Chapter 5 - Bab 5

Jum'at, 14 Februari 2020

Pagi yang melelahkan, sebab kami telah menyelesaikan tugas mencuci karpet-karpet toilet bersama Amir. Sebelum jam masuk kantor, kami berdua sedang sarapan pagi di dalam ruang pantry yang sempit ini.

Tanpa kursi dan meja, kami berdua makan sambil berlesehan di lantai. Bagiku lebih enak seperti ini sebab meja di ruang pantry kami sangat kecil dan agak berdesakan kalau dibuat makan dua orang.

Sambil menikmati sarapan, aku membuka ponselku dan melihat berita terkini lewat perambahan Google yang tiba-tiba muncul di beranda depan. Lagi-lagi soal virus corona.

"Hey Mir, kamu tau gak si virus corona sekarang?" tanyaku, dan dia mengangguk sambil asyik makan.

"Ini udah masuk di Malaysia, singapura, Thailand, dan Filipina lho." Kataku.

"Ahh bodo amat, kamu tadi udah tanyain ke anak-anak ada yang nitip makan?" kata Amir.

"Ada sih tadi Tony yang mau nitip pecel ke aku, udah aku belikan kok, entar dia makan." Kataku.

"Oke lah,"

"Ehh bentar deh, Virus ini emang bakalan serius ya?" kataku.

"Enggak bakal, biasanya sih media-media yang suka ngebesar-besarin berita." Kata Amir.

"Tapi ini di beritanya tertulis kalau di Indonesia masih nol kasus kok." Kataku.

"Soal-nya di sini iklimnya panas banget, mana bisa virus menyebar ke sini, yang ada itu virus koruptor tuh, yang dari dulu sampai sekarang masih meraja lela." Kata Amir.

"Biasa aja deh Mir kalo ngomong." Ules-ku.

"Emang iya kok! Liat aja banjir di Jakarta minggu lalu, sama revitalisasi monas untuk balapan, itu kan programnya simpang siur." Kata Amir. Lantas aku tersenyum.

"Kamu liat gak si pas banjir minggu lalu, daerah sini juga kena tau, lebih tepatnya di mayjend sungkono." Kataku.

"Iya aku tau, tapi banjirnya cepet surut, soalnya langsung ada pihak yang turun tangan." Kata Amir.

"Untung-nya aku gak pernah lewat jalan situ sih kalo mau pulang ke rumah." Kataku.

Kemudian selang waktu beberapa menit tiba-tiba Tony datang masuk ke dalam Pantry, pikirku dia pasti mau sarapan pagi.

"Wahh bau makanannya enak sekali nihh." Katanya pas selesai masuk.

"Lho kok kalian berdua lesehan di lantai? Kenapa gak makan di meja aja?" Tanya Tony sambil senyum.

"Iya mejanya sempit, jadi kita makan di bawah." Kataku sambil menghadap ke-atas.

"Aku juga mau makan nih, boleh gabung ya?" katanya.

"Lho, Kamu makan di meja aja gak pa pa." kataku.

"Gak enak di atas kursi sendirian, lagian aku juga suka makan sambil lesehan kok." Kata Tony, lantas aku bergeser sedikit untuk memberinya tempat. Kemudian Tony duduk di sampingku.

"Pantry-nya terlalu luas Ton, jadi ya gini dehh sampai dusel-dusel'an." Kata Amir.

"Kalian sarapan lauk apa? Bawa bekal sendiri?" Tanya Tony.

"Iya, enak bawa sendiri lebih hemat." Kata Amir.

"Emangnya Pak Amir sudah berkeluarga ya?" Tanya Tony.

"Iya, anak satu." Jawab Amir.

"Enak yah kalau udah punya Istri, ada yang masak'in." kata Tony.

"Sama aja sih Ton, sebenarnya istriku juga gak pandai-pandai masak amat." Kata Amir, lantas Tony sendikit tertawa.

"Owhh masa sih Pak, Ini nih, masa kalah sama Amel, ini Amel jago masak lho, kemaren dia bawa bekal sayur sup aromanya mantep betul." Kata Tony sambil menyindirku.

"Ya iya lah, Amel gitu lho, emang kamu mau aku masakin? Gak apa, aku buka jasa katering di kantor ini, lumayan dah punya ceperan." Kataku pada Amir.

"Wah sama aja dong Mel kalau pemborosan, mending duitnya kasih istri aja lah biar terserah mau dimasakin apa." Kata Amir, dan saat itu Tony tertawa sedang.

"Yaudah kalau gak mau," kataku.

"Emang kamu dulu belajar masak dimana sih Mel?" Tanya Tony.

"Sebenernya kalo soal masak itu gak terlalu rumit sih, bisa tergantung selera dan juga bisa belajar secara otodidak." Kataku.

