"Ada apa?" Tanya Marsha langsung ketika ia baru saja masuk ke dalam mobil Hans, managernya.
Hans menatap Marsha dengan tatapan mengintimidasi. "Kemana saja kau semalam?" Tanyanya.
"Apartement Starla. Sudah jelas bukan?"
"Kau bisa membohongi siapa saja, tapi tidak denganku." Katanya mendesak Marsha untuk bercerita.
Marsha menghelakan napasnya kasar. "Baiklah, aku ke club semalaman bersama Starla dan Hana." Akunya.
Hans menatapnya dengan berang. "Ke club kau bilang?! Kau lupa apa yang terjadi padamu Marsha? Apa harus aku ingatkan lagi padamu?!" Bentaknya tanpa bisa dicegah.
Marsha memejamkan matanya sejenak. "Aku tahu Hans."
"Lalu mengapa kau kesana?!"
"Tidak ada wartawan disana. Club itu aman." Katanya berusaha membuat Hans tidak marah lagi padanya.
"Kau tidak tahu wartawan bisa menjadi apa saja untuk mendapatkan berita tentangmu." Kata Hans dengan kesal.
"Starla sudah memastikan club itu aman Hans. Lagipula, aku tidak sendirian. Starla dan Hana menjagaku." Katanya tak sepenuhnya jujur. Darimana pula kedua sahabatnya menjaganya disana. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Kalau mereka menjaganya, tidak mungkin Marsha bisa bercinta dengan pria asing itu.
Hans memijit pangkal hidungnya pelan. Menghilangkan rasa sakit yang menghantam kepalanya. "Akan aku pastikan lagi. Jangan sampai berita tentangmu kembali muncul. Kalau tidak tawaran untukmu tidak akan ada lagi."
Marsha menghela kasar. "Aku tidak yakin mereka akan memanggilku lagi." Lirihnya lesu.
Hans menatap Marsha sendu. "Hei masih ada yang akan memanggilmu, percayakan semuanya padaku." Katanya memberi semangat.
"Sudahlah Hans, semuanya memang sudah berakhir." Marsha memang sudah tidak mengharapkan apa pun lagi. Berita perselingkuhan dirinya benar-benar mempengaruhi dirinya dan karirnya.
"Kau sudah makan?" Tanya Hans mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak suka melihat wajah Marsha yang biasanya selalu ceria menjadi murung seperti ini.
Marsha menggelengkan kepalanya sebagai jawabannya.
"Great. Kita akan makan di cafe milik temanku. Dia akan memberi voucher gratis kalau kau ikut bersamaku." Katanya bersemangat.
Marsha mengernyitkan keningnya bingung. Apa hubungannya dengannya?
"Dia fans beratmu Marsha." Katanya mengerling jahil.
"Sungguh?!" Pekiknya tanpa sadar. Ia tidak percaya jika di tengah panasnya berita tentangnya masih saja ada yang mengidolakannya.
Hans mengulas senyumannya melihat mata berbinar Marsha. "Jadi, mau pergi kesana?" Tanyanya yang seharusnya tak perlu ia tanyakan lagi.
Marsha menganggukkan kepalanya cepat sebagai jawaban.
"Jangan menggodanya Marsh. Dia sedikit pemalu." Katanya membuat Marsha tertawa renyah.
"Akan sangat menyenangkan menggodanya." Katanya sembari tersenyum jahil.
Hans menggelengkan kepalanya melihat tingkah Marsha. Memang mood wanita itu sangat mudah berubah-ubah, tak heran memang.
***
Sebuah mobil sport berwarna merah darah membelah jalanan kota New York yang sedang ramai-ramainya. Alland yang baru saja keluar dari A'Lisy Club baru dikabarkan oleh sekretarisnya agar segera kembali ke kantor. Sore ini Alland memang memiliki janji dengan seseorang yang ingin bekerja sama dengannya. Hanya karena ia ingin memastikan kembali siapa yang bercinta dengannya malam itu, membuatnya kembali mengunjungi club itu. Dan karena itu ia menjadi terlambat sore ini.
"Selamat sore Mr.Stanford." Sapa seorang pria yang mungkin usianya berada dua tahun di atas Alland.
Alland menjabat tangan pria itu. "Sore." Jawabnya singkat.
"Sebelumnya mungkin anda sudah mengenal saya. Saya Noah Winston, pemilik Winston Company yang berpusat di Rusia." Katanya memperkenalkan diri.
Alland mengangguk membenarkan. Ia memang sudah mengenal pria di hadapannya ini. Noah Winston adalah seorang pengusaha muda yang sukses dan namanya memang tak kalah populer dengannya. Tapi Noah tidak seaktif Alland, pria itu hanya menunggu investor datang padanya. Dan jika Noah sendiri yang menawarkan dirinya untuk melakukan meeting, berarti pria itu mengiginkan keuntungan yang besar bagi perusahaannya. Alland tahu itu karena pria itu memang sangat teliti untuk apa pun itu.
"Apa yang membuat anda datang jauh-jauh kemari untuk menemui saya Mr.Winston?" Tanya Alland yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi Alland memang begitu penasaran, apa yang membuat Noah datang jauh-jauh dari Rusia ke New york?
