The Beauty Of Pandemic [TAMAT]

🇮🇩Deprata_ONE
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 150k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1

Di tahun 2020 aku ingin punya kamera,

Di tahun 2020 aku ingin punya pacar yang serius,

Di tahun 2020 aku ingin setidaknya bisa beli tanah dan membangun rumah, meskipun itu sangat mustahil.

Di tahun 2020 aku ingin.... Ohh iya, kalo bisa cepat menikah.

Di tahun 2020 setidaknya sebulan sekali bisa liburan, dan yang paling penting,

Di tahun 2020 aku ingin utangku semua lunas."

Berkisah pada perjalanan kehidupan remaja, keluarga, persahabatan di tahun 2020 yang penuh dengan lika-liku, antara berjuang dalam bertahan hidup, atau memilih untuk meraih mimpi.

-

--------------------------------------------------------

Pada tahun 2019 lalu, aku kecewa pada diriku sendiri karena sudah telat bayar untuk melunasi gadai kameraku, alhasil nasib dari kamera itu di-lelangkan.

Kamera satu-satunya yang biasa aku buat untuk nge-vlog kini sudah tiada, padahal itu butuh waktu berbulan-bulan bagiku untuk mengumpulkan uang agar bisa beli yang baru.

Tak ada yang istimewa di hari sabtu dan minggu selain hang-out bersama kedua temanku Eny dan Andy.

Sosok teman yang menerimaku apa adanya, kalangan remaja receh yang suka makan-makanan murah, belanja barang-barang KW, penggemar diskonan, dan gratisan.

Kami bertiga saling melengkapi dalam keterbatasan, setidaknya sudah nyaris setahun aku berteman dengan Andy, sedangkan Eny ialah teman SMA-ku dulu.

Andy sangat menyukai fotografer, sama seperti diriku, jadi kalau aku hang-out bareng mereka selalu sambil nge-vlog ala-ala anak alay dan berfoto untuk feed instagram.

Bermodal dengan ootd serba Kw, setidaknya satu postingan di instagramku ada sekitar seratus lebih akun yang nge-like. Bagiku itu masih belum seberapa ketimbang akun Andy yang memiliki jumlah Followers sampai nyaris sepuluh ribu. Aku terkadang iri padanya, namun itu bisa teredam begitu saja sebab aku tahu betul bahwa nasib kami tak jauh beda-beda amat.

Bagiku Eny yang paling beda diantara kami bertiga, dia agak pemalu untuk eksis di media sosial, tapi untuk masalah makan dan rekomendasi tempat-tempat hiburan yang paling murah, dialah yang paling tahu semuanya.

Eny anaknya sangat perhitungan banget, bahkan barang selisih sedikit saja dia banding-bandingkan, selalu berdiskusi terlebih dahulu kalau mau beli apa-apa, gak bisa asal nyomot saja seperti para seleb-seleb yang belanja di mall.

Tapi meskipun begitu, dia anaknya tidak pernah pelit kalau dimintai pertolongan. Aku sudah dua kali pernah meminjam uang sama Eny. Asalkan dia punya uang lebih, tanpa pikir panjang dia langsung meminjamiku.

Dan saat awal bulan itu, hutangku pada Eny-lah yang selalu ku-prioritaskan, sebab aku tahu diantara kami tidak ada yang saling mengkhianati.

Dia adalah sosok sahabat akrab yang kukenal semenjak di-bangku SMA, Eny tidak memiliki Ibu, sejak kecil ibu-nya meninggal dan dia hidup dengan ayah-nya yang pas dulu waktu kami masih bersekolah, beliau berprofesi sebagai tukang becak, namun katanya sekarang beralih menjadi jualan kopi di warung dekat rumahnya.

Eny memiliki 2 adik yang masih sekolah, adik satunya bernama Apan dan adik nomor dua-nya bernama Nauval.

Pekerjaan Eny sekarang ialah seorang sales marketing di sebuah bank swasta, dan dia juga satu kantor dengan Andy, gaji Umk yang ingin berlagak seperti orang kaya, itulah kami bertiga.

Siang itu aku bimbang saat meratapi kardus kamera Cannon-ku yang masih dalam keadaan bagus, dan bodohnya aku masih berharap kalau di dalamnya itu masih ada isi-nya.

"Hari ini jadi keluar kemana nihh?" Tanyaku pada Eny via telpon.

"Kemana ya! Ciwo?" Jawab Eny. Ciwo adalah singkatan dari Ciputra World mall.

"Gak bosen apa ke sana melulu?" Kataku.

"Ehh Yoshinoya ada promo, entar aku kabari Andy, dia mau ikut apa enggak." Kata Eny.

"Oke dehh, ehh kamu beneran pake baju Chanel itu kan?" Tanya-ku.

