Senin, 10 February 2020
Aku adalah orang yang mudah di tebak, aku sangat kurang percaya diri, bahkan terkadang aku malu melihat diriku sendiri di depan cermin seperti ini.
Mungkin ini efek dari masa sekolah-ku dulu yang kurang mengurus diri. Baru kali ini aku menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh ibuku itu benar.
Hari senin, pagi yang kubenci saat membangunkan Jojo di kamar.
"Ini waktunya untuk sekolah bukan malas-malasan." Kataku. Setidaknya aku butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk semuanya beres dan bisa langsung berangkat.
Seragam sudah rapi, bekal Jojo sudah aku siapkan, dan Shine sudah menunggu di luar untuk kukendarai. Saatnya berpamit kepada nenek.
Sejenak aku melihat tante Anik sedang membuka lemari kulkas-nya untuk mengambil makanan, aku berpikir kalau tidak mungkin aku menggunakan kulkas itu untuk menyimpan salad-salad-ku besok, pasti yang ada nanti antara gengsi dan juga takut kalau akan diambil oleh Nino anaknya yang amat nakal itu.
"Mau berangkat?" Tanya nenek.
"Iya nek,"
"Yaudah hati-hati di jalan."
Adikku sendiri sekolah di SDN kapas krampung, sebenarnya letaknya tidak seberapa jauh dari rumah kontrakan ibuku. Tapi kami tinggal bersama nenek, sehingga ada jarak 10 Kilometer untuk bisa sampai ke sana.
Ketika pulang sekolah, Jojo dijemput oleh ibu-ku, dan dia tinggal di sana sampai sore waktu pulang kerjaku, setelah itu aku jemput dia dari kontrakan ibuku dan kami pulang ke rumah nenek pada malam harinya.
Memang semenjak ayah-ku meninggal dan ibuku menikah lagi, hidup-ku terasa sedikit rumit. Alasan aku dan Jojo untuk tidak mau tinggal bersama ibu ialah keputusanku sendiri.
Aku lebih nyaman tinggal di rumah nenek, dan ibuku juga nyaman di sana dengan suaminya. Aku bisa melakukan hal apa saja di rumah nenekku, terutama dalam hal nge-vlog, meskipun kamarku tak begitu besar, setidaknya cukup untuk dua orang, aku dan Jojo.
Sesampai di kantor, aku mulai menyapu beberapa ruangan, mengelap meja-meja, lalu membersihkan kaca. Aku bekerja di sini tidak sendirian, aku dibantu dengan Amir, Office boy di kantor ini yang memiliki tanggung jawab sama seperti-ku.
"Mel, kalau kamu capek istirahat dulu aja, biar aku selesaikan yang kaca bagian depan-nya." Kata Amir sambil mengepel lantai di sampingku.
"Oke deh, yang tadi sudah ku lap meja sama kaca." Kataku.
"Siap Mel, ngomong-ngomong kalau boleh minta tolong, belikan makanan nasi pecel dong, di kantin pujasera bawah. Tadi ada temen, namanya Tonny, dia minta dibeliin nasi pecel ikan telor sama ayam buat sarapan pagi." Kata Amir.
"Boleh. Mana uang nya?" kataku.
"Ini, dia tadi ngasih uang 20rb." Katanya, dan kuambil uang itu dari tangan Amir. Kemudian diriku langsung menuju ke kantin pujasera yang letaknya tidaklah jauh dari kantor ini.
Warung yang biasanya menjual nasi pecel ialah warung milik mbak Lastri. Semenjak aku bekerja di sini selama 3 bulan, aku sudah kenal akrab dengannya. Di sana kudapati dia sedang asyik main tik-tok bersama temannya.
"Lentur amat sih kalo joget." Kataku.
"Iya dong Mel, buat joget dulu biar gak tegang." Katanya.
"Mau beli pecel-nya nih. Ikan telor sama ayam ya." Kataku.
"Tumben pagi banget Mel, biasanya kamu ke sini agak siang'an lho." Kata mbak Lastri.
"Gak tau tuh, tadi Amir sih yang nyuruh aku buat beliin orang dalem." Jawab-ku.
"Owh, biasanya Amir sendiri yang beli di sini, katanya lumayan kembaliannya bisa buat tambahan beli rokok," kata Mb Lastri.
"Oh ya? Ini aku dikasih uang 20rb sihh." Kataku.
"Yah gak pa pa sih Mel kalau kamu buat tambahan beli jajan jugak, mungkin Amir bilang ke sono-nya segitu kali, padahal di sini cuman 10rb doang, oh iya ini bumbunya aku pisah ya Mel." Kata mbak Lastri.
"Iya, harus." kataku.
Saat setelah aku membeli sebungkus nasi pecel tersebut, aku mulai kembali ke kantor dan akan memberikan makanan ini kepada karyawan yang telah memesan makanan ini.
Jam masuk kantor ialah pukul delapan pagi, dan sekarang masih pukul tujuh, berarti masih ada jeda satu jam untuk ku-buat sarapan pagi di pantry.
