Aroma makanan menguar begitu saja ketika Marsha baru menginjakkan kakinya di sebuah cafe yang berada dekat dari Stanford Grup. Ia sudah mengirimkan lokasi tempatnya kepada Starla dan juga Hana beberapa jam yang lalu. Ia juga yakin keduanya sudah menunggunya di dalam sana. Benar saja, karena Marsha dapat melihat kedua sahabatnya sedang duduk di sebuah meja yang berada di pojok ruangan.
"Kau lama sekali." Gerutu Starla ketika Marsha baru saja mendaratkan bokongnya di kursi yang kosong.
"Aku sedikit sibuk hari ini."
"Kau bilang kau sudah mendapat pekerjaan? Kau bekerja dimana?"
"Di Stanford Grup." Jawabnya malas.
Starla membulatkan matanya tak percaya. Apa katanya?!
"Stanford Grup?! Kau sedang tidak bercandakan?!" Pekiknya membuat Hana terlonjak kaget, begitu pula dengan Marsha.
"Pelankan suara toamu itu Starla. Mereka terusik karenamu!" Omel Marsha.
"Yang benar saja kau bekerja di perusahaan raksasa itu Marsha! Bahkan aku pernah melamar disana dan di tolak!" Kata Starla yang masih mempertahankan suara toanya. Ia tidak mengindahkan omelan Marsha, sehingga Marsha memilih diam saja. Percuma.
"Kau sungguh bekerja disana?" Kini giliran Hana yang bertanya. Ingin memastikan kebenaran itu. Marsha pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, tanpa perlu repot mengeluarkan suaranya.
"Crazy. Aku tidak menyangkanya, you're so lucky Marsha." Kata Hana yang terdengar seperti pekikan, tapi tidak sekeras Starla.
Marsha menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua temannya. Apa istimewanya bekerja di perusahaan yang dipimpin oleh CEO brengsek itu?
Sebenarnya hanya Marsha yang merasa tidak istimewa, karena siapa pun ingin bekerja di perusahaan itu. Perusahaan dengan fasilitas mewah dan lengkap bagi karyawannya dan dengan gaji fantastic pula. Tapi itu tidak berlaku bagi Marsha, ia merasa sangat terbebani bekerja disana. Kalau saja Starla dan Hana tahu yang sebenarnya, Marsha yakin kedua sahabatnya tidak akan membiarkan dirinya berlama-lama disana. Tapi Marsha memilih untuk diam, ia tidak ingin mereka tahu. Karena risikonya begitu besar.
"Mereka tidak tahu saja." Gumamnya.
"Hei, apa kau tahu pemilik Stanford Grup?! Kudengar ia telah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu pada putranya." Kata Starla tiba-tiba.
"Landon Stanford?"
"Iya itu nama ayahnya, tapi aku lupa siapa nama putranya yang tampan itu." Sambungnya.
Marsha memutar kedua bola matanya malas. Memang ia tidak bisa menampik bahwa pria itu tampan, bahkan sangat tampan. Tapi rasa kesalnya kepada Alland membuat Marsha tak memandang ketampanannya, melainkan keburukan sifatnya yang selalu menyebalkan.
"Maksudmu Alland Stanford?"
"Iya dia! Apa kau sudah bertemu dengannya Marsh? Bagaimana rupanya? Aku yakin pria itu lebih tampan jika dilihat secara langsung." Kata Starla dengan heboh.
Hana mendengus mendengarnya. "Starla dan segala kehebohannya." Katanya sarkas membuat Starla menatapnya berang.
"Apa maksudmu?!"
"Kau memang tidak pernah berubah. Tidak seorang pun pria tampan yang kau lewatkan. Aku rasa pun kau sudah lupa berapa banyak kau sudah mengencani pria-pria tampan itu." Sarkas Hana. Starla memang suka bermain dengan pria-pria itu karena memang itulah hobinya. Tidak jauh berbeda pula dengan Marsha. Tapi Marsha selalu bermain aman mengingat dirinya adalah seorang artis yang tak pernah luput dari berita jika berbuat kesalahan sedikit pun.
Starla mencebikkan bibirnya kesal. "Tidak perlu kau ingatkan. Tapi yang satu ini aku sendiri pun tidak akan sanggup mendekatinya. Dia memang sama sepertiku suka bermain wanita, tapi dirinya sangat selektif dalam memilih. Dan paling penting, sederajat dengannya." Kata Starla mengingat fakta itu. Ia tahu akan hal itu dari teman SMAnya dulu yang pernah menjadi salah satu dari wanitanya Alland.
"Selektif kau bilang?" Tanya Marsha sembari terkekeh geli. Apanya yang selektif, pria itu bahkan melakukan one night stand dengannya tanpa mengenal latar belakang dirinya. Dan apa-apaan mengenai sederajat itu? Jika pria itu tahu ia dari kalangan mana mungkin ia tidak mau tidur dengannya.
"Mengapa kau bertanya seperti itu? Tahu apa kau tentangnya? Aku pun yakin ia tidak akan melirikmu sekali pun!" Starla mencemoh membuat Marsha tertawa di dalam hatinya.
"Dia bahkan tidur denganku bodoh!"
"Yayaya, hanya kau yang tahu." Balas Marsha dengan malas.
"Sudahlah, aku tidak suka pertemuan pertama kita ini malah membahas pria yang selalu diimpikan Starla itu. Aku terlalu muak dengan pria-pria itu!" Kata Hana yang menyeruakkan suaranya.
