Chapter 9 - Part 8

Marsha melangkahkan kakinya secepat yang ia bisa untuk keluar dari gedung besar itu. Dirinya masih sangat syok mendapati pria yang sama dengan pria pada malam itu, malam dimana ia kehilangan kehormatannya. Marsha benar-benar tidak habis pikir mengapa ia bisa kembali bertemu dengan pria itu. Bahkan sekarang Marsha sudah tidak mempedulikan pekerjaannya. Ia tidak ingin bekerja di bawah pengawasan pria itu, tidak akan.

Ia pun melewati sebuah ruangan dimana seharusnya ia melakukan meeting untuk menentukan jadwal pemotretannya. Sedangkan tangan kanannya masih sibuk menelepon Hans yang sedari tadi sangat sulit untuk dihubungi, tidak seperti biasanya.

"HANS?!" Pekik Marsha kuat ketika mendengar suara Hans menyapa di ujung sana.

"Maaf aku terlambat bangun, sehingga tidak bisa mengantarmu bekerja."

"Lupakan keteledoranmu. Aku meneleponmu bukan untuk itu. Apa kau tahu siapa CEO Stanford Grup?" Tanyanya yang masih setia melangkah dengan cepat. Dirinya ingin cepat-cepat meninggalkan gedung besar ini.

"Ya, aku tahu. Alland Ray Stanford. Bukankah kau seharusnya juga tahu?" Jawab Hans di seberang sana dengan suara seraknya, khas orang baru bangun tidur.

Marsha menggeram mendengarnya. "Kenapa kau tidak memberitahuku lebih dulu?!"

"Kau tidak bertanya. Lagipula, sejak kapan kau peduli? Kau selalu menerima tawaran-tawaran itu tanpa ingin tahu siapa atasan yang memanggilmu." Jawabnya, setelahnya Marsha mampu menangkap suara orang sedang menegak segelas air dari seberang sana.

"Itu dia. Aku peduli! Kau tahu siapa dia? Dia pria brengsek yang sudah mengambil---" Marsha menghentikan kalimatnya ketika sadar dirinya hampir terjebak dalam masalah yang sangat besar. Mengingat Hans juga tidak tahu hubungan dirinya dengan CEO perusahaan ini.

Kau bicara apa bodoh!

"Apa? Dia mengambil apa darimu?" Desak Hans karena Marsha tak lagi melanjutkan kalimatnya. Wanita itu pasti sedang berpikir di ujung telepon sana, pikir Hans.

"Ah, tidak. Dia hanya--" Kali ini bukan Marsha yang menghentikan perkataannya, melainkan seseorang yang memanggil namanya tepat beberapa langkah di belakangnya.

"MARSHA!"

"Hei Marsha, kau sedang apa sebenarnya? Apa yang ingin kau katakan? Bukankah kau seharusnya ada meeting pagi ini?" Pertanyaan demi pertanyaan dilayangkan Hans kepada Marsha yang membuatnya hilang fokus. Marsha bahkan tidak lagi mendengar dan ia juga tidak berniat menjawab, sehingga ia pun memutuskan sambungan itu secara sepihak.

"Kau pikir kau mau kemana?" Sinis Alland yang sudah berada di hadapan Marsha. Marsha menahan napasnya sesaat, mengapa pria ini mengikutinya?

"Aku? Tentu saja mau menemui orangmu. Kami akan menentukan jadwal pemotretannya." Jawab Marsha berbohong.

Menentukan jadwal pemotretan katanya? Yang benar saja. Bahkan hanya untuk menginjakkan kakinya kembali di lantai gedung ini ia tidak akan pernah lagi.

Alland mengangkat sebelah alisnya sambil menyeringai. "Benarkah? Ruangannya berada disana. Dan aku melihat kau melewatinya begitu saja. Bukankah kau berniat kabur?" Sarkas Alland yang terdengar begitu menyeramkan.

Marsha meringis kecil mendengarnya, dirinya memang berniat kabur.

"Tidak. Untuk apa aku kabur? Itu sangat tidak profesional." Jawabnya yang mencoba menjadi artis profesional di depan pria itu. Tidak mungkin ia langsung mengatakan kalau dirinya berniat membatalkan kontrak kerja itu karena Alland pasti akan mengetahui kalau dirinya mengingat semua kejadian pada malam 5 bulan yang lalu.

Alland tertawa sinis mendengarnya. "Kau berbicara soal profesional rupanya. Kalau begitu biar aku antarkan kau ke ruanganmu." Katanya yang sudah akan menarik lengan Marsha, tapi dengan cepat Marsha memundurkan langkahnya.

"Tidak. Aku bisa pergi sendiri."

"Tidak. Tidak. Kau masih baru disini. Aku akan mengantarmu, mereka akan menoleransi keterlambatanmu kalau kau bersamaku." Kata Alland yang menolak permintaan Marsha yang mengatakan akan pergi sendirian.

