Chapter 2 - Bab 2

Minggu, 09 Februari 2020

Siang yang terasa begitu panas di rumah ini, aku menyiapkan beberapa peralatan sekolah adikku seperti seragam untuk kubawa ke kontrakan ibuku supaya disetrika.

Sebenarnya aku sendiri bisa menyetrika seragam adikku, tapi ibuku sendiri yang tidak yakin kalau aku bisa menyetrikanya dengan rapi.

"Hey Jojo, sudah siang bolong begini masih belum bangun-bangun?" Teriak diriku di dalam kamarnya, dan seperti biasa, adik laki-lakiku itu sangat bandel kalau dibangunin saat tidur, apa lagi ini hari minggu.

"Kalau gak bangun-bangun aku tinggal ya?" Teriak-ku, dan dia masih belum bangun. Aku seketika mendobrak pintu lemari dan dia langsung terjungkal bangun.

"Apaan si?" Katanya sambil ucek-ucek mata.

"Kamu gila ya? Lihat ini sudah jam sepuluh siang, males banget ya jadi orang." Bentakku.

"Inikan hari minggu," ules-nya.

"Gak peduli hari minggu atau hari sekolah, tiap hari harus bangun pagi." Kataku.

"Kita di rumah ibu siang'an kan bisa?" Ucap Jojo.

"Aku gak mau, kalau kamu gak ikut yasudah, biar kamu dirawat sama tante Anik di rumah." Kataku, sambil membalikkan badan.

"Yaudah dehh, jangan ditinggal." Sahutnya,

"Kalau begitu cepat mandi siap-siap gak usah manja." Kataku. 

Kami berdua memang sedikit tidak suka dengan sikap tante Anik. Semenjak paman Farid menikah dengan perempuan itu dan tinggal di rumah ini, sikapnya sungguh tidak sopan. Aku sangat membenci orang yang suka ikut campur dengan urusanku, selalu mengomentari banyak hal tentang diriku, serta membuat aturan-aturan baru yang seakan seluruh rumah ini ialah miliknya. Selain itu tante Anik juga sangat cerdik mengambil hati nenek-ku, mengajak untuk menjadi sekutunya. Padahal sikapnya sangat tidak sopan dan murahan. Meskipun aku menyadari kalau butuh kesabaran tinggi bila bersama nenek-ku sendiri, tapi meskipun begitu, aku tetap memerankan peranku untuk selalu bersikap netral.

Selain itu, ada hal lain yang sangat aku benci tentang dirinya, yaitu sifat pelit yang menjijikan dan memalukan. Di rumah nenek hanya ada satu kulkas, namun kerap mati tanpa sebab saat diriku menyimpan banyak makanan di dalamnya. Aku tahu kalau kulkas itu ialah milik suaminya, yang selalu dipantau keadaannya bila mana aku ikut memakainya. Oleh karena itu aku selalu meminta izin pada paman Farid supaya mau membujuk istrinya tersebut agar tidak pelit. Atau kalau tidak, aku akan membeli kulkas sendiri yang jauh lebih besar khusus hanya untuk diriku sendiri.

Sebenarnya aku pernah berusul seperti itu, namun nenek-ku membantahnya karena alasan kekurangan tempat. Tak ada satupun di rumah ini yang segan meremehkanku. Sebab diriku yang kini punya pekerjaan, punya banyak baju-baju bagus, serta kartu kredit yang mampu membeli apa saja untuk bahan pamer ke orang-orang rumah. Setidaknya utuk saat ini citraku di hadapan mereka bagaikan bayi yang masih baru lahir. Sering kali  kalau tidak ada hal yang terlalu penting, diriku jarang bertegur sapa dengan tante Anik, meskipun kita satu rumah sekalipun.

Nenek-ku sendiri ialah tipikal orang yang selalu bingung memikirkan makanan, entah kami masak apa hari ini? Mau beli belanjaan apa har ini? Mau dibuat seperti apakah masakan ini? Dia selalu memikirkannya dan bertanya terus menerus.