Noah melemparkan senyumannya. "Tujuan saya menemui anda sudah jelas Mr.Stanford. Jadi, apakah kita bisa melakukan kerja sama? Hotel berbintang lima milikku yang terletak di Rusia menginginkanmu." Katanya.
Alland terdiam sejenak. Mencoba memikirkan sesuatu. Ia tidak boleh gegabah dalam menjalin kerja sama ini. Apalagi ia akan melakukan kerja sama di bidang hotel. Tentu saja setelah De Rich Hotel. Alland memang sudah menebaknya, tapi ia pikir Noah akan menyodorkan jejeran Villa mewahnya yang berada di Maldives.
"Berapa besar keuntunganku?"
"Kau bisa melihatnya sendiri." Noah menyerahkan seberkas dokumen yang sudah ia persiapkan. Alland meneliti berkas-berkas itu secermat mungkin, ia tidak ingin melewatkan satu lembar pun yang mungkin akan merugikannya.
Sebuah senyuman terukir dibibirnya. Kerja sama ini sangat menguntungkan baginya.
"5%. Aku akan memberimu 5% dari sahamku." Katanya membuat Noah mengernyit tak suka.
"Jumlah itu sedikit sekali untuk hotel berbintang lima milikku di Rusia. Kau bisa melihat seluruh kemewahan dan keuntungannya Mr.Stanford." Protesnya yang tanpa sadar membuat Alland mengetahui sesuatu.
"Terima atau tidak sama sekali." Katanya yang sudah meletakkan berkas-berkas itu di atas meja. Alland bisa mendengar Noah menggeram kesal, tapi pria itu masih mampu mengontrol amarahnya. Terlihat sekarang ia malah tersenyum tipis padanya.
"Baiklah. Aku harap kau bisa menaikkan persennya setelah mendapat keuntungan di bulan ini." Katanya yang sudah akan mengakhiri pertemuan yang menurut Alland cukup menguntungkan baginya dan merugikan bagi Noah.
"Tentu saja. Kita lihat perkembangannya." Katanya kemudian berdiri dari duduknya. Begitu juga dengan Noah.
"Kalau begitu, sampai jumpa." Pamitnya kemudian berlalu pergi.
"Apa jadwalku besok?" Tanyanya pada Tiffany sang sekretaris ketika Noah sudah seutuhnya pergi dari sana.
"Besok pagi anda akan menghadiri meeting untuk mempersiapkan berkas yang akan anda bawa untuk bertemu Mr.Rich. Siangnya anda memiliki jadwal makan siang bersama beberapa client yang ingin bergabung. Dan malamnya Ny.Stanford ingin anda untuk menghadiri acara dinner di mansion keluarga sir." Kata Tiffany dengan begitu lancarnya. Tak heran jika Alland memperkerjakan wanita itu. Wanita itu begitu cepat menghapal seluruh jadwalnya tanpa kesalahan.
Alland memijit pangkal hidungnya pelan. Jadwalnya besok sangatlah padat. Pagi ia harus meeting, acara makan siang, dan dinner keluarga. Tentu saja selain itu ia harus menyelesaikan beberapa berkas yang menumpuk di meja kerjanya. Mengingat dinner keluarga, Alland sudah menghindarinya selama ini. Ia tidak pernah menghadirinya dengan alasan sibuk, tapi sepertinya ia tidak bisa mengelaknya kali ini. Mommynya tidak akan membiarkan dirinya untuk absen besok malam, ditambah Alisya kakak perempuannya sudah mengancamnya. Oh tidak, Alland sangat membenci acara dinner keluarga.
"Apa saya harus memakai gaun sir? Gaun seperti apa yang harus saya pakai agar bisa diterima di mansionmu?" Tanya Tiffany sembari tersenyum malu-malu.
Alland mengernyitkan keningnya. Tidak ada yang mengajak wanita ini! Kenapa dirinya percaya diri sekali?!
Ah ya, satu hal yang Alland belum katakan kepada kalian mengenai sekretarisnya ini. Wanita yang sudah bekerja dua tahun bersamanya ini menyukai dirinya. Alland tak munafik melihat setiap gerak-gerik dan perhatian kecil Tiffany padanya, tapi Alland sama sekali tidak tertarik padanya.
"Tidak ada yang mengajakmu."
"C'mon sir, saya hanya menemani anda. Ny.Stanford sudah pasti akan menanyakan kembali kapan kau akan menikah. Jadi, apa salahnya saya menemani anda. Mungkin saya bisa membantu?" Katanya membuat Alland cukup berpikir. Ya, memang pasti acara dinner itu hanya semata-mata menanyai kapan ia akan menikah.
"Pakailah gaun yang menurutmu sopan." Alland menyerah. Ia tidak ada pilihan lain selain membawa Tiffany. Mungkin benar, Tiffany akan membantu disana.
Tiffany tersenyum senang. "Aku akan melakukan yang terbaik sir." Katanya.
Alland mendengus, tapi tak khayal ia menginginkan Tiffany melakukan hal yang sebatas wajar. Tak ingin wanita itu berpikir dirinya mulai membuka hati padanya.
"Kau hanya menemaniku. Ingat batasanmu." Katanya kemudian pergi.
Tiffany mencibir kesal. "Kau selalu menyebalkan."