihat Tony disitu dengan wajah yang memerah. Aku hanya bisa terpaku terdiam melihatnya, begitu pula sebaliknya.

Lalu selisih beberapa detik kemudian, dia langsung menepisku dan pergi ke ruang karjanya. Aku mengernyit tak habis pikir dan juga penasaran. Namun saat itu aku benar-benar merasa pusing, disatu sisi aku bingung soal stok masker, dan di satu sisi lagi aku penasaran tentang keadaan Tony.

Entahlah, yang jelas aku tak mau ikut campur soal masalahnya, namun saat diriku hendak melangkah ke depan, aku melihat Id Card Tony terjatuh di dekat pintu ruang arsip tersebut, sungguh anak itu begitu ceroboh dan mudah untuk menghilangkan sesuatu.

Mau tak mau aku terpaksa mengambil Id Card itu dan kuberikan padanya kalau dia merasa kehilangan, entah kenapa dia selalu menjadi seperti itu terus sampai aku merasa bosan untuk menemukan barang-barangnya.

Siang ini mood-ku begitu buruk, aku tak bisa menghabiskan seluruh makananku ini, terlebih untuk nanti diriku pulang kerja yang selalu memasak untuk Jojo buat makan malam, aku terlalu memikirkan pekerjaan yang bagiku ini masih banyak yang belum selesai. Kupantau hingga saat ini kantor-ku begitu ramai hingga tak terkendali.

Hujan seketika turun dengan begitu deras disertai petir yang terdengar menggelegar. Aku tidak sanggup kalau hari ini akan berlaku lembur hanya gara-gara masalah lantai banyak yang kotor. Entah sampai berapa kali aku mengepel lantai-lantai itu hingga tanganku mengerut semua?

Rasanya aku ingin mengadu pada Eny dan Andy barang kali bekerja di tempat mereka itu lebih ringan dan menyenangkan. Aku capek setengah mati menggeluti profesi ini, sungguh rasanya aku ingin resign.

Kemudian beberapa jam kemudian hujan deras itu meredah, namun menyisahkan genangan pada halaman kantor, dan lagi-lagi, tugas baru menimpa diriku dan juga Amir.

"Mel kalau kamu merasa capek mending istirahat saja." Kata Amir pada akhirnya, dengan gampangnya aku mengiyakan perkataan Amir. Lalu aku menepi sejenak dan masuk ke ruang pantry untuk beristirahat. Aku duduk pada salah satu kursi yang biasa dibuat untuk anak-anak sarapan, sambil memejamkan mata, rasanya aku bakalan tertidur, namun tak lama itu tiba-tiba pintu terbuka yang secara praktis membuatku kaget, dan lagi-lagi itu adalah Tony.

"Ada apa?" tanyaku dengan suara yang lemas.

"Aku sedang mencari sesuatu." Katanya yang terlihat cukup kebingungan, dan itu membuatku menghembuskan nafas panjang.

"Id Card?" tanyaku, lalu dia tersenyum.

"Kamu ini selalu suka meninggalkan sesuatu yang urgent ya." Gertakku padanya.

"Iya Mel maaf, tapi kamu nemuin Id Card-ku kan?" katanya. Lalu aku merogoh kantung celananku dan kuberikan Id Card itu padanya, dan dia lantas mengambil benda itu dari tanganku, kemudian dia duduk di sampingku.

"Terima kasih ya," katanya, dan aku terdiam seolah tak mood membalas perkataannya, kemudian dia sejenak menatapku.

"Kamu kenapa Mel? Kok kayak lemas gitu?" Tanya Tony.

"Gak tau, mungkin aku kecapek'an." Kataku dengan nada yang cukup gusar, dan aku kembali memejamkan mata sambil bersandar di tembok.

"Yaudah kamu istirahat aja di sini, lagian abis ini juga waktunya pulang." Kata Tony. Lalu tiba-tiba saja bunyi suara telpon genggamku berdering. Aku sangat benci kalau waktu istirahatku ini terganggu. Dengan malas aku membuka ponselku, dan rupanya Bastian sedang menghubungiku sampai mataku seketika terbelalak.

"Hallo, iya? Gimana? ada kan?" tanyaku yang langsung to the point.

"Wahh Mel, maaf banget nihh, aku udah bantu nyari bahkan aku tadi abis muter-muter sama Eny di apotik-apotik manapun, gak ada yang jual Mel, bahkan aku udah tanyak ke temen-temen-ku juga, mereka pada ngaku kalau gak punya stok masker." Kata Bastian.

"Yaudah deh gak pa pa, aku jadi gak enak nih abis ngerepotin kamu sama Eny segalak." Kataku.

"Halah gak pa pa kali Mel, santai aja." Kata Bastian.

"Oke deh, nanti aku cari sendiri, makasi yah udah bantu, untuk yang handsinitizernya tolong dikirim di kantorku ya." Kataku.

"Oke Mel, siap." Tandasnya, lalau sambungan telepon kami selesai. Seketika itu Tony pun menanggapi.

"Kamu lagi cari apa Mel?" Tanya Tony.

"Ohh, itu pesanan Pak Hamid, masker sama handsinitizer buat stok di kantor, kamu tau gak sih kalo sekarang nyarik yang namanya masker itu susah banget, gak ada yang jual di apotik manapun." Jawabku.

"Coba deh kamu cari di Ace Hardware, atau kalau enggak di toko-toko besar seperti hypermart atau carefour, barang kali toko-toko besar seperti itu masih jual yang namanya masker." Kata Tony, lantas aku terdiam sejenak.

"Iya jugak yahh, kamu benar Ton, barang kali di sana ada, soalnya selama ini aku nyariknya di apotik terus sihh." Kataku, lalu Tony tersenyum.

"Kalau kamu gak keberatan, aku mau kok nganter kamu ke sana, sekalian sama jalan-jalan." Katanya, dan seketika aku kembali terdiam, sambil berpikir, mungkin kalau diantar Tony pasti akan terasa meringankan, setidaknya itu bisa membantu disaat kondisi tubuhku ini yang sangat amat capek

"Aku gak maksa kok Mel, kalau kamu mau ya aku antarin, kalau enggak ya gak pa pa." katanya lagi.

"Iya dehh aku mau, tapi entar kalau udah nemu maskernya kita langsung pulang aja yahh." Kataku.

"Iya." Jawab Tony sambil tersenyum, entah kenapa, di saat aku melihat senyumannya, aku merasa kalau Tony itu cukup lumayan tampan, dia memiliki wajah yang kalem dan tidak begitu dramatis, dan mata sayunya itu seolah mengingatkanku pada teman SMA-ku dulu, entahlah, Tony selalu membuatku merasa tidak nyaman.

Bersambung…

Berlanjut ke Chapter 10...