"Iya, iya aku lupa, kita pake chanel ya, biar kembaran gitu lho, entar aku akan kabarin Andy juga." Sorak Eny dengan semangat, baju dengan logo chanel itu telah dibeli oleh Eny waktu hari senin kemarin. Saat itu kami bertiga patungan untuk membeli-nya di bazzar dekat kantornya bekerja, dimana saat itu beli dua gratis satu.

"Siiipp, aku siap-siap dulu yah." Kataku.

"Syap," tutup Eny.

Saat itu aku langsung semangat menjalani hari sabtu ini, awal weekend yang cerah. Dengan cepat aku membuang dus Cannon tanpa isi itu ke tempat sampah.

Sebuah momok benda yang mengiris hatiku. Sebenarnya Andy tidak tahu kalau kameraku kena lelang, aku beralasan padanya kalau kameraku sedang rusak.

Siang-siang bolong aku keluar rumah dalam keadaan rapi, Stylish, harum, dan wangi. Sampai tetanggaku di samping rumahku sempat melihatiku, dia adalah Sandro.

"Siang-siang gini mau kemana Mel?" Tanya pria sepantaranku yang dulu pas SMP kami pernah satu kelas bareng.

"Jalan-jalan dong," jawabku.

"Ohh, jalan-jalan sama pacar ya? Kok gak dijemput sama pacarnya sih?" Kata Sandro.

"Gak punya pacar kalee." Sahutku.

Nama-ku sendiri adalah Amel, umur 19 tahun yang masih mencari jati diri dan tujuan hidup. Aku bekerja di perkantoran finace kurang lebih masih dapat tiga bulan sebagai Cleaning Service.

Aku tiap harinya tinggal di rumah milik nenek bersama adik laki-laki-ku yang masih duduk di bangku kelas 4 SD, dia bernama Jojo. Serta dirumah itu juga ada paman Farid, lalu istrinya yang bernama tante Anik, dan satu anak-nya yang masih kecil berusia tiga tahun bernama Nino.

Ayahku sendiri sudah meninggal saat aku duduk di bangku SMP, dan rumah ini ialah rumah dari orang tua ayahku.

Sedangkan Ibuku tinggal mengontrak di dekat pasar Krampung beserta suami sirih-nya bernama Irwan yang bekerja di pabrik kayu.

Sudah bisa terbayang kalau gaji menjadi buruh pabrik tak sebanyak yang selama ini ku-kira. Tiap bulan ibuku meminta uang kontrakan sebesar empat ratus ribu padaku. Bahkan ibu-ku tak jarang meminta uang padaku apabila persediaan pangannya habis. Belum lagi untuk menutupi biaya hutangnya di warung sembako yang tiap bulan dia ambil.

Entah ini kewajibanku seutuhnya atau tidak, tapi jujur saja, aku ada rasa tidak suka dengan ayah tiriku tersebut yang tidak pernah sanggup mencukupi kebutuhan ibuku serta adikku dengan baik.

Dan aku juga mengetahui kalau dia juga punya dua istri, dimana istri yang satunya tersebut tinggal di kota Gersik.

Jadi itulah mengapa Ibuku memintaiku untuk berkunjung ke kontrakannya setiap hari minggu, sebab ayah tiriku selama hari libur, dia kerap mengunjungi rumah istri keduanya yang berada di Gersik tersebut.

Andaikan ibuku orang yang pintar dan berpendidikan, kenapa dia tidak mencari sosok ayah yang lebih mapan saja dari dulu? Pertanyaan besar itu seolah sudah menjadi bubur, entah istilah jodoh tak akan kemana itu berlaku.

Saat ini jalanan di kota-ku masih begitu ramai, terik matahari menyengat tak membuat semangatku luntur untuk pergi jalan-jalan. Setidaknya sampai mall nanti sudah tidak kepanasan.

Sesampai di Ciwo, aku bertemu dengan Eny dan Andy tepat di depan Lobby. Keadaan mall tersebut saat ini sangat ramai sekali, toko-toko pakaian yang memanjakan mata kami ber tiga memajang berbagai macam brand keluaran terbaru. Disana kudapati ada edisi setelan cardigan dengan warna beige kesukaanku.

Namun kami hanya sekedar melihat-lihat serta mencoba berbagai macam barang-barang itu, lalu mencari ukuran size baju yang cocok, bertanya segala hal kepada mbak-mbak dan mas-mas yang sedang menjaga retail-retail di sana. Sungguh hal yang memalukan namun tak pernah kami sadari sama sekali.

Saat kami sampai di Yoshinoya, Eny menunjukkan menu yang katanya murah tersebut.

"Kita patungan ya? Ohh Andy, coba kamu cari tempat duduk yang enak, biar aku dan Amel yang mengantri makanannya." Usul Eny saat di depan kasir pemesanan.