Mungkin itu sudah faktor usia, dulu semasa ayahku masih ada, nenek-ku masih berumur 50'an, dan paman Farid masih belum menikah. Di rumah ini nenek dan ibuku bisa memasak masakan sesuai keinginannya sendiri untuk kami semua.

Tapi sekarang keadaan sudah berubah. Nenek-ku sudah menginjak umur 70, dan ibuku sudah berpisah dan tidak tinggal di rumah ini lagi. Sehingga untuk keperluan makanan, tante Anik lah yang kerap memasakkan nenek-ku meskipun nenek-ku sering cek cok karena tidak cocok rasa masakannya.

Namun pada setiap hari minggu ini, nenek sering menitipkan padaku untuk dibuatkan makanan oleh ibu-ku, dia selalu sering memesan sup dan kentang perkedel untuk sarapannya.

"Amel! Nenek nitip masakin ke ibu-mu ya, sup sama perkedel, aku kasih dua puluh ribu ya?" Katanya padaku saat aku bersiap-siap hendak berangkat ke sana.

Jujur, berkomunikasi dengan nenek-ku memang perlu kesabaran tingkat tinggi, karena aku harus menjawab pertanyaannya sekeras mungkin, karena faktor usia tadi yang sudah membuat pendengaran pada telinganya menurun.

"Iya nek," kataku dengan kencang.

"Kamu sama Jojo sudah makan? Kok buru-buru mau berangkat?" Tanya nenek, jujur aku perlu tarik nafas lagi untuk bisa menjawab pertanyaannya.

"Belum nek." Jawabku,

"Duhh gak kedengeran Mel." Katanya, di situlah letak kejengkelan saat mulai berkomunikasi dengannya.

Mungkin di benak orang lain hal seperti itu lumrah terjadi dan bisa dibuat sabar sehari atau dua hari, tapi dalam kehidupan di rumah ini berlaku pada setiap hari, dimana nenek-ku sangat suka mengajak orang ngobrol, dan bertanya ini itu.

Akhirnya aku mendekatkan mulutku tepat pada telinganya, sedekat mungkin hingga nyaris bersentuhan, dan aku menjawab pertanyaannya dengan kalem.

"Belum nek." Kataku, dia tertawa seperti biasa.

"Kenapa gak makan dulu?" Tanya dia lagi, dan mulailah gejolak-gejolak emosi itu muncul ditengah kesibukanku menyiapkan seragam-seragam adikku ini.

"Aku makan dirumah Ibu saja, terlalu siang, entar kalau kesiangan pasar tutup." Jawabku yang mendekat di telinganya.

"Ohh baiklah, benar apa katamu, kalau bisa cepetan berangkat keburu pasarnya tutup." Katanya.

"Iya." Jawabku.

Saat diriku sudah merapikan semuanya, aku mulai berangkat membawa rantang makanan serta seragam-seragam milik adikku. Sepeda motor Honda matik milikku langsung kupersiapkan untuk berada tepat di depan rumah. Aku menamai sepeda motor itu "Shine," dia sudah kuanggap seperti kuda peliharaan-ku sendiri. Sampai banyak orang menganggapku gila pada saat diriku memanggilnya dan tak ada satu orang pun yang meresponku. Sebab itu hanyalah nama seekor sepeda motor matik tahun 2014 yang sudah jatuh tertabrak hingga belasan kali namun tetap hidup demi untuk tetap setia menemani wanita seperiku. Beginilah nasibku dengannya, aku bersumpah tidak akan pernah menjual barang itu atau menyingkirkannya dalam kehidupanku, bahkan sampai aku sukses-pun. Shine akan tetap selalu berada di hatiku, selamanya.

Jalanan minggu ini lumayan padat, seperti biasa banyak orang sepasang keluarga, teman, bahkan pacar pergi liburan tak kenal waktu. Tak jarang di mall Kaza pasar krampung dekat kontrakan ibuku selalu ramai dipadati pengunjung bila saat-saat liburan dan hari minggu. Di sana ialah sumber utama kemacetan, namun juga sumber utama tempat hiburan bagi warga-warga yang memiliki kantong pas-pasan sepertiku. Pemburu jajanan dan pakaian-pakaian murah, dimana setiap orang selalu berhasil menawar satu buah pakaian dengan harga grosir sekalipun.

