Chapter 6 - Bab 6

Sepulang diriku di rumah nenek, waktu sudah menunjuk pada pukul 10 malam. Saat itu badanku sungguh terasa capek, dan Jojo pun langsung kusuruh untuk tidur di kamar.

Aku masih terpikir soal dompet Tony yang ketinggalan tadi di kantor. Bagaimana kalau dia mencari dompet itu saat ini? dan dia tidak ingat serta tidak tau kalau dompet itu tertinggal di toilet dan ada pada diriku?

Andaikan aku punya nomor telpon-nya pasti sudah kuhubungi dia dari tadi. Kini aku hanya bisa menunggu sampai besok pagi, setidaknya dia masih belum tau, tapi entahlah.

Saat diriku selesai mandi, aku mulai berbaring diatas kasur. Sungguh rasanya begitu melegakan, sejenak aku mengintip Jojo yang tidur disampingku, dan matanya sudah tertutup, dia tertidur pulas.

Mungkin malam ini akan menjadi malam yang sulit bagiku untuk bisa tidur, yang ada pada otakku saat ini adalah soal keadaan Tony, serta ditambah dengan nuansa adrenalin Film Parasite yang masih terbawa hingga detik ini.

Aku mencoba mengambil tas-ku yang kugantung tepat pada dinding kamarku untuk mengambil dompet milik Tony. Aku berniat untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk menghubunginya, atau barang kali dia punya kartu nama.

Saat aku mengambil dompet itu, rasanya begitu berbeda saat aku menemukannya pada pertama kali, seperti ada sesuatu yang menegangkan.

Aku teringat bahwa didalamnya dulu terdapat KTP yang terlihat paling luar sendiri, menumpuk beserta beberapa kartu lainnya. Tapi dulu aku tak sempat membuka itu semua.

Untuk kali ini, aku harus menggeledah dompet itu agar bisa menemukan sesuatu yang dapat menghubunginya.

Satu per satu kulihat isi di dalam dompet itu, dan di dalamnya ada kartu debit, kartu kredit, beberapa kartu member, hingga aku menemukan sebuah foto dirinya bersama dua orang yang mungkin itu ialah kedua orangtuanya.

Aku rasa Tony mirip seperti ayahnya, dan mungkin foto itu diambil saat Tony masih kuliah. Aku kesampingkan foto itu sejenak, dan aku menemukan sebuah lembar catatan. Lantas aku penasaran dengan isi catatan itu, hingga aku mulai merasa bahwa diriku ini begitu amat lancang.

"Kau di sana, dan aku di sini, entah seberapa jauh dirimu dariku, dan aku tak akan melepaskanmu, janjiku di tahun ini ialah mendapatkanmu. Tony 2020."

Setidaknya begitulah isi dari catatan tersebut, yang membuatku seketika tersenyum dan penasaran.

"Anjriit, catatan ini untuk siapa sih?" Gumam-ku dalam hati. Dan aku masih penasaran dan masih mengeluarkan isi-isi di dalam dompet itu. Hingga pada akhirnya aku tak menemukan apapun lagi, kecuali uang tiga ratus ribu yang tertinggal di dompetnya.

Pada pagi harinya, mulailah aktivitas kami berjalan seperti biasa. Udara pagi yang sejuk dengan awan cerah. Aku bersiap mengantarkan Jojo pergi ke sekolah, dan sekaligus berangkat bekerja.

Kali ini Jojo aku bawakan bekal sosis dan sandwich kesukaannya, berharap uang jajan yang aku kasih tak akan habis untuk beli jajan.

"Oke sudah siap?" kataku saat hendak menaiki Shine.

"Tunggu dulu, aku masih belum duduk." Katanya, lalu nenek datang menghampiri.

"Amel, mau berangkat ya?" Tanya nenek.

"Iya nek, aku pamit ya." Jawabku.

"Apa Mel? Jojo kamu kok gak pamit sih?" Tanya Nenek.

"Udah kok." Jawab Jojo.

"Apa? Kalo mau berangkat itu pamit nenek dulu." Kata Nenek.

"Sudah Nek, nenek-nya sendiri yang gak kedengeran." Kataku. Dan dibalas salim oleh Jojo.

Saat sesampai di depan sekolah SD tempat Jojo mengenyam pendidikan, aku bertemu dengan beberapa temannya yang hendak menghampiri Jojo. Kedua anak itu terlihat menggunakan handphone.

"Kak kapan aku dibelikan Hp? Katanya dulu kakak mau belikan aku Hp." Kata Jojo, lantas aku mengernyit.

"Maaf ya Jo, bukannya kakak gak mau beliin, tapi kamu itu masih belum boleh untuk dikasi Hp, entar ya nunggu kamu agak besar dikit." Kataku.