"Oh ya? Aku dari dulu kalo masak sediri hasil-nya selalu gagal, dan rasanya mesti gak karuan." Kata Tony, dan Amir pun tertawa.

"Ya itu bukan bawaannya Ton, kayak-nya kamu perlu cari istri deh, udah nikah apa belum?" tiba-tiba Tanya Amir, seketika telingaku tergelitik oleh pertanyaan itu.

"Belum Pak, masih nyarik." Langsung seketika diriku seperti merasa kesetrum.

"Nahh ini nih, kebetulan tuh Mel, di sampingmu lagi ngejomblo, kamu kan juga masih cari-cari kan?" Tanya Amir yang seketika itu ku-kecam.

"Apa'an sih, kok malah menjerumus sampe ke situ, aneh deh." Kataku.

"Aduhh Mel, gak usah malu-malu gitu kale, ayo tunjukin dong, kamu kan pinter masak juga kan?" Kata Amir.

"Bentar-bentar, jujur, kamu belajar masak dari mana sih Mel? Ya barang kali aku bisa belajar gitu dari kamu." Kata Tony.

"Gak ngerti ya, mungkin bener kata Amir kalo undah bawaannya. Soalnya sejak dari dulu itu aku suka bantu-bantu ibu-ku gitu deh, terus ikut diajak pergi ke pasar, yah akhirnya lama-lama jadi ikutan ngerti." Kataku,

"Berarti kamu ada jiwa ke-ibuan Mel, bagus itu, sekarang tinggal cari pasangan aja." Kata Amir.

"Ohh makasi lho ya pujiannya, tapi aku rasa masih belum tepat deh untuk saat ini, umur-ku aja masih Sembilan belas tahun." Balas-ku sambil tersenyum.

"Terus rencana kamu mau sampai umur berapa?" Tanya Amir.

"Mungkin 25 tahun lah, atau mentok 27." Kataku.

"Yah terserah kamu lah Mel, tapi gak pa pa dong kalau semisal pacaran dulu." Kata Amir.

"Enggak, gak boleh pacaran." Kataku, dan aku sejenak melirik ke arah Tony, dan di saat itu rupanya Tony melihatiku sambil senyum.

"Benar Mel, gak usah pacaran dulu," katanya. "Oh dia mau ngelanjutin kuliah sih Pak." Kata Tony.

"Ya bagus tuh, biar bisa cari kerja di posisi yang jauh lebih baik lagi." Kata Amir.

"Amiiin, doain ya temen-temen supaya jadi kuliah." Kataku.

"Ya harus jadi dong, aku dukung seratus persen Mel kalau kamu kuliah." Kata Tony.

"Hehe, makasi, udah deh selesein aja makannya entar keburu masuk lho." Kataku. Usai perbincangan itu, kami bertiga menyelesaikan sarapan pagi ini bersama-sama .

Amir kembali bekerja untuk menyapu halaman belakang, Tony pergi ke mejanya untuk memulai pelayanan, dan sedangkan aku pergi ke toilet untuk memasang karpet yang baru.

Waktu itu kami habiskan dengan kesibukan, hingga pada waktu sore hari hendak menjelang pulang, semua sampah di masing-masing meja frontliner aku bereskan dan kubuang ke tempat sampah.

Kemudian setelah itu aku mengecek keadaan toilet apakah masih bersih atau kotor, dan saat aku berada di sana tanpa kuduga lagi-lagi aku menemukan dompet.

Aku mengernyit penasaran akan dompet tersebut yang kulihat amatlah tidak asing di mataku. Saat aku mengambil benda itu, aku membuka isinya dan kulihat ada kartu tanda penduduk.

Rupanya sesuai dugaanku, bahwa dompet itu milik Tony, aku tak habis pikir kenapa dia seceroboh ini? padahal dia pernah bilang kepadaku kalau dia tidak akan mengulanginya lagi.

Lalu dengan cepat kubawa dompet itu ke dalam ruangan tempat dia bekerja, dan di sana aku menemukan beberapa temannya yang masih sedang bekerja.

"Ehmm permisi, Tony-nya ada?" Tanyaku. Lantas orang-orang itu terlihat tengak-tengok.

"Kayaknya sih udah pulang." Kata seseorang.

"Iya Mbak, barusan anaknya udah pulang." Kata seseorang satunya lagi.

"Ohh gitu, yaudah deh, makasi." Ucap-ku. Tony ternyata anaknya sangat ceroboh banget. Bagaimana aku bisa mengasihkan dompet ini padanya? Aku jadi bingung, apakah aku taruh di pos security saja? Tapi entahlah, takutnya nanti malah jadi kacau. Akhirnya aku memilih untuk menyimpan dompet itu sendiri. Sehingga besoknya aku yang akan memberikan dompet ini padanya, sekaligus kuberi peringatan dan nasehat supaya dia tidak ceroboh lagi.