Aku suka dengan pemadangan hari minggu ini, cerah dan santai. Mengendarai sepeda motor ini dengan Jojo di belakangku. Kami melintasi taman sejarah di jembatan merah, lalu melaju lurus sampai di kya-kya, hingga menyempatkan untuk mampir di pasar Ploso membeli bahan-bahan sup dan kentang untuk membuat perkedel di rumah ibu.

Sesampai kami di sana, Jojo langsung menjadi sasaran empuk pelukan ibuku. Berkali-kali ibuku mencium adik pemalasku itu, sampai aku muak melihat ekspresinya.

Saluran televisi berita menyala di ruang tamu yang super sempit dan super minimalis ini, memuat topik seputar virus korona yang membabi buta menyerang Negara Tiongkok.

"Hahh rasakan, itulah azab setelah mengkalim laut natuna." Kataku sambil membujurkan kaki di atas kasur yang berada tepat di depan televisi.

"Hei Mel! Kamu sudah makan? Ibu masakkan masakan kesukaanmu, ayam Kentucky." Katanya.

"Oh ya? Siip, kebetulan sekali aku belum makan, sama nenek nitip masakan seperti biasa lagi." Kataku.

"Gak pa pa, nanti ibu masak-kan, Oh iya, Jojo pasti belum makan juga ya? Hayoo?" Tanya Ibu.

"Iya, aku mau ayam-nya yang banyak ya?" Kata Jojo.

"Ohh siap," Balas ibu-ku dengan senang.

"Udah deh bu, kalau ibu merasa kerepotan, seragam Jojo itu biar aku setrika saja." Kataku sambil mengambil piring.

"Hmm enggak, kamu orangnya gak rajin." Katanya.

"Gak rajin gimana? Dari aku SMP sampai sudah kerja sekarang aku bisa kan menyetrika sendiri?" Kataku.

"Amel! Ibu ingin merawat Jojo saja, biar ibu saja deh yang menyetrika, kamu urus urusanmu sendiri saja." Katanya, dan aku mulai makan makanan ibuku tepat di atas kasur sambil menonton televisi.

"Tumben sih ibu nonton berita? Biasanya yang ditonton drama Indosiar." Kataku.

"Oh kamu mau lihat drama Indosiar? yasudah kamu ganti saja gak pa pa sayang." Kata ibu.

"Oh gak usah, berita dulu aja. Hehe." Ulesku, sambil sejenak menatap ibuku, dan saat itu betapa terkejutnya aku melihat ibuku sedang menyuapi Jojo.

"Lho kenapa Jojo disuapin? Kan bisa makan sendiri?" kataku.

"Jangan ahh, dia kalau makan nasinya belepotan di lantai." Kata ibu.

"Masa sih? Enggak kok." Tepis Jojo.

"Yasudalah terserah." Enyahku.

Topik berita yang aku tonton terlihat sungguh menarik, jujur saja, terkadang aku juga suka dengan dunia politik. Akhir-akhir ini aku juga mengikuti perkembangan berita soal pencurian ikan di laut natuna, bahkan isu klaim China soal laut China selatan. Berita itu seolah menjadi perbincangan hangat di berbagai stasiun televisi berita hingga beberapa minggu terakhir ini.

"Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu apakah lancar?" Tanya ibu.

"Disyukuri saja." Balasku.

"Pasti kamu akan jadi orang yang bersih kalau sudah lama berkerja di situ." Kata ibu.

"Emangnya selama ini aku gak bersih?" Tanyaku.

"Kamu kan jarang merawat diri semenjak kamu masih sekolah." Kata ibu, dan aku mengernyit sambil mengunyah makanan ini.

"Lagian aku kan masih belum bekerja, mana ada uang buat beli baju, beli make up, dan lain-lain." Balas-ku.