Starla mendengus mendengarnya. "Dasar kau ini. Kalau kau merasakan kesenangan itu sudah pasti kau akan sepertiku juga."
"Tidak akan. Aku punya kekasih kalau kau lupa." Jawab Hana cepat.
"Terserah." Balas Starla kemudian meneguk sebuah gelas yang ada di atas meja.
"Oh iya, kau tinggal dimana Marsh?" Tanya Hana yang melupakan pertanyaan ini. Padahal sedari tadi ia ingin menanyakannya, tapi karena Starla terlalu heboh ia jadi menyimpannya.
"Ah ya, aku belum mengatakannya. Aku membeli apartement baru." Jawabnya.
"Mengapa kau membelinya? Aku bisa berbagi tempat denganmu atau kau bisa tinggal bersama Hana." Kata Starla tak suka.
"Aku tidak suka merepotkan kalian. Lagipula, aku lebih nyaman begini."
Keduanya pun mengangguk pasrah. Tidak ingin memaksa lagi karena Marsha selalu tetap pada pendiriannya.
"Kalau begitu sebagai gantinya, malam ini kita menginap di rumahku."
"Orang tuamu belum pulang juga?"
Hana menggelengkan kepalanya. "Mereka memang selalu sibuk. Jadi, siapa yang setuju? Aku akan berbelanja setelah ini."
Marsha dan Starla pun mengangguk dengan cepat dan setuju dengan ide Hana. Mereka sudah lama tidak berkumpul bersama, jadi malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi ketiganya. Dimana mereka akan saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka 5 bulan terakhir dan bercerita tentang kesibukan mereka ke depannya. Sungguh akan menjadi malam yang panjang.
***
Malam semakin larut, tapi tak menyurutkan niat Alland untuk beranjak dari balkon kamarnya. Sejak pulang dari kantor, Alland langsung membersihkan dirinya dengan air hangat. Kemudian memilih duduk di balkon kamarnya yang terletak di lantai 2 mansionnya. Alland menatap taman-taman bunga di bawah sana dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirkannya, Alland memang selalu seperti ini. Ketika selesai dari kesibukannya ia lebih suka menyendiri dan tidak ada yang tahu akan kebiasaannya ini. Hingga sebuah deringan telepon membuyarkan lamunannya.
"Christo? Untuk apa dia menelponku?" Gumam Alland membaca nama sang penelepon.
"Hello dude! Mengapa kau tidak ikut dengan kami malam ini? Kau tahu Anderson mendapatkan wanita cantik yang kami temui di supermarket!" Suara Christo langsung terdengar begitu Alland menyambungkan telepon itu.
"Bukankah kalian akan ke club? Mengapa berubah haluan ke supermarket?" Tanyanya heran.
"Ya memang, tapi Anderson melupakan pengamannya. Ia lebih suka berbelanja disana dan kau tahu wanita yang kami temui begitu ajaib!" Kata Christo menjelaskan sembari terkekeh geli di ujung telepon sana.
"Apa wanita itu gila?"
"Exactly! Wanita itu gila, sangat. Oh tidak, jangan lupakan si beruang yang sama ajaibnya." Tak bisa Alland pungkiri ia ikutan tertular tawaan Christo. Tawa pria itu memang selalu menular pada siapa saja yang mendengarnya.
"Apakah beruang juga bisa berbelanja?"
"Beruang yang ini berbeda Al. Dia sangat cantik, ah aku rasa aku akan mengencaninya. Aku bahkan tidak bisa mengusir wajahnya di dalam otakku!"
"Kalau begitu mengapa tidak langsung kau katakan saja padanya?" Sebelah alisnya ia angkat seakan dirinya tengah berbicara langsung pada Christo, padahal Christo tidak bisa melihat raut wajahnya itu.
"Sudah kubilang bukan, wanita itu ajaib! Mereka berdua begitu ajaib. Sebenarnya mereka bertiga, tapi yang satunya terlihat lebih waras. Dan lagi, aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Demi apa pun akan kucari wanita itu sampai ketemu!" Katanya dengan penuh tekad.
Alland hanya tersenyum tipis, sangat tipis. "Ya carilah. Kurasa wanita itu bisa menghilangkan kelakuan bejatmu." Sarkasnya.
"Hei kau pun sama. Kalau begitu ku tutup dulu, dia mulai menggodaku di bawah sana." Kata Christo dengan suara seraknya di akhir kata. Christo pun memutuskan panggilan itu secara sepihak.
Sedangkan Alland bergidik ngeri membayangkan apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu. Mengapa ia menelponnya jika sedang bersama wanita jalangnya. Dasar sahabat bejat!
Alland pun beranjak dari duduknya untuk masuk ke dalam kamarnya, tetapi tiba-tiba saja ia teringat akan Marsha. Ah, wanita itu benar-benar membuat Alland frustrasi. Seluruh wanita yang mengenal Alland pasti akan menyerahkan dirinya untuk bersama Alland bahkan barang semenit pun, tapi Marsha malah menolaknya. Ini untuk pertama kalinya bagi Alland di tolak oleh seorang wanita. Apalagi setelah merasakan kenikmatan dan kehangatannya di atas ranjang. Sial, wanita gila mana yang bisa menolak kehangatan miliknya dan bahkan meninggalkannya. Jawabannya hanya satu, yaitu Marsha. Hanya Marsha.
"Jangan harap kau bisa lepas dariku beruang kecil."
***