"Kau pikir aku bodoh beruang kecil?" Batinnya tertawa puas melihat ketakutan Marsha saat ia akan membawa Marsha ke ruangan meeting.

"Aku harus menunggu managerku dulu!" Jawab Marsha yang sudah meninggikan nada bicaranya. Ia merasa panik karena Alland terus saja menolak perkataannya.

"Aku sudah menghubunginya. Katanya kau bisa mulai tanpanya, dia sedang dalam perjalanan." Jawab Alland tanpa beban.

"Lihat saja kau Hans!" Batin Marsha menggeram.

"Apakah pantas seorang sepertiku berjalan beriringan bersamamu? Ayolah, tatapan-tatapan mengerikan akan menusuk tubuhku ini." Kata Marsha diluar dari topik pembahasan. Ia benar-benar tidak ingin melakukan meeting itu, karena sampai itu terjadi maka ia tidak bisa keluar dari perusahaan ini.

"Kau ini bicara apa. Bukankah kau artis? Mereka akan menatapmu kagum dan mungkin beranggapan bahwa kita berdua sangat serasi di atas ranjang." Jawab Alland dengan kalimat ambigunya.

Marsha membulatkan matanya mendengar kalimat terkahir Alland. Mengapa pria itu begitu mudahnya mengatakan hal seperti itu?!

"Tolong jaga ucapanmu sir." Desisnya.

Alland hanya mengedikkan bahunya acuh. "Kita sudah terlambat. Ayo!" Ajaknya yang dengan cepat menarik lengan Marsha sebelum wanita itu kembali menghindar.

"Hei, lepaskan!" Pinta Marsha yang memberontak tidak terima.

"Kau tidak bisa kabur lagi."

"Aku tidak kabur! Lepaskan aku brengsek!" Teriaknya yang kembali memberontak. Tapi Alland tidak peduli, ia sudah menunggu lama untuk ini dan dirinya tidak ingin kembali kehilangan wanita ini.

Marsha tersenyum simpul ketika Alland menghentikan langkahnya. Ia pikir Alland akan melepaskannya, tetapi dirinya salah. Alland malah menarik pinggulnya dan mendekapnya erat. Hal itu tak luput dari pandangan orang-orang disana yang sedang melihat kemesraan mereka.

Kemesraan apanya?! Mereka tidak lihat saja Alland tengah tersenyum bak iblis!

"Kau mungkin tidak ingat, tapi aku akan selalu mengingatkanmu sampai kau muak sendiri. Ah, aku lupa. Jangan panggil aku brengsek lagi, karena yang kuingat kau mendesahkan namaku dengan sangat sexy malam itu." Katanya yang sudah kembali membawa Marsha berjalan. Jangan lupakan kedekatan keduanya karena Alland begitu enggan melepaskan tangannya yang melingkar di pinggul Marsha.

Marsha menggeram kesal. "Sebenarnya apa maumu? Kau berbicara seolah kita telah melakukan adegan dewasa itu!" Katanya sembari menatap Alland berang.

Alland tertawa renyah mendengarnya. "Well, kita memang melakukannya. Kau lupa atau berpura-pura lupa?"

"Aku tidak pernah melakukan hal menjijikkan itu bersamamu!"

"Menjijikkan? Bagian mana yang bisa kau sebut menjijikkan ketika kau dengan sangat nafsu memakan milikku di bawah sana." Katanya dengan nada sensusal membuat rona di pipi Marsha.

"Sialan! Apa dia baru saja mengatakan hal menjijikkan sesantai itu?" Batinnya kesal.

"Kau ku peringatkan brengsek!" Umpat Marsha tak suka.

Semakin Marsha marah, semakin senang pula Alland menggoda wanita itu dan membuatnya marah.

"Kau masih tidak ingat? Baiklah aku mengerti. Tidak perlu terburu-buru, sudah aku katakan 'kan kalau aku akan membantumu mengingatnya." Kata Alland lagi yang sudah menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu berwarna silver, begitu pula dengan Marsha.

"Aku tetap tidak akan ingat, karena aku memang bukan wanita itu. Kau salah orang." Kata Marsha mempertahankan harga dirinya.

Sebelum tangan itu meraih pintu untuk di buka, Alland mendekatkan wajahnya pada sisi wajah Marsha. Kedekatan itu membuat Marsha kembali menahan napasnya.

"Jangan main-main denganku. Aku memperingatimu." Bisiknya dengan suara sexynya, kemudian mereka berjalan bersama memasuki ruangan meeting itu.

Sialan! Mengapa suara Alland selalu terdengar begitu sexy di telinganya!

Mungkin Marsha harus memeriksa telinganya setelah ini. Ya, harus.

***