"Oh ya Mel, ibu punya lho kenalan cowok anak-nya itu baik banget, kebetulan dia masih baru tinggal di kontrakan depan, dan kayaknya dia itu sepantaranmu deh Mel, namanya Dio." Ungkap ibu.

"Terus mau diapain? Ibu ini ada-ada aja, bikin aku resah." Kataku.

"Yaahh barang kali mau ibu kenalin ke kamu? Soalnya kemarin itu pas ibu belanja di pasar, dia lho yang bantuin bawain belanjaan ibu sampai ke rumah." Kata ibu.

"Enggak ah, ibu mau kompor-komporin aku supaya aku cepet-cepet nikah gitu? Ibu, jalan aku itu masih panjang, banyak banget impian-impian yang akan aku capai di tahun dua ribu dua puluh ini. Aku sudah bikin daftar list resolusiku di tahun ini, dan aku harap ibu tidak ikut campur." Ungkap diriku.

"Baiklah kalau gak mau, gitu aja ngambek." Katanya.

"Ngomong-ngomong hanya sekedar info saja ya Mel, Dio itu anaknya ganteng banget lho, sekali kamu menatap-nya, ibu yakin kamu pasti langsung jatuh cinta." Imbuhnya, dan diriku hanya bisa diam saja. Berpikir sekaligus penasaran dengan apa yang ibuku katakan, meskipun semua itu terasa begitu menjengkelkan.

Hari minggu di sini terasa amat membosankan, dan hal-hal yang aku lakukan di rumah ibuku tak jauh berbeda seperti apa yang aku lakukan di rumah nenek.

Setiap saat aku membantunya memasak, membantunya menjemur pakaian-pakaian yang telah ibu cuci, kemudian kembali ke dalam kamar dan menonton televisi lagi.

Ketika siang hari, rumah di sini terasa begitu panas, sama seperti di rumah nenek, tak ada ventilasi yang cukup untuk masuknya angin dari luar. Kipas angin langsung kunyalakan sambil menyempatkan diri untuk membuka isi lemari dapur ibuku.

Rupanya di dalam lemari itu terdapat kaleng susu kental manis, lengkap beserta coklat messes di dalamnya. Aku langsung terpikir untuk membuat sesuatu yang segar-segar.

"Bu? Aku menemukan susu kaleng tuh di lemari dapur, gimana kalau kita buat salad buah?" Kataku.

"Apa itu salad buah? Gak pernah dengar ibu soal makanan itu." Tanya ibu.

"Halah cuman buah di iris-iris terus di kasih susu, keju, sama messes. Entar habis ini aku mau beli semangka dehh sama keju. Enak buat makan panas-panas gini." Kataku, ibuku mengernyit penasaran.

"Terserah deh, kamu punya uang buat beli buah?" Tanya ibu.

"Aku carikan yang tiga kilo'an saja, ada kok gak usah khawatir." Kataku, kemudian diriku keluar rumah sambil memakai jaket. Saat aku hendak mengambil Shine untuk pergi ke pasar, aku melihat lelaki yang telah diceritakan ibu tadi padaku. Kulihat dia sedang jongkok di teras kontrakannya, dan dia sedang memasang sepatu.

Sepeda motorku terasa begitu berat untuk ku-belokkan keluar menuju gang perkampungan ini. Sampai diriku tak kuat dan hendak nyaris jatuh di teras rumah ibuku ini. Lalu spontan saja pria itu melihatku, dan  seketika dia berniat untuk membantuku.

"Astaga, sini dek saya bantu." Katanya, aku menjaga keseimbangan ku saat diriku nyaris terjatuh tak kuat menahan beban Shine.

"Gak usah, saya bisa sendiri kok." Balasku sambil tersenyum simpul dan merasa grogi untuk melihat wajahnya.

"Kalau tidak kuat saya belokkan motor-mu." Desaknya, dan nada suara lelaki itu begitu renyah sekali di telingaku.

"Tidak usah repot-repot, saya bisa sendiri kok." Balasku, dan aku menegakkan setir motor-ku untuk menunjukkan padanya bahwa diriku bisa melakukannya sendiri.