Tak lama itu waktu jam pulang telah berlalu, dan aku telah selesai membesihkan toilet kantor bersama Amir. Saat diriku hendak bersiap untuk pulang, telpon video call pada handphone-ku berbunyi, sejenak aku langsung teringat oleh Tony, barang kali dia, tapi dari mana dia tau nomor ponsel-ku?

Saat aku buka ponsel-ku, ternyata Andy yang menghubungiku, pikirku kenapa pake video call segalak sih?

"Iya ada apa An?" tanyaku, sungguh di depan kamera rambutku terlihat acak-acakan.

"Mel kita nongkrong yuk, di sini sudah ada Eny." Katanya.

"Posisi dimana kamu sekarang?" Tanya-ku.

"Di Ayam Geprek lali utang, aku tunggu yah, di sini murah-murah lho Mel." Ucap Andy.

"Oke, aku otw ke sana, tungguin ya."

"Oke."

Sebenarnya hari ini aku sangat capek dan ingin cepat-cepat pulang ke rumah, tapi mau gimana lagi! Ajakan dari mereka itu ibarat sebuah aktivitas wajib yang tidak boleh kulewatkan.

Entah begitu banyak alasan yang menyertainya, antara aku yang butuh keberadaan mereka, serta mereka sudah melekat pada jiwaku dan sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri, bahkan lebih dari itu, sehingga ajakan dari mereka merupakan hal yang kusukai meski diwaktu yang tidak masuk akal.

Tak lama itu, aku sampai di restoran ayam Geprek tersebut. Letaknya sebenarnya tidak seberapa jauh dari kantor-ku. Di sana aku melihat Andy dan Eny sudah stand by di tempat duduk restoran. Aku langsung menghampirinya.

"Hay Mel, sini ayo pesan makanan, kamu pesan yang mana? Harganya murah-murah banget." Kata Eny. Aku melihat-lihat daftar menu tersebut, dan rupanya banyak makanan yang kusuka, serta harganya pun tergolong ekonomis, di situ tertulis bisa tambah nasi sepuasnya.

"Oke Mel ayo duduk, sembari kita menunggu pesanan datang." Kata Eny.

"Kalian abis pulang kerja langsung ke sini ya?" Tanya-ku.

"Iya nihh ada yang perlu aku omongin ke kamu." Kata Eny.

"Ngomongin apa?" Tanya-ku.

"Kamu kan suka Film, kita nonton bareng yuk setelah makan di sini." Kata Eny, dan sungguh aku begitu lemas mendengar permintaannya.

"Hmm, emangnya hari ini ada film yang bagus?" kataku.

"Amel, kamu tau gak sih, yang menang bestpicture itu ternyata Parasite lho, bukan 1917." Kata Andy, sontak aku langsung melotot.

"Apa? Yang bener?" kejut-ku sambil melihat informasi di handphone-ku.

"Jagoan-mu kalah tuh sama film Korea." Kata Eny.

"Iya benar, yang menang Parasite, aku jadi penasaran deh, soalnya belum liat sih film-nya kayak apa." Kataku.

"Film-nya udah ditayangin ulang di Marvel, kamu ikut ya." Kata Eny, lantas aku mengangguk sambil tersenyum.

Setelah kami bertiga selesai makan, Marvel city langsung menjadi tujuan kami. Berangkat ketika sore hari menjelang malam, dan sesampai di sana, mall cukup ramai.

Aku sempat melihat retail penjual tas dan goodie bag. Lantas aku mencoba mendekati gerai tersebut untuk lihat-lihat.

"Amel, kita beli tiket-nya dulu aja, entar baru kita liat-liat." Kata Andy, dan langkahku pun kembali mengikutinya. Sesampai di bioskop lantai atas, kami memilih kursi di deretan paling tengah, sangat cocok pas untuk kami bertiga.

Kurasa yang menonton hari ini tak begitu banyak, sebab Film Parasite sendiri sudah tayang pada tahun 2019, dan karena menang bestpicture, jadi Film ini ditayangkan ulang.

"Oke, ada sesi waktu satu jam, kita jalan-jalan dulu yah." Kata Eny. Aku langsung menelusuri retail tadi. Gambar goodie bag itu seperti lukisan, sepertinya aku bisa membuat produk semacam itu, cukup menarik bagiku untuk dibuat usaha.

Tak lama itu, akhirnya kami duduk dalam studio bioskop, Film Parasite-pun diputar, hingga review jujur kami dari awal sampai akhir sungguh diluar dugaan. Film ini benar-benar gila dan lebih gokil dari 1917. Ketika kami pulang dari Marvel, Eny pun berkata.

"Gimana Mel, bisa move on dari George Mckay belum?"

Lantas aku tersenyum mendengar pertanyaan itu.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 6...