"Yahh, kenapa si? kan nanti buat menelpon Ibu kalau mau jemput sekolah, biar aku gak nunggu terlalu lama." Kata Jojo, yang membuatku berpikir sejenak.

"Iya dehh, entar kalau udah punya uang kakak beliin." Kataku, lalu Jojo dipanggil oleh dua temannya itu untuk segera masuk.

Aku sampai di kantor tepat pukul tujuh pagi, dan dengan segera aku langsung membantu Amir untuk bersih-bersih kantor, dan kelihatannya hari ini banyak yang perlu di bereskan. Aku melihat beberapa tanaman ada yang daunnya sudah menguning dan waktunya untuk ku-potong.

Setelah itu aku menyiram tanaman-tanaman tersebut sampai jam masuk kantor bergulir. Hari ini nampaknya Amir yang membelikan sarapan untuk anak-anak, jadi aku menyelesaikan tugas-ku ini sampai selesai.

Saat diriku meletakkan peralatan kebersihanku di gudang, aku mendengar suara berisik dari dalam pantry, sejenak timbul rasa penasaran dalam diriku, dan akhirnya aku masuk ke ruang pantry dan menemukan Tony sedang bedah-bedah Lokernya.

"Ehem." Seruku. Lantas dia langsung menengok ke-arahku.

"Kamu Mel, aku kira siapa." Katanya, sambil terus menggeledah isi lokernya.

"Kamu sedang cari apa?" Tanyaku sambil mengambil gelas minum.

"Enggak, ini aku lagi sedikit beres-beres aja." Kata Tony.

"Beres-beres apa? Kok keliatan serius amat!" Kataku, lalu aku meminum segelas air putih.

"Iya nih, penting banget soalnya." Kata Tony. Sejenak diriku merasa sangat geram padanya, hingga aku langsung mengatakan yang sebenarnya.

"Kamu sedang cari dompet kan?" tanyaku pada akhirnya, lalu Tony seketika menatapku lekat-lekat.

"Iya, kok kamu tau?" Tanya Tony, lantas aku tersenyum.

"Harus sampai berapa kali sih kamu meninggalkan dompet di toilet?" kataku.

"Jadi dompet-ku ada di kamu?" Tanya Tony.

"Iya, kemarin aku yang nemuin, tapi pas aku mau kasihin, kamunya yang udah pulang duluan." Kataku.

"Alhamdullilah, makasi ya Mel, duhh aku sempat syok dan kepikiran tadi semaleman soal dompetku, untung kamu yang nemuin." Katanya, dan aku mengambilkan dompet itu di dalam tas-ku dan kukasihkan padanya.

"Iya, lain kali jangan ceroboh yah, bahaya lho kalau sampai hal itu kejadian lagi." Kataku.

"Iya maaf, aku jadi gak enak nih sama kamu Mel, udah dua kali kamu nemuin dompet-ku." Kata Tony.

"Gak pa pa sih Ton asalkan aku yang nemuin, takutnya yang nemuin orang lain dan orang itu gak ngebaliin, itu yang jadi masalah." Kataku, lalu Tony mengangguk sambil merunduk.

"Iya Mel, sekali lagi aku minta maaf dan terima kasih banyak ya, oh iya, sebagai imbalannya, gimana kalo siang ini kamu aku traktir makan?" kata Tony. Lantas diriku tersenyum simpul.

"Siang ini aku bawa bekal sendiri sih dari rumah." Kataku, dan dia sejenak teringat.

"Oh iya sih, kamu kan selalu bawa bekal kan ya. Ehh gini aja, kalau kamu gak ada kesibukan, gimana kalau malam ini kamu aku traktir makan? Itung-itung kamu baik banget udah nemuin dompet aku sampai dua kali." kata Tony.

"Hmm gimana ya! Takutnya kalau ..."

"Kenapa? Ada kesibukan ya?" Tanya Tony.

"Engak sih, cuman aku merasa kayaknya ini gak perlu deh." Kataku.

"Halah gak pa pa, sebagai ucapan terima kasih aja! Entar aku ajak kamu ke restoran seafood yang enak banget, aku jamin deh kamu pasti suka," Kata Tony, dan sejujurnya aku juga suka makanan laut.

"Iya deh, terserah, tapi liat entar yah." Kataku.

"Siip, entar berangkat-nya pake mobil-ku aja, terus pulangnya aku anter kamu ke kantor." Kata Tony,

"Iya deh gak pa pa." Kataku, lalu Tony tersenyum lebar menatap kearahku, sepertinya dia merasa bahagia karena aku mau diajak untuk makan malam. Namun entahlah, aku hanya menganggap ini cuman imbalan sebagai bentuk rasa terima kasih Tony kepadaku. Lagi pula saat aku melihat isi catatan kecil di dalam dompet itu, rasanya aku bukanlah sosok perempuan yang dia maksud.