"Nih, udah selesai kan." Ucapku, dan saat itulah diriku menatap wajah pria itu. Ibu berkata bahwa pria itu bernama Dio, dan sesuai dengan apa yang diriku bayangkan. Lelaki dengan wajah manis, serta sorot mata yang lembut, bibirnya mudah sekali untuk melantunkan senyuman indah, hidung mancung serta rambut lurus yang disisir rapi menghadap ke- samping. Rupanya ibuku bisa saja mencarikan lelaki tampan untuk diriku, yang entah akan seperti apa jadinya bila itu terwujud, yang pasti akan sangat konyol sekali.

Saat itu juga aku meninggalkan pria itu tanpa salam dan penutup apapun, sebab refleks dari hatiku setelah melihat lelaki tampan dan asing selalu kerap grogi bukan main. Dan dia juga nampak biasa saja, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya menyukai ku, atau setidaknya tertarik dengan sorot matanya yang menatapku secara lekat-lekat, yang tadi hanyalah ulah Shine, karena sepeda motor rongsok inilah yang membuat pria itu sedikit berinteraksi dengan-ku 

Sudahlah, aku fokus pada perjalananku, dan sesampai di toko buah tersebut, aku menemukan semangka, melon, dan pepaya. Sepintas pada pikiranku bahwa tiga macam buah itu cocok untuk dibuat salad buah, dan harga satu kilonya untuk semangka delapan ribu, sedangkan melon dan pepaya harganya tujuh ribu.

Cukup murah rupanya, dari dulu aku sangat suka dengan salad buah, sampai pada saat itu aku kepikiran untuk mencari cup plastik sebagai wadah produk salad-ku untuk kujual. Siapa tahu dengan jualan salad bisa mendapatkan untung yang banyak? Setahuku salad yang dijual di Indomaret tersebut juga banyak yang beli.

Sesampai diriku di rumah ibu, cuaca semakin panas, dan aku sudah tidak melihat lelaki itu lagi. Aku masuk ke dalam rumah dan memulai membuat yang segar-segar siang ini.

"Cepet amat?" Kata ibu.

"Ini aku belikan tiga macam, pasti ibu penasaran kan rasanya gimana?" Tanyaku.

"Banyak amat! Ini sih kagak bakalan habis." Katanya.

"Hei bu! Aku punya rencana nih! Gimana kalau aku jualan salad buah? Pasti banyak yang beli." Kataku.

"Udah deh Mel gak usah aneh-aneh, emang kamu bisa menyesuaikan waktunya? Kerja sambil jualan?" Kata ibu.

"Ya itu kan memang sudah resiko, pinginku nanti itu aku bikin salad-nya itu per cup, lalu aku jual." Kataku, 

"Setidaknya satu cup tujuh ribuan lah, aku jual keliling saat pulang kerja." Imbuhku.

"Iya kalau laku, kalau gak laku mau di taruh dimana? Kita gak punya kulkas Mel." Balas ibu, lalu aku mengernyit, terdiam dan berpikir.

Saat salad-salad buah itu sudah jadi kami buat, kami bertiga berkumpul dan memakan buah itu bersama-sama. Rasanya manis dan segar, Jojo terlihat sangat suka. Di benakku mulai membayangkan untuk membuka usaha, serta ada sedikit bayangan soal pria yang telah ibu katakan padaku. Jujur saja, aku merasa malu bila menceritakan hal tadi padanya, setidaknya kupendam saja cerita ini, lagi pula respon pria itu saat melihatku nampak datar dan seakan-akan tak ada maksud apa-apa.

Diriku begitu bahagia saat melihat wajah mereka yang nampak suka dengan salad buatanku. Nampaknya rencana bisnis ini harus terlaksana. Tak peduli seberapa besarnya modal yang kupunya. Paling tidak aku bisa mendapatkan uang tambahan untuk kutabung agar bisa cepat-cepat punya rumah sendiri. Sebab itulah impianku di tahuin ini, dan sampai kapan-pun aku harus bisa mewujudkan itu.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 3..