"Duhh rame banget, kita duduk di pojokan sana mau ya?" Tunjuk Andy.

"Iya gak pa pa, aku suka tempat pojok." Sahutku.

Tak lama itu pesanan kami sudah siap, aku dan Eny membawa makanan itu sampai ke meja kami bertiga. Duduk bersama mereka ialah seperti keluarga.

Aku senang sekali ada dalam salah satu dari mereka, kulihat pengunjung di sini juga pada ramai-ramai membawa teman, keluarga, dan juga pacar. Entah topik apa yang akan kami bahas di meja makan kali ini.

"Ehh Mel, gimana kerjaanmu di kantor itu? Ada masalah enggak?" Kata Eny sambil makan.

"Halah dinikmatin aja lahh, lagian siapa sihh yang mau bersih-bersih toilet dan nyuci karpet tiap hari?" Enyahku.

"Iya bener tuh Mel, ehh ngomong-ngomong kamu gak kuliah? Katanya dulu pas terima Ijazah kamu bilang mau kuliah." Ucap Eny.

"Duit dari mana? Aku itu pusing tau gak si mikirin ibu aku yang tiap hari ada aja yang diminta." Kataku.

"Ehmm iya sih, aku paham kok Mel, sabar aja ya." Ucap Eny.

"Kalau kamu sendiri kenapa gak kuliah? Pake nanya-nanya Amel segalak?" Kata Andy pada Eny.

"Kalau aku sih dari dulu udah gak niat, males mikir pelajaran yang ribet-ribet, mending kerja cari duit yang banyak. Biar bisa koleksi tas-tas keren. Ya kalau bisa sekalian deh cari om-om yg bisa aku pelorotin buat beli tas LV mungkin, atau tas Saint Laurent keluaran terbaru model bag pochette impian-ku." Kata Eny.

"Sama, aku juga pingin banget punya edisi tas LV yang model handbag." Sahut Andy.

"Nunggu kuliah kelamaan, lagian cowok-cowok kuliahan jaman sekarang ada yang pegangan duit banyak? Yang ada sih cowok-cowok alay yang masih anak mama semua." Kata Eny, yang membuat diriku sampai mengernyit mendengar celotehannya.

"Kalau cowok nya itu anak orang kaya gimana?" Kataku.

"Mungkin ada, tapi itu rasanya mustahil deh, satu banding seribu kayaknya." Jawab Eny. "Lagian juga percuma kan ujung-ujung pasti sama-sama bakal nyari kerja, malah cenderung buang-buang duit." Imbuhnya.

"Perhitungan amat si kamu En, gimana coba kalau besok punya suami kamu tetep pritungan kayak gini?" Kata Andy.

"Hei, Justru cowok itu malah demen say sama perempuan yang kayak aku gini, dijamin duit kagak pernah kecolongan abis deh." Jawab Eny.

"Kamunya peritungan gak pa pa En, yang penting suami kamu enggak peritungan." Sahut-ku.

"Ya Allah amin, pingin sihh kayak gitu, hehe." Kata Eny.

"Kapan kamu punya pacar?" Kata Andy pada Eny.

"Aku udah deket si sama siapa itu, yang supervisor itu tuh." Ucap Eny seolah memberi isyarat.

"Astaga En! Kamu mau jadian sama dia?" Kata Andy yang sontak bikin aku penasaran.

"Gak tau deh, liat entar aja kelanjutannya kayak gimana." Ules Eny.

"Emangnya siapa sih?" tanyaku penasaran.

"Itu tuh aku beberin di sini ya? orang-nya itu manis, mirip aktor Tom Holland tapi versi yang paling burik sejagad raya ..." saat itu juga mulut Andy di bungkam oleh Eny.

"Ehh udah Shuuutt, jangan ngaco gitu dong An gak suka aku." Kata Eny.

"Apaan sih, kayak kita ini siapa aja, gak pa pa kali En." Ucapku.

"Gak boleh, tadi yang diucapkan Andy itu gak bener Mel. Aku kasih tau dari sifat-nya dulu yah? Jadi orangnya itu baik, keren, lucu, cumannya gendut aja." Beber Eny sambil tertawa sedang.

"Kalau kamu sendiri Mel?" Tiba-tiba Tanya Andy padaku.

"Aku? Eemm, belum, biar entah siapa yang nanti suka sama aku." Kataku yang entah kenapa seketika aku merasa kikuk.

"Udalah entar kalo jodoh juga gak bakal kemana-mana, yang penting kita selalu bersama dan gak merasa kesepian kan?" Kata Eny. Saat itu juga aku tersenyum tipis sambil mengunyah makanan ini, dan di benak-ku terlintas oleh bayangan wajah seseorang.....

Bersambung....

Berlanjut ke Chapter 2..