Dia sangat mengharapkan seseorang itu, dimana yang jelas bukanlah aku orangnya, tapi entahlah, kenapa aku malah berpikir seperti ini? setidaknya yang bisa kulakukan sekarang hanyalah membalas senyum lebar Tony, dimana setelah itu dia pergi meninggalkan pantry untuk mulai bekerja.

Senyum-ku seketika menghiasi wajah di dalam ruang sempit minimalis yang penuh dengan derita ini. Dan Jujur saja, perasaanku saat ini sungguh campur aduk, antara bahagia dan juga cemas, cemas akan semua ini akan beralalu dengan memori pilu, entahlah, mungkin hidupku ini yang penuh dengan kenangan pilu sejak dulu.

Saat sore hari telah tiba, aku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang tepat waktu. Amir mengizinkanku untuk pulang terlebih dahulu, dan dari depan parkiran kantor, mobil pajero sport milik Tony sudah siap menunggu kehadiranku.

"Aku naik di depan apa di belang nih?" Tanya-ku.

"Di depan saja." Kata Tony, dan aku masuk ke dalam mobilnya dan duduk tepat di sampingnya.

"Mobil kamu bagus ya." Kataku.

"Iya, baru ambil tahun lalu." Katanya, dimana itu cukup megejutkan-ku.

"Pantesan masih kinclong dan dalemnya harum banget." Kataku. Lantas Tony tersenyum tipis.

"Kamu bisa nyetir?" Tanya Tony.

"Enggak, dari dulu sampai sekarang masih gunain sepeda motor." Kataku.

"Kapan-kapan mau aku ajarin?" Tanya Tony.

"Ohh gak usah, sejujurnya aku itu benci banget sih sama mobil." kataku.

"Lho kenapa benci?" Tanya Tony.

"Abisnya mobil itu badannya besar banget, bikin sesak jalan, dan ditambah bikin macet pula, terus yang paling aku benci tuh yang naik cuman satu orang, dua orang, coba deh bayangin kalau semua orang di kota ini pada pergi menggunakan mobil mereka masing-masing, pasti jalanan di kota ini jadi gak karuan." Kataku.

"Yaampun Mel, kamu mikir-nya sampe sejauh itu ya?" Tanya Tony.

"Abis gimana lagi, kenyataannya seperti itu kan, jadi karena itulah aku benci banget sama mobil." Kataku.

"Tapi nih ngomong-ngomong kamu saat ini bepergian menggunakan mobil lho Mel." Kata Tony.

"Abis kamu yang ngajak." Kataku sambil tertawa sedang.

"Yaudah deh maaf, tadi kita berangkatnya pake motor aja ya sebenernya," kata Tony.

"Gak usah gak pa pa, untuk saat ini gak masalah kok." kataku. Tony pun terdiam dan perjalanan kami hanya memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke restoran tersebut.

Saat memasuki restoran itu, ternyata di sini ramai akan pengunjung. Bau ikan bakar semerbak di mana-mana. Aku dan Tony duduk pada meja makan paling belakang, dan kami berdua memesan menu makanan yang sama, sebab aku tidak bisa memilih lantaran bingung dengan menunya yang harganya serba mahal.

"Emang kamu sering makan di sini?" Tanya diriku.

"Iya sih, keluargaku suka makan di sini soalnya." Kata Tony. Lantas aku terdiam sejenak sambil mengamati suasana restoran yang cukup lumayan untuk mencuci mata.

"Gimana? Kamu suka enggak dengan tempatnya?" Tanya Tony, lantas aku tersenyum.

"Sukak, tempatnya bagus kok, lebih instagramable hehe."

"Kalau kamu mau foto di sini, gak papa aku fotoin." Katanya.

"Serius?" kataku, dan dia mengangguk sambil tersenyum.

"Entar aja dehh abis makan." Kataku. Andaikan Andy dan Eny bisa makan di sini, pasti mereka ribut mau foto. Tapi mana sempat? harga makanannya terlalu mahal-mahal.

"Hmm, rasanya enak banget." Kataku saat mencicipi ikan kakap bakar-nya.

"Yaudah dihabisin." Kata Tony, dan aku tersenyum kearahnya. Sebenarnya momen sore ini sangat menyenangkan, lumayan bisa makan enak dan kenyang sampai rumah.

Tony memang baik banget, saat setelah kami makan, Tony langsung mengantarkanku ke kantor agar aku bisa pulang ke rumah dengan Shine, dan moment memalukan saat itu terjadi. Dimana dia membukakan pintu mobil untukku saat aku kesulitan tak tau caranya membuka pintu mobil-nya.

"Nah, itulah mengapa aku benci mobil." batinku.

Bersambung…

Berlanjut ke Chapter 7...