Aku mulai memasuki ruang kerja para petugas, dan bertanya pada salah satu orang yang ada di sana.
"Ehm permisi, di sini ada yang namanya Pak Tony?' Tanya diriku. Dan beberapa orang yang aku tanyai tersebut sedikit mengernyit dan terdiam, seolah tidak mengenal orang yang kusebut.
"Tony siapa ya?" Tanya salah satu dari mereka.
"Pak Tony karyawan sini, mau ngasih nasi pecel nih." Kataku. Lalu salah satu orang diantara mereka menjawab.
"Ohh Tony, anak yang masih baru itu? Coba panggil anaknya ada di belakang, Ton, Tony, ini ada yang nyarik nihh." Kata orang itu.
Kemudian orang yang bernama Tonny itu akhirnya muncul dari dalam sebuah ruangan, dan dia melihatku dari kejauhan yang hendak berjalan mendekatiku.
Entah aku tak habis pikir, rupanya orang yang bernama Tonny itu ialah orang yang dulu kulihat kurang lebih tiga hari yang lalu, saat aku sedang membersihkan toilet dan dia meninggalkan dompet lengkap beserta kunci mobil di dalam toilet.
"Ini nasi pecelnya, udah aku beliin, harganya sepuluh ribu ya Pak, nih." Kataku sambil menyodorkan uang kembalian padanya.
"Oh ambil saja, Jangan panggil aku Pak dong." Katanya sambil senyum.
"Owh gitu, ya maaf, aku permisi dulu yah." Kataku, lalu pergi meninggalkannya. Di sepanjang perjalanan itu entah kenapa hatiku begitu tak tenang. Entahlah, aku menuju ke pantry untuk sekedar meminum segelas air putih, dan tak lama itu Tony pun datang di dalam Pantry ini untuk memakan nasi pecelnya.
"Kamu udah makan?" Tanya-nya.
"Oh, belum sih, nanti aja." Kataku.
"Kenapa nanti? Ayo makan sekarang, entar sakit lho kalo telat makan." Kata-nya. Dan sebenarnya tujuanku untuk masuk ke dalam pantry sini ialah sekalian mau sarapan pagi juga. Tapi kalau sarapan bareng dengannya rasanya itu sangat tidak menenangkan.
"Iya, sebentar aku ambil makananku dulu di tas." Kataku, dan membuka lemari loker milikku yang berada tepat pada samping dispenser.
"Kamu bawa bekal sendiri dari rumah ya?" Tanya Tony.
"Iya," jawabku. Dan duduk pada salah satu kursi, agak jauh sedikit dari-nya.
"Sempat amat masak buat sarapan pagi, emang kamu masak sendiri?" Tanya Tony.
"Ehm iya sih, tapi kadang-kadang aku juga beli kok kalo udah kesiangan." Kataku. Lalu Tonny tiba-tiba mendekat ke diriku, aku pun seketika meliriknya.
"Lauk apa itu?" katanya sambil mengintip makananku, dalam hatiku berkata " Duhh "kepo amat si nih orang."
"Owh ini sayur sop sama perkedel." Kataku, jujur aku sangat membenci nadaku yang terdengar amat kikuk.
"Kayak-nya enak tuh, bau-nya aja kecium sampe sini." Katanya. Sejujurnya masakan ini ialah masakan ibuku kemaren yang masih sisa dari rumah nenekku.
"Oh iya, ngomong-ngomong terima kasih ya dulu sudah nemuin dompet sama kunci mobilku yang ketinggalan di toilet." Katanya.
"Iya, kalau ketinggalannya masih di dalam kantor sih aku jamin nggak bakal hilang." Kataku.
"Iya, semoga saja, kadang juga aku suka heran kenapa anak-anak di sini kalo mau ngambil apa-apa sering gak sesuai, makanya banyak yang merasa kalau barangnya tertukar." Kata Tony, dan aku mengetahui hal itu sendiri memang kerap terjadi
"Emang gitu sih, anak-anak banyak yang kurang hati-hati." kataku.
"Sudah dua kali ada orang yang tertukar dengan barangku, alasannya sih mereka lupa naruh barang mereka di loker tas yang mana." Ungkap Tony, lalu saat itu diriku sedikit menaruh rasa was-was.
"Astaga, kenapa tidak kamu kunci aja loker-mu, kan sudah ada kuncinya," kata-ku.
"Mana kutau, saat itu aku pikir bakalan aman, ternyata harus perlu hati-hati juga," katanya sambil tersenyum tipis.
"Terus tas kamu sekarang kamu taruh mana?" tanyaku.
"Semenjak itu aku udah gak bawa tas, cuman dompet saja di saku celana." Jawab Tony.
"Gini aja, kalau kamu mau, tas nya taruh aja di loker sini, tuh lihat tepat ada di samping dispenser itu ada loker kosong lho, masih belum pernah ada orang yang memakainya kecuali aku." Kataku sambil menunjuk kearah loker tersebut yang tepat berada di sampingku. Lantas Tony tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Boleh juga, mulai besok aku taruh situ ya." Katanya.
"Iya, silahkan aja, di situ juga ada kuncinya kok." Kataku.
"Ngomong-ngomong kamu sudah berapa tahun kerja di sini?" Tanya Tony.
"Tahun? Aku di sini itu masih dapat 3 bulan Pak." Kataku.
"Udah di bilangin tadi jangan panggil Pak." Katanya, dan aku tersenyum karena kelupaan soal hal itu "Oh iya, maaf, lagian udah terbiasa sih di lingkungan sini manggilnya Pak sama Bu." Kataku.
"Halah itu terlalu formal, kalau sama aku panggil aja langsung Tony," Katanya. "kamu sekarang umur berapa?" Tanya Tony.
"Emm, taun ini sembilan belas tahun." Jawab-ku. "Kalau kamu sendiri?"
"Masih anak-anak ya kamu ternyata! Aku tahun ini udah dua puluh dua, kenapa kamu gak kuliah saja?" Tanya Tony.
"Sebenernya pingin, Iya, suatu saat bakal kuliah kok." Jawabku.
"Jangan terlalu lama, mumpung kamu masih muda." Kata-nya.
"Kalau aku sendiri gak memandang hal gitu sih, selagi masih sanggup ya lakuin aja, toh sukses juga gak kenal batas usia kan!" Kataku. Tony nampak mengangguk saat itu.
"Kamu anak asli Surabaya ya?" Tanya dia.
"Iya, orang tua-ku juga sama-sama asli Surabaya juga, kalau kamu?" Tanya-ku.
"Iya sama, cuman ayah-ku sendiri saja yang rro Jogja." Katanya.
"Ngomong-ngomong rumah-mu mana?"
Deketnya Hotel Antariksa, di jalan gersik." Kataku.
"Lumayan jauh ya ternyata dari sini, itu rumah orang tua?"
"Iya, lebih tepatnya rumah nenekku." Jawabku, enak yah kalau masih punya nenek, dulu pas kakek nenekku masih ada, aku sering berpergian ke rumahnya yang di jogja, dulu itu sekitar tahun 90'an, suasananya adem banget, tapi sekarang beliau sudah meninggal, dan rumah itu dikontrakkan sampai sekarang." Kata Tony.
"Sayang banget, padahal jogja itu keren lho, pernah kesana, tapi cuma sekali doang." Kataku.
"Tapi setidaknya aku dan ayahku kerap pergi ke sana untuk sekedar silaturahmi, sebab orang yang mengontrak di rumah kakekku itu sudah dianggap seperti keluarga sendiri." Kata Tony.
"Sepertinya ayahmu baik ya?" Kataku, dan Tony sedikit tersenyum simpul.
"Semua orang tua itu baik dehh menurutku." Kata Tony.
"Hmm, kamu gak tau tingakah nenekku kalau di rumah, dia itu suka menanyakan hal apa aja, tapi kalau dijawab, dia selalu gak kedengeran, padahal, jawabnya itu sambil teriak-teriak seperti orang yang lagi marah, dan itu, aku gak habis pikir, bawaannya selalu bikin emosi." Kataku, dan Tony pun tertawa.
"Sabar aja, ya begitulah orang tua." Katanya. "Tapi ngomong- ngomong kamu tinggal sama nenek-mu? Kenapa gak tinggal sama orang tuamu saja?" Kata Tony.
"Ehm, dulu sempat kami tinggal bareng serumah di rumah itu, tapi sekarang udah enggak lagi." Jawabku.
"Ohh, ada apa emang-nya?" Tanya Tony, entah kenapa aku merasa kebingungan untuk menjawab.
"Soalnya ayahku meninggal pas aku Smp, dan semenjak itu agak sedikit berubah soal... Maksud aku soal tempat tinggal keluarga-ku." Jawabku.
"Ohh begitu, aku pikir kedua orang tuamu masih ada, maaf ya kalau....."
"Iya gak pa pa, lagian juga banyak kok orang yang kadang baru kenal dan bertanya soal tempat tinggal, entah mengapa selalu mengarah ke situ." Kataku.
"Aku paham kok, gak masalah ya-saranku sih kamu baik-baik aja tinggal sama nenek-mu, barang kali dia perlu teman, atau seseorang yang perlu diajak ngobrol. Biasanya orang tua itu lebih banyak ngobrol dan butuh orang untuk diajak ngobrol." Kata Tony.
"Aku tiap hari ngelakuin hal itu kok, soalnya hatiku itu sabaar banget seperti hati seorang ibu." Kataku sambil tertawa.
"Bisa aja kamu Mel." Cetus Tony.
Seusai percakapan itu, kami beedua sibuk menghabiskan makanan kami masing-masing. Kemudian saat jam sarapan pagi itu sudah selesai, Tony mulai beres-beres untuk mulai bekerja kembali.
"Oke lah, waktunya kerja, oh ya makasi ya udah belikan makanan, pecelnya tadi rasanya enak, besok nitip lagi boleh?" Tanya Tony, lantas aku tersenyum sambil mengangguk.
Bersambung...
(Nantikan